SOLO, MENARA62.COM – Desa Panggungharjo di Kalurahan Sewon, Bantul, Yogyakarta, semakin memperkokoh posisinya sebagai salah satu desa wisata berbasis budaya yang berkelanjutan berkat Festival Desa Wisata yang didukung oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui pendanaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Skema Pemberdayaan Berbasis Masyarakat dalam ruang lingkup Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat.
Sebagai bagian dari program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dengan topik “Pengembangan Kawasan Karangkitri sebagai Generator Desa Wisata Berkelanjutan di Desa Panggungharjo,” program ini diprakarsai oleh kolaborasi akademisi dari 2 universitas, yakni: (1) Wisnu Setiawan, S.T., M.Arch., Ph.D. dari Program Studi Arsitektur UMS; (2) Afif Ari Wibowo, S.Si., M.Sc. dari Fakultas Geografi UMS; (3) serta Dr. Hijrah Purnama Putra, S.T., M.Eng., dari Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII).
“Festival Desa Wisata merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan potensi wisata lokal dan memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata secara berkelanjutan,” kata Wisnu Setiawan, Jum’at (13/12/2024).
Festival Desa Wisata Panggungharjo, lanjutnya, diharapkan dapat menjadi model bagi desa wisata berkelanjutan di Indonesia, terutama dalam memanfaatkan potensi lokal secara kreatif dan inovatif.
Afif Ari Wibowo juga menerangkan bahwa dengan melalui pendekatan pengembangan budaya lokal yang berkelanjutan, Desa Panggungharjo berhasil membuktikan bahwa kolaborasi yang solid dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat desa sekaligus menciptakan daya tarik wisata yang autentik.
Festival yang berlangsung pada Sabtu (23/11/2024) itu, dibuka dengan pemaparan Masterplan Desa Panggungharjo yang disampaikan oleh Kamituwo Panggungharjo, Hosni Bimo Wicaksono, Amd., yang menjelaskan bahwa masterplan tersebut menjadi dokumen strategis yang menjadi acuan pengembangan desa.
“Konsepnya terinspirasi oleh filosofi sumbu keistimewaan Yogyakarta, dengan Situs Panggung Krapyak yang terletak di bagian utara desa sebagai titik awal perencanaan,” kata Hosni Bimo Wicaksono.
Bimo mewujudkan konsep tersebut melalui formasi Rasi Bintang Pari yang dikenal sebagai Gubuk Penceng pada masyarakat Jawa, sebagai representasi dari filosofi Sedulur Papat Kalima Pancer. Filosofi itu menggambarkan keseimbangan antara empat elemen penjuru arah dengan satu pusat koordinasi yang terletak di kawasan pemerintahan desa.
Empat elemen dalam filosofi tersebut diwujudkan melalui pengembangan empat kawasan utama, yaitu Panggung Krapyak sebagai ikon sejarah dan budaya, Kawasan Karangkitri sebagai pusat pengembangan keberlanjutan, Kampoeng Mataraman sebagai ruang interaksi sosial budaya, serta Situs Yoni Karanggede yang memiliki nilai spiritual dan sejarah tinggi.
“Semua elemen ini dikoordinasikan dari pusat pemerintahan desa, yang menjadi Pancer sebagai representasi dari pusat energi dalam filosofi tersebut,” papar Kamituwo Panggungharjo.
Salah satu mitra menyatakan bahwa kegiatan seperti ini sangat positif dan perlu dilanjutkan. Menurutnya, festival ini tidak hanya mengenalkan potensi wisata lokal, tetapi juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Di penghujung acara, peserta memberikan testimoni terkait pengalaman mereka. Sebagian besar peserta mengaku mendapatkan wawasan baru tentang pengelolaan desa wisata berbasis masyarakat. Acara ini juga dianggap menjadi sarana untuk memperkuat sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan akademisi dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. (*)