30.1 C
Jakarta

Ustadz Sehat Milik Umat, Namun Terlantar Jika Sakit

Baca Juga:

Oleh.  Ashari.SIP*

Jika kita refleksi, ketika Ramadhan tiba maka frekuensi ceramah para ustadz/ah atau dai kita meningkat hebat. Memasuki syawwal akan turun pelan-pelan. Landai. Maka bagi sebagian orang terutama yang berprofesi sebagai ustadz atau ustadz sambilan sekalipun yang artinya pekerjaannya/profesinya dapat bermacam-macam, namun sambilannya sebagai penceramah agama, Ramadhan adalah bulan sibuk. Bandingannya kalau sebulan memberikan ceramah hanya 2-3 kali pada Ramadhan bisa naik 100-200 persen bahkan lebih, karena dimintai tolong jamaah masjid dekat rumah, desa atau kecamatan untuk menyampaikan kajiannya ke- Islaman, yang menyangkut akidah, akhlak, tarikh dan tidak jarang tadjwid.

Kenaikan frekuansi ceramah di lain tempat ini secara langsung pasti berimbas kepada tingkat kesehatan seorang ustadz/ah. Kalau mereka tidak pandai menjaga kesehatan akan drop ditengah jalan. Istilahnya semangat besar, namun stamina kurang. Akhirnya sakit. Nah, kalau sudah begini siapa yang bertanggungjawab? Umat atau keluarga? Yang lazim terjadi dimasyarakat kita adalah kalau sehat ustadz milik umat, tetapi kalau sakit ustadz milik keluarganya. Hingga tidak jarang yang terlantar.

Saya kira ini menjadi perenungan bersama oleh takmir masjid dan orang-orang mampu untuk secara berjamaah mencarikan solusinya, ketika sang ustadz/ah tiba-tiba sakit. Selama ini masih sering kita jumpai dibanyak masjid (semoga sudah bergeser) bahwa infak masjid hanya ditumpuk-tumpuk, berlomba-lomba dalam hal jumlah, tidak lagi dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, apalagi kembali ke umat. Ketika jamaah masjid ada yang sakit, jamaah masjid ada yang kesulitan makan, atau biaya pendidikan, takmir masjid seolah-olah tidak tahu.

Bahkan yang lebih ironi kadang uang masjid yang dihimpun dari para jamaah pula,  dianggapnya sebagai uang sendiri, hingga untuk mengeluarkannya sangat berat seperti menarik bambu dari ujung.  Ini bukan sebuah gugatanyang tidak bermoral, tetapi justru lebih kepada empati kepada saudara-saudara kita yang bertugas mulia sebagai ustadz/ah. Kadang mereka tidak memikirkan cuaca dan suasana, asal masih bisa ditempuh dengan jalan kaki, naik sepeda, motor atau mobil maka hujan pun kadang tidak menjadi masalah.

Jumlah ustadz/ah dari tahun ke tahun kita predisksi tidak banyak mengalami penambahan yang signifikan. Artinya Ustadz/ah Ramadhan dari itu ke itu juga. Karena dalam prakteknya menjadi ustadz/ah yang konsisten juga tidak gampang. Bagaimana dengan remaja masjid kita yang konon digadang sebagai generasi penerus takmir? Dalam banyak masjid kita dapati remaja kita sedang ‘pingsan’. Entah kenapa. Mereka seolah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Seolah abai dengan kepentingan masjid.

Kondisi  ini diperparah dengan sikap orang tua yang tidak lagi memperhatikan anak remaja mereka mengapa tidak lagi aktif di masjid. Banyak orang tua kita lebih bangga kalau anaknya sibuk kuliah semata. Sehingga kalau ditanya dimana putranya tidak kelihatan di masjid, jawabnya dengan mantap kuliah dan banyak tugas. Memang itu adalah hak asasi. Ini menjadi gejala yang bersifat masif. Tapi perlu disikapi.

Mumpung masih ada waktu, maka tidak ada salahnya sebagai panitia Ramadhan atau takmir masjid, mari kita berbenah untuk lebih memperhatikan kesehatan para ustadz/ah yang biasa mengisi, memberikan pencerahan di masjid kita, jangan hanya mereka kita manfaatkan ilmunya. Saya yakin para ustadz/ah (Insya Allah) ikhlas dalam mengemban tugasnya. Hanya mengharap ridho-Nya. Namun sebaiknya guyung bersambut kita yang membutuhkan, adabnya juga mencoba lebih empati terhadapnya. Tentu tidak harus berlebihan. Sewajarnya saja.

Ustadz boleh dibilang ‘makhluk langka’ jumlahnya masih terbatas. Perbandingannya dengan umat masih sangat timpang. Maka sesungguhnya kehadiran mereka sebagai generasi pencerah patut kita hargai. Keikhlasan mereka selama ini dalam berdakwah kadang siang malam, sudah sepantasnya kalau kita hargai tidak dengan keikhlasan semata, tetapi sedikit banyak yang menunjang terhadap akomodasinya.

Mereka sudah rela mewakafkan waktunya, ilmunya, bahkan kadang harta dan nyawanya demi keberlangsungan pengajaran agama. Saya pernah dapat cerita seorang ustadz yang mempunyai jamaah pengajian lebih dari 45 kajian per bulannya. Bagaimana mengatur waktu untuk diri dan keluarganya. Belum lagi resiko di jalan. Pernah cerita dicegat sekelompok anak muda dipukuli, hanya karena salah tafsir. Kalau begini tanggungjawab siapa? sekian)

* Penulis: Pengurus PCM Sleman – Opini Pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!