26.2 C
Jakarta

UMS Sambut Ramadan dengan Kajian Tarjih Online

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Sebelas hari menjelang puasa Ramadan 1446 H, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyambut bulan yang mulia itu dengan Kajian Tarjih bertajuk Tarhib Ramadan. Acara tersebut diselenggarakan dengan harapan pada Ramadan tahun ini benar-benar menjadi Ramadan yang terbaik dengan persiapan yang maksimal, sehingga dapat menjadi umat Islam yang bertaqwa.

Kegiatan yang dilakukan secara daring di platform Zoom Meeting serta disiarkan langsung di Kanal Youtube tvMu Channel pada Selasa (18/2/2025) itu, menghadirkan pembicara utama, Yayuli, S.Ag., M.P.I., yang dipandu oleh moderator, Agung Siswanto, S.E., menyampaikan materi secara rinci tentang apa saja yang harus dipersiapkan untuk menyambut bulan Ramadan. Setelah penyampaian materi, dilakukan juga diskusi tanya jawab dengan salah satu peserta kajian yang sedang berhijrah.

Telah diketahui bersama bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan berkah, di mana umat Islam melaksanakan ibadah lebih intensif dari hari biasa, dan bulan di mana Al Qur’an diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu Yayuli mengajak umat Islam untuk bersama-sama Tarhib (sambut dengan gembira).

Berdasarkan sunnah Rasulullah, Yayuli menyampaikan hadits yang diterima oleh Aisyah (sahabat dari kalangan perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadits nabi) yang berbunyi “dari Aisyah RA ia berkata, saya tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadan dan aku tidak melihat beliau banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban”.

“Dalam melakukan Tarhib Ramadan, kita dianjurkan untuk mendalami tentang apa itu puasa,” kata Yayuli saat mengawali pembahasan.

Merujuk pada kitab fiqh yang telah dirumuskan pada Majelis Tarjih, Kabid Pengalaman AIK dan Kaderisasi Pondok Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS itu menerangkan bahwa puasa dilihat dari 2 pendekatan. Pertama, puasa dari segi etimologi yang berarti menahan dari segala sesuatu dan meninggalkannya. Kedua, puasa dari segi syariat Islam adalah menahan diri dari makan, minum, dan jima’ (bersetubuh antara suami dan istri) disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Berdasarkan hadits nabi yang ditakhrij oleh Bukhari dalam kitabul iman, yang berbunyi “dari Umar, Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung apa yang diniatkan.” Maka Yayuli menerangkan di Muhammadiyah mentradisikan untuk memurnikan niat dan niat tempatnya ada di hati, bukan di mulut.

Ia menjelaskan, sesuai dengan hadis Nabi SAW, bahwa puasa dimulai pada 1 Ramadan dan berakhir pada akhir Ramadan, yakni 29 atau 30 hari, tergantung pada kondisi bulan. Maka dari itu umat Islam wajib mengetahui awal bulan Ramadan dengan dasar sesuai dengan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-23 Tahun 2003 di Padang, yang berbunyi “Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan ruqyah yang dijadikan sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.”

Dalam kajian rutin selasa pagi ini, Yayuli juga menerangkan dasar kewajiban berpuasa Ramadan yang tertera dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Hal menarik terjadi saat sesi tanya jawab, salah satu peserta kajian, Muhammad Israfil dari Ponorogo, Jawa Timur, mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung. Pertanyaan pertama tentang hubungan suami istri saat bulan puasa. Ia menanyakan apakah seseorang yang telah melakukan hal tersebut, meskipun sah menurut agama dan negara, tetap wajib membayar kafarat setelah mengetahui ketentuan hukumnya, jika sebelumnya tidak memahami aturan tersebut.

Pertanyaan kedua, Muhammad Israfil (sering dipanggil Adi), mengaku telah memakai tindik di lidah, kemudian menanyakan apakah tindik yang ia pakai itu dapat membatalkan puasanya. Terakhir, Adi yang berpenampilan memakai tato serta tindik di telinga dan lidah itu menceritakan bahwa dirinya sempat dikomentari oleh jamaah lain saat melaksanakan shalat di Masjid.

“Saya menjawab bahwa tato dan tindik ini urusan saya dengan Allah SWT, untuk sah tidaknya Anda tidak bisa menilainya bahkan kita sendiri tidak tahu shalat kita itu khusyuk atau tidak,” kata Adi.

Adi juga memberikan kisah sahabat nabi yang katanya shalatnya paling khusyuk namun gagal ketika diuji oleh nabi Muhammad SAW, apalagi orang sepertinya.

Menjawab pertanyaan hubungan suami istri saat bulan puasa yang belum mengetahui syariat, pembicara menerangkan bahwa orang yang belum mengetahui syariat tersebut berarti belum mendapatkan kewajiban untuk membayar kafarat. Lebih lanjut, Yayuli menjelaskan bahwa Islam mensyaratkan dalam melakukan syariat salah satunya sudah Baligh, karena baligh adalah indikasi dari orang yang sudah mengetahui syariat.

Menanggapi pertanyaan tindik di lidah apakah membatalkan puasa, Yayuli menerangkan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam membatalkan puasa karena tindik hanya berada di lidah, tidak sampai ke tenggorokan. Namun terlepas dari itu, ia menyarankan sebagai umat Islam yang beriman untuk tidak bertindik, karena lidah merupakan karunia dari Allah SWT untuk dapat merasakan apapun.

Berbagai respon timbul dari peserta, salah satunya Dra. Yayah Khisbiyah, M.A., yang mengatakan bahwa pertanyaan dari Adi adalah cerminan dari pertanyaan masyarakat luas serta berharap semoga melalui kajian ini semakin banyak masyarakat yang terbuka oleh dakwah Muhammadiyah yang sejuk. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!