Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Pemilihan umum atau pemilu digelar setiap 5 tahun sekali, demokratisasi politik kekuasaan harus terus ditingkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, tidak boleh dikebiri apalagi sampai berhenti, hal itu menyakiti ibu pertiwi. Dari tahun ke tahun sebaiknya harus meningkat kualitas demokrasinya, bukan sebaliknya. Sistem proporsional terbuka atau tertutup selama mental penyelenggara negara dan pelaksana teknis pemilu masih diintervensi selama itu pula kualitas produk pemilu, hasilnya tidak akan ada peningkatan signifikan. Justru produk pemilunya sarat dengan indikasi kecurangan, baik tingkat paling atas hingga pelaksana paling bawah. Sekalipun ada badan atau lembaga pengawas pemilu, realitanya cenderung sekedar syarat formal memenuhi perundang-undangan pemilu yang mengharuskan ada badan pengawasan dalam kepemiluan.
Ada ungkapan unik namun faktual, sebagaimana yang dikatakan oleh Joseph Stalin, “Orang-orang yang memberikan vote ( suara) tidak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote (suara), itulah yang menentukan hasil pemilu”. Dari pernyataan Stalin memberikan penegasan bahwa pemilih atau voters tidak bermakna ketika memberi suara kecuali yang menghitung suara dari para voters, artinya bahasa tegasnya jikalau dianalogikan dalam perspektif politik bahwa yang paling penting menentukan hasil pemilu yaitu komisi para penghitung suara, mulai dari tingkat KPPS hingga final penghitungan di tingkat pusat. Begitu adanya, fakta tersebut secara praktis menunjukkan bahwa pelaksana pemilu memiliki peran penting dalam menentukan hasil pemilu, baik dalam skala kepentingan lokal, regional maupun nasional.
Sependek yang diketahui, semakin jujur dan adil pelaksanaan pemilu dan segala instrumennya, maka akan menghasilkan para pemimpin jujur dan adil. Hal itu menjadi alasan, bahwa proses pemilu bagian terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat berharap pemimpin yang melayani, peduli dan peka pada kehidupan rakyat senyatanya. Semaksimal mungkin pelaksana pemilu benar-benar memiliki integritas demi tercapainya pemilu yang menghasilkan para pemimpin yang jujur, adil, peka dan peduli pada rakyat. Penting sekali, selain menjaga dan menunaikan amanah suara yang diberikan rakyat namun juga menjadi wakil atau mewakili konstitusi yang sudah dilegitimasi, baik yang bersumber dari Allah Ta’ala maupun dari pranata sosial yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Secara politik kebangsaan, penyelenggaraan negara dalam hal dinamika kepemimpinan bangsa dan negara sangat lekat dengan proses pemilu sebagai salah satu alat utamanya.
Fakta di lapangan berkali-kali pemilu, peran dan fungsi pelaksana teknis penyelenggaraan pemilu sangat kental dan rentan intervensi kekuasaan. Transaksi jual beli suara dalam bentuk kemasan yang rapih dan tertutup hampir dipastikan berjalan sudah cukup lama dari sejak demokrasi lahir di dunia. Wajar Joseph Stalin sangat muak dan marah terhadap para penghitung suara, dalam hal ini penyelenggara pemilihan umum. Karena di tangan mereka kalkulasi matematika pemilu yang menentukan siapa suara terbanyak dalam kontestasi pemilu, pilkada dan pilkades. Menjadi hal lumrah terlihat kasat mata tanpa malu, menjadi kandidat kepala desa, bupati, walikota, gubernur dan Presiden benar-benar harus memiliki cost politik yang sangat super mahal. Lebih gila lagi, modal cost politik berani pinjam penuh dengan riba dan fasad, astaghfirullah.
Demokrasi memang milik para oligarkhi. Mereka hanya segelintir manusia yang tamak dan serakah. Dalam benak dan pikirannya, hanya harta benda yang melimpah ruah, tidak peduli dengan cara apapun tetap akan ditempuh dan dipenuhi. Bahkan tidak tanggung-tanggung sekalipun harus banyak mengorbankan jiwa dan raga, berapapun mereka tetap membelinya. Termasuk dinamika penyelenggara sudah menjadi project petualang politik sosial para penyamun kekuasaan, jatah preman atau japrem. Proses seleksi keanggotaan penyelenggara pemilu di berbagai daerah merebak hingga tak terasa telah menjadi budaya, padahal mereka para tokoh dan cendikiawan yang memiliki reputasi.
Pemilik suara, dalam hal ini rakyat hanya diminta manakala pemilu dan pilkada tiba. Hak-haknya dapat diterima sebatas regulasi dan kebijakan yang memaksa, kadang tidak peduli rakyat dalam kondisi tunawisma dan tunadaksa. Para wakil dan pemegang amanah hanya berusaha keras mengembalikan modal bekas biaya membeli suara, dinamika di atas kursi dewan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi panggung sandiwara yang menjadi tempat drama dan hiburan semata. Peraturan demi peraturan dirancang dan dilegalkan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan negara, namun kadang regulasi dieksekusi sesuai pesanan pihak tertentu, baik itu judulnya untuk rakyat dan umat atau pun murni pesanan konglomerat pada ujungnya sering berhenti tidak jelas apa alasannya.
Setiap pemilu dan pilkada, kontestasi menjadi ajang gengsi setiap individu yang berusaha menjadi politisi. Transaksi visi dan misi diperjual belikan kerap kali tidak terhindari, apalagi basa-basi senantiasa menghiasi oblorolan di warung kopi. Di sisi lain, kondisi hari ini bangsa dan negara kita sedang krisis ekonomi, moral, keberagamaan berakibat krisis kepercayaan publik. Hal ini terus berlanjut hingga tak peduli siapa pencuri dan siapa dai, tak peduli siapa penipu dan siapa pemberdaya, dan tak peduli siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Bagi mereka para pejabat dan birokrat sibuk menumpuk pundi-pundi untuk bekal pensiun nanti. Benarkah itu? Apakah ajaran Islam membenarkan berperilaku demikan? Rasanya berat untuk menjadi manusia baik dan benar, dan juga mudah diungkap dalam kata namun butuh energi extra untuk menjalankan setiap apa yang menjadi kewajiban sebagai hamba.
Voters atau pemilik suara memberikan suara dengan ikhlas, setiap waktu tiba seluruh penduduk di atas 17 tahun ke atas memberi suara dibalik bilik suara. Gegap gempita menyambut hari pesta suara rakyat, namun sangat disayangkan suara tinggal suara selanjutnya yang menentukan adalah para penghitung suara, siapapun mereka baik itu pakai quick count digital atau penghitungan manual sebagaimana menghitung suara di papan tulis. Merekalah salah satu dari sekian stakeholders yang bertanggungjawab dalam proses menentukan kepemimpinan bangsa dan negara. Jumlah suara yang direkap dari seluruh daerah berbagai pelosok negeri penjagaan super ketat, justru dibalik ketatnya ada ruang dan kesempatan manipulasi yang sistematis dan terstruktur.
Banyak cerita dan fakta di negeri antah berantah, menurut informasi yang beredar “cenah jeung beja” trilyunan rupiah penyelenggaran pemilu dan pilkadal habis tanpa sisa, pengorbanan waktu dan harta hampir tak terhingga. Bahkan ratusan jiwa melayang para penyelenggara tingkat level terbawah, cukup hanya belasungkawa tetangga dekat saja. Sementara penikmat suara berpesta pora dan foya-foya meluapkan kegembiraan karena meraih suara yang terbeli. Tidak peduli mereka mati, karena gue sudah membeli dan membayar sesuai harga yang ditawarkan, begitu kira-kira deskripsi analoginya. Transaksional jual beli suara ada dalam penghitungan suara ketika pengambilan hak suara.
Tidak dapat dipungkiri, bagi seorang voters saat ini dihargai oleh para pialang mafia dan tengkulak penjual suara, harganya ada yang barter dengan jabatan ada yang dengan rupiah langsung. Variasi harga tergantung kuantitas dan kualitas voters, hal itu nampak jelas kasat mata ada beberapa aktifis yang memiliki stempel dan bendera entitas sosial besar atau kecil kerap kali melakukan transaksi politik dengan berbagai cara dan modus. Patut dicurigai, manakala ada aktifis organisasi mempertemukan secara sembunyi-sembunyi tanpa ada undangan dan pemberitahuan resmi ada indikasi modus trasaksional bersifat pragmatis. Atau perbuatan lain serupa dengan hal tersebut, ketika pertemuan dengan politisi, birokrat, dan pejabat yang memiliki perangai tidak baik. Seorang Voters sangat berharga, sehingga para politisi, pejabat dan birokrat bermental korup akan senantiasa membeli suara dengan cara apapun, baik dengan investasi jasa atau cara lain yang lebih santun dan soft.
Berhati-hati bagi para voters, suaramu sangat berharga bagi bangsa dan negara. Untukmu para penghitung suara, tangan dan jarimu akan dipertanggungjawabkan dihadapan pemilik suara dan akan diadili di pengadilan yang Maha Adil. Jumlah dari suara hasil hitungan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa, jujur dan adil dalam kepemiluan menjadi tolak ukur indikator penyelenggaraan yang sehat dan sportif. Jikalau institusi komisi penghitung suara bermain api, hal tersebut akan berbalik pada dirinya. Tidak menutup kemungkinan akan membakar, bukan hanya pada dirinya melainkan masa depan bangsa terbakar hangus tanpa sisa kecuali arang dan abu kesedihan. Wallahu’alam.
Bandung, Februari 2023