SOLO, MENARA62.COM – Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyoroti pentingnya psikoedukasi bagi penyintas bencana di tengah meningkatnya kejadian banjir, gempa, dan erupsi yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini. Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Psikologi UMS, Fajar Ruddin, S.Psi., M.Sc., M.A.
Fajar menjelaskan bahwa bencana alam merupakan stressor besar yang memicu tekanan psikologis, berbeda dengan stres sehari-hari seperti kemacetan atau konflik di lingkungan kerja dan kampus. Menurutnya, bencana memiliki dampak fatal yang lebih luas, baik secara ekonomi maupun kesehatan, terutama ketika penyintas kehilangan pekerjaan, penghasilan, atau bahkan anggota keluarga.
Selain tekanan ekonomi, penyintas juga menghadapi ancaman serius terhadap kesehatan fisik dan mental. Minimnya akses makanan, hilangnya rutinitas, serta kondisi lingkungan yang tidak stabil dapat memunculkan masalah traumatik yang berkepanjangan.
“Kalau ada keluarganya yang juga jadi korban, misalnya meninggal, itu akan menambah stres mereka. Bisa berakibat pada traumatik,” jelasnya saat ditemui di Fakultas Psikologi UMS pada Kamis (11/12).
Dalam ranah psikologi bencana, Fajar menerangkan bahwa penyintas akan melalui fase psikologis tertentu setelah kejadian. Pada fase awal bencana, masyarakat masih merasakan dukungan moral dan material dari relawan maupun warga sekitar. Kondisi ini membuat mereka merasa tidak ditinggalkan, meski menghadapi tekanan yang berat.
Namun, lanjutnya, fase tersebut tidak berlangsung lama. Ketika bantuan mulai berkurang dan relawan kembali ke aktivitas masing-masing, penyintas mulai merasakan realitas sesungguhnya, meliputi perekonomian yang hancur, tuntutan kebutuhan hidup, dan keterbatasan dukungan. Fajar menegaskan bahwa pada fase inilah pendampingan psikologis menjadi sangat krusial agar penyintas tidak merasa disisihkan.
Terkait dampak psikologis, Fajar menyebut trauma, khususnya Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebagai gangguan yang paling sering dialami korban. Banyak penyintas kembali merasakan ketakutan ketika mendengar suara atau melihat situasi yang mengingatkan pada bencana. Ia mencontohkan penyintas erupsi Merapi yang kembali cemas saat mendengar suara gemuruh kendaraan, atau warga Palu yang setiap September berlarian menyelamatkan diri lantaran trauma gempa besar 2018.
Fajar menekankan bahwa pendekatan psikoedukasi harus dilakukan melalui pendampingan berkelanjutan dan kolaborasi lintas sektor. Akademisi, relawan, tokoh agama, dan lembaga sosial memiliki peran untuk memberikan ketenangan, pelatihan keterampilan, serta aktivitas produktif bagi penyintas. Anak-anak dan remaja perlu difasilitasi melalui permainan dan pembelajaran, sedangkan orang dewasa diberikan pelatihan baru untuk kembali berdaya secara ekonomi.
Dalam konteks bencana masif, seperti banjir besar atau letusan gunung berapi, penyintas sering mengalami syok mendalam. Pendekatan psikoedukasi melalui pembentukan kelompok-kelompok kecil dinilai efektif untuk saling memberikan penguatan emosional, terutama antar pelajar atau masyarakat yang berada di lingkungan pengungsian yang sama. Hal ini juga membantu meminimalkan kecemburuan sosial akibat ketimpangan bantuan.
Untuk kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia, Fajar menyampaikan perlunya strategi khusus. Anak-anak perlu aktivitas bermain dan belajar agar tidak jenuh, sementara lansia harus tetap diberdayakan melalui diskusi, kegiatan keagamaan, atau penyuluhan.
“Kalau mereka di pengungsian hanya tidur-tiduran, itu justru berpotensi menimbulkan stres,” ujarnya.
Tantangan lain yang dihadapi tim psikolog adalah faktor budaya dan bahasa. Perbedaan latar belakang antara relawan dan penyintas dapat menghambat proses building rapport atau membangun kedekatan. Oleh karena itu, psikolog perlu memahami konteks lokal agar dapat diterima oleh masyarakat yang melihat mereka sebagai “orang luar”.
UMS sendiri aktif terlibat dalam dukungan respons psikososial melalui penggalangan dana, koordinasi dengan HIMPSI wilayah terdampak, serta pengiriman relawan ke berbagai lokasi bencana, termasuk erupsi Merapi dan misi kemanusiaan internasional. Fajar menyebut bahwa kampus selalu siap mendukung sesuai kebutuhan lapangan.
Mengakhiri wawancara, Fajar menyampaikan pesan kepada penyintas untuk tetap sabar dan menguatkan diri. Ia menilai bahwa ujian ini dapat melatih resilience atau daya lenting psikologis seseorang. Masyarakat juga diimbau menjaga kohesivitas dan tidak memperbesar potensi gesekan sosial dalam distribusi bantuan agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi dapat berjalan lebih cepat. (*)
