30.8 C
Jakarta

UMS Insight Ungkap Penyebab Hujan Ekstrem, Guru Besar Geografi Soroti Dampak Alih Fungsi Lahan

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Anomali iklim yang belakangan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia menjadi perhatian serius berbagai pihak. Fenomena hujan ekstrem, banjir bandang, dan potensi bencana hidrometeorologis dinilai bukan sekadar peristiwa musiman, tetapi berkaitan erat dengan kondisi geografis, perubahan iklim global, serta perilaku manusia dalam mengelola lingkungan.

Guru Besar Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si., menjelaskan bahwa anomali iklim sejatinya bukan fenomena baru. Namun, intensitas dan skalanya kini semakin besar.

Ia menyinggung peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait potensi siklon tropis yang jarang berdampak langsung ke wilayah Indonesia.

“Anomali iklim ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun ke tahun, hanya saja kemarin intensitasnya sangat besar dan jarang terjadi, serta arah geraknya yang tak dapat diperkirajan” ujarnya, Selasa (30/12).

Menurut Kuswaji, hujan dengan intensitas tinggi yang seolah terjadi dalam waktu singkat menjadi indikasi adanya gangguan sistem iklim. Namun, ia menegaskan bahwa bencana tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan iklim. Faktor geografis dan aktivitas manusia turut memperparah dampaknya.

“Bencana tidak murni perubahan iklim, karena secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan dengan pegunungan vulkanik yang rapuh dan diperparah oleh aktivitas antropogenik,” katanya.

Ia menambahkan, alih fungsi lahan dan pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana menjadi pemicu utama meningkatnya risiko bencana. Evaluasi tata ruang wilayah, menurutnya, harus berbasis pada aspek kebencanaan dan dilakukan secara konsisten.

“Tata ruang wilayah itu seharusnya dievaluasi terus-menerus, bukan hanya lima tahunan, karena kondisi lingkungan kita sangat dinamis,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap bencana. Sebagai negara tropis dengan intensitas hujan tinggi dan kondisi geologis yang tua, potensi banjir dan longsor dapat terjadi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.

Indonesia ini seperti laboratorium kebencanaan dunia, sehingga kewaspadaan harus merata di semua wilayah,” ungkapnya.

Dalam konteks penanggulangan bencana, ia menilai fokus penanganan masih terlalu berat pada saat tanggap darurat. Padahal, upaya prabencana seperti mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat jauh lebih penting.

“Yang perlu diperkuat adalah kesiapan dan mitigasi, bukan hanya mengirim bantuan saat bencana sudah terjadi,” tegasnya.

Ia mencontohkan negara Jepang yang berhasil membangun budaya tangguh bencana melalui pendidikan dan latihan berkelanjutan. Di Indonesia sendiri, upaya serupa telah dilakukan melalui program desa tangguh bencana dan sekolah siaga bencana, termasuk yang didampingi oleh Fakultas Geografi UMS.

Terkait sistem peringatan dini, Kuswaji menjelaskan bahwa untuk bencana geologi seperti gempa bumi dan gunung api, Indonesia sudah memiliki instrumen yang memadai. Namun, untuk bencana hidrometeorologis seperti banjir bandang, sistemnya masih bersifat prediktif.

“Untuk banjir bandang memang belum ada peringatan dini yang pasti, karena sifatnya sangat dinamis dan dipengaruhi banyak faktor,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya mitigasi berbasis komunitas yang dimulai dari kebiasaan sederhana, seperti pengelolaan sampah dan penghijauan. Menurutnya, pohon memiliki peran vital dalam menyerap air hujan dan mencegah limpasan permukaan.

“Hujan itu seharusnya kita panen, disimpan menjadi air tanah, bukan dibiarkan menjadi banjir yang merusak,” tuturnya.

Sejalan dengan penjelasan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana menegaskan bahwa peningkatan intensitas hujan dan bencana hidrometeorologis perlu disikapi dengan kesiapsiagaan yang matang.

BNPB menyebut bahwa penetapan status keadaan darurat didasarkan pada dampak nyata bencana, seperti luas wilayah terdampak, jumlah korban, kerusakan lingkungan, serta terganggunya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

“Pedoman BNPB juga menekankan bahwa penanganan bencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat semata. Upaya mitigasi dan pengurangan risiko harus menjadi bagian penting dalam pengelolaan wilayah, terutama di daerah rawan banjir dan longsor,” paparnya.

Evaluasi tata ruang, pengendalian pemanfaatan lahan, serta peningkatan kapasitas masyarakat menjadi faktor kunci untuk menekan dampak bencana yang berulang.

Dengan karakter Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana hidrometeorologis, BNPB menggarisbawahi pentingnya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam membangun ketangguhan bencana.

Pendekatan berbasis risiko dan lingkungan ini, lanjutnya, dinilai menjadi langkah strategis agar kejadian hujan ekstrem dan banjir bandang tidak selalu berujung pada kondisi darurat yang merugikan banyak pihak.

Menutup pemaparannya, Kuswaji mengajak generasi muda untuk tidak mudah lupa terhadap pelajaran bencana. Ia menilai perubahan iklim sudah nyata dan menuntut tanggung jawab bersama.

“Perubahan iklim itu nyata, dan tugas kita bersama adalah mengelola alam dengan lebih bijak agar bencana tidak terus berulang,” tutupnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!