SOLO, MENARA62.COM – Program Studi Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali mengukuhkan empat doktor baru. Pengukuhan ini diselenggarakan di Ruang Seminar Gedung Pascasarjana UMS, Senin (22/9).
Kali ini, PDIH UMS mengukuhkan FX Ary Setiawan sebagai doktor ke 98, Jhonsen Ginting sebagai doktor ke-99 Moh. Indra Bangsawan sebagai doktor ke-100, dan Suryani sebagai doktor ke-101.
Promotor Prof. Dr. H. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum, menyampaikan kepada para doktor baru agar sebagai doktor tetap mampu membuat riset yang tidak hanya berdampak pada akademik, diri sendiri, tetapi juga berdampak pada masyarakat.
“Jadi jangan sampai selesai kuliah lalu tidak tidak melakukan riset. Tidak membuat tulisan-tulisan yang kira-kira akan bisa berdampak bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat atau mungkin bangsa Indonesia,” ungkap Khudzaifah Dimyati.
Sebelumnya, Suryani telah melakukan sidang terbuka terkait dengan disertasinya yang berjudul “Nilai dan Ruh Transenden dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Telaah Undang-Undang Sumber Daya Agraria)”.
Menurut Suryani, persoalan pembentukan perundang-undangan kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan persoalan berkaitan dengan keputusan pengadilan. Dalam pandangannya, proses pembentukan undang-undang terkadang menimbulkan perasaan jijik terhadap adanya undang-undang tersebut.
Suryani juga melihat, di dalam realitas pembentukan perundang-undangan di bidang pertanahan, menunjukkan proses pembentukan yang tidak transparan, kurang partisipatif, bahkan cenderung tersembunyi.
Banyak proses pembentukan undang-undangan yang pemeran utamanya adalah anggota DPR. Dari data, didapatkan bahwa DPR melakukan tindakan-tindakan di dalam proses ini penuh dengan nuansa kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Transformasi hukum transenden dalam hukum agraria nasional, itu dibutuhkan. Hal tersebut menurutnya merupakan paradigma baru yang ia rasa sangat relevan untuk pengembangan hukum di Indonesia. Ini berkaitan dengan berbagai macam nilai-nilai spiritual yang berkembang di Indonesia.
Dia juga menggarisbawahi urgensi mengakomodir transenden dalam pembentukan undang-undang dalam bidang agraria di Indonesia ini, sudah banyak hal yang dapat menjadi rujukan di antaranya konsep negara hukum pancasila seperti sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Nilai transenden adalah bentuk pengakuan sumber ilahi dan ini harus dijalankan secara konsisten. Diaktualisasikan nilai-nilai itu, dihayati oleh para pembentuk dan bisa dicerminkan di dalam suatu produk perundang-undangan,” terang Suryani.
Namun dia melihat, dominasi politik dan ekonomi kita memilukan nilai-nilai transenden itu menjadi nilai-nilai liberal-kapitalis. Sehingga banyak perundang-undangan di Indonesia lebih berpihak kepada kepentingan-kepentingan sekelompok. (*)
