YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Di antara berbagai isu perempuan dan anak dalam Al-Qur’an yang perlu mendapat perhatian serius saat ini adalah persoalan kekerasan, nusyuz, serta khulu’ atau perceraian yang diajukan oleh istri. Hal tersebut disampaikan oleh Atiyatul Ulya, Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, dalam Seminar dan Workshop Pra-Silaturahmi Nasional (Silatnas) I Ulama ‘Aisyiyah bertajuk “Konstruksi Pemikiran Ulama ‘Aisyiyah: Respons terhadap Isu Keumatan dan Kebangsaan”, Sabtu (13/12/2025).
Atiyatul Ulya mengaitkan ketiga isu tersebut dengan realitas sosial di Indonesia, khususnya tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah istri, sementara pelakunya adalah suami. Terkait kekerasan domestik, ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap istri, termasuk kekerasan ekonomi, seperti tidak memberikan nafkah.
Selain kekerasan, Atiyatul Ulya juga menyoroti tingginya angka perceraian, terutama cerai gugat yang diajukan oleh istri. Data tahun 2024 mencatat cerai gugat mencapai 308.956 kasus atau sekitar 77 persen dari total perceraian, jauh melampaui cerai talak oleh suami yang berjumlah 85.652 kasus. Angka ini, menurutnya, menunjukkan fenomena berkelanjutan di mana perempuan semakin berani mengambil keputusan hukum untuk mengakhiri pernikahan yang tidak sehat.
Namun demikian, cerai gugat masih kerap dipandang negatif oleh masyarakat. Padahal, menurut Atiyatul Ulya, tidak terdapat hadis yang menunjukkan Nabi Muhammad SAW menghalangi niat cerai yang diajukan oleh istri.
“Stigma yang berkembang di masyarakat, ketika terjadi khulu’ atau cerai gugat, pihak yang disalahkan hampir selalu istri,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga mengkritisi pemahaman tentang nusyuz yang selama ini kerap dimaknai secara sempit sebagai ketidaktaatan istri kepada suami. “Pemahaman yang populer di masyarakat cenderung menganggap nusyuz hanya dilakukan oleh istri, bukan oleh suami,” jelasnya.
Menurutnya, pandangan tersebut tidak tepat. Berdasarkan Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 dan 128, nusyuz dapat dilakukan baik oleh istri maupun suami. Ia mencontohkan nusyuz suami, antara lain tidak memberikan nafkah, bersikap kasar atau tidak adil, serta tidak memperlakukan istri dengan baik secara ma‘ruf.
Penafsiran keliru terhadap konsep nusyuz ini, lanjut Atiyatul Ulya, tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga memperkuat budaya patriarki di masyarakat. “Dalam kondisi tertentu, hal ini bahkan dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan atau istri,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menilai penting bagi para ulama ‘Aisyiyah untuk bersama-sama memberikan perhatian serius terhadap persoalan tersebut, agar ajaran Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat bagi semua, termasuk bagi para istri.
Atiyatul Ulya juga menambahkan bahwa ‘Aisyiyah bersama Muhammadiyah memiliki program ketahanan keluarga melalui upaya mewujudkan Keluarga Sakinah dan Qaryah Thayyibah. Program ini, menurutnya, harus dijalankan dengan berpijak pada data sosial yang nyata, serta melalui penafsiran Al-Qur’an dan hadis yang adil dan ramah, demi terwujudnya Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (*)
