25 C
Jakarta

Ukuran dalam Kebahagiaan

Baca Juga:

Oleh Ashari, SIP *

SERING  tanpa sadar kita berpikir dan beranggapan,  bahwa kebahagiaan seseorang itu diukur dengan hal yang kasat mata. Materialistik. Padahal dalam kenyataanya tidak semua yang sifatnya kebendaan selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Ali bin Abi Thalib, sahabat Rasul yang mulia itu pernah ditawari oleh Rasul, seandainya engkau ditawari harta dan ilmu memilih mana? Ali dengn cerdas lebih memilih ilmu. Sesuatu yang tidak kelihatan. Alasan Ali banyak, salah duanya adalah : Pertama – Ilmu dapat menjaga harta. Harta tanpa ilmu akan dengan mudah habis. Kedua – Dengan ilmu akan membuat kehidupan lebih tertata dan nyaman, teratur. Dengan ilmu kita dapat mencari harta.

Dalam dataran realitas keseharian, mari bersama kita renungkan. Apakah setiap tambahan barang yang kita miliki dengan serta merta membuat kita bahagia? Ternyata tidak selalu. Memang tanpa harta, kita sulit bahagia, namun harta semata bukan menjadi jaminan untuk hidup bahagia. Sebelum kita  memiliki sepeda motor, rasanya bahagiannya kalau kita sudah mempunyai motor, bisa pergi kemana-mana dengan mudah, dengan istri tak lagi bertengkar, anak mudah diantar dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya setelah mempunyai motor, bisa jadi justru menjadi sumber masalah. Lupa ibadah dan semacamnya. Begitu juga untuk contoh benda yang lain.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa bahagia itu letaknya disini (sambil menunjuk dadanya), yang dimaksud adalah di hati. Yakni dekat dengan Allah SWT. Hatinya selalu terpaut dengan Allah. Dimanapun dan kapanpun. Menyadari dengan sepenuhnya bahwa kekuasaan Allah diatas segalanya. Maka ketika  kita dihadapkan masalah yang membuat galau, resah dan gelisah, segera kita kembalikan kepada-Nya.

Pertama – Jika harta menjadi ukuran kebahagiaan, maka lambat laun kita pasti akan kecewa. Dalam QS.At-takatsur kita telah diingatkan agar tidak terlalu silau dengan indah dan megahnya dunia. Kata Allah, bermegah-megah telah melalaikan kamu, sehingga kamu masuk ke dalam liang kubur. Sampai diulang dua kali oleh Allah peringatan ini. Menunjukkan betapa urgent-nya perintah ini. Karena dalam kenyataannya manusia sering lalai kalau sudah berhadapan dengan harta. Bahkan tidak jarang hubungan persaudaraan bisa renggang bahkan putus hanya karena masalah harta. Ironis.

Kedua – Kebahagian itu dapat kita peroleh, justru pada saat kita memberi (give). Secara materi memang harta kita berkurang, namun secara substansi hati kita akan senang, karena dapat membantu orang lain, meski pada hakekatnya yang dapat menolong adalah Allah swt saja. Manusia hanya dijadikan sebagai sarana (khalifah). Maka bersyukurlah kita disaat kita diberikan kekuatan untuk membantu orang lain, pada saat mereka membutuhkan. Yang selalu kita pikirkan adalah bagaimana kita dapat bermanfaat bagi orang lain. Hadits Nabi : Sebaik-baik manusia adalah mereka yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Ketiga. Menerima dengan ridha setiap ketentuan dari Allah. Dalam bahasa agama disebut Qanaah. Sering yang membuat kita kecewa, sakit hati adalah pada saat keinginan kita tidak sesuai dengan harapan. Padahal segala upaya sudah kita lakukan, doa sudah kita panjatkan. Menerima ketentuan Allah setelah usaha maksimal, membuat hati kita menjadi lebih cair. Kalau berhasil kita bersyukur, kalau gagal, dengan mudah kita kembalikan bahwa ini adalah ketentuan dari Allah yang sudah dalam pertimbangannya yang matang.

Bisa jadi ketika apa yang kita inginkan dengan mudah tercapai, maka kita akan lupa kepada Allah, kemudian menganggap bahwa sukses yang kita raih adalah semata usaha yang kita lakukan. Tanpa campur tangan dari-Nya. Dalam hadits qudsi pernah dijelaskan, bagaimana Allah sering “rindu” dengan tangisan kita, dengan doa kita yang sungguh-sungguh. Padahal kalau kita sadar bahwa semua itu bukan untuk Allah, tetapi untuk diri kita sendiri.

 Epilog

Sudah banyak kisah nyata dipaparkan, bagaimana orang-orang terdahulu yang tidak beriman kepada Allah, merasa besar dan pintar sendiri, kemudian  dihancurkan. Diratakan dengan tanah. Padahal mereka adalah orang-orang yang kaya dan berilmu. Namun ternyata keduanya tidak menjadikan hidupnya menjadi  bahagia. Karena memang sudah menjadi sunatullah bahwa harta semata bukan jaminan untuk meraih kebahagiaan itu.   QS.Al-Mujadalah menjelaskan syarat untuk diangkat derajat kita dalam pandangan Allah dan manusia adalah dengan iman dan ilmu. Bak dua keping mata uang yang tidak terpisahkan. Sekian.

*Penulis Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman, anggota FGSM ( Forum Guru Sleman Menulis ) 2020

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!