JAKARTA, MENARA62.COM – Popularitas rokok elektrik (e-rokok) atau vape di tengah masyarakat milenial, ditanggapi budayawan Edy A Effendi sebagai bagian dari budaya pop yang instan, rapuh, dan tanpa ruh. Yang penting bagi mereka, terutama kawula muda, adalah mengikuti tren.
“Saya melihat, wabah rokok elektrik ini seperti budaya pop nonton melodrama Korea yang sedang menjangkiti kalangan ibu-ibu, emak-emak. Jika seseorang sudah masuk dan terjebak pada wabah kecanduan, tidak akan melihat efek atau dampak yang terjadi dalam dirinya,” kata Edy kepada menara62.com, Ahad (15/9/2019) pagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, mereka seakan tak peduli dengan akibatnya yang sangat merusak atau ancaman penyusupan narkoba cair ke dalam alat paving. Padahal, sudah tersaji contoh kasus esktrem berupa kematian dan gangguan kesehatan akut pada paru-paru terhadap banyak pecandunya, seperti terjadi di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini.
Mereka umumnya baru bisa berhenti dari kecanduan jika ajal menjemput atau terkapar di rumah sakit dengan dipasangi alat bantu pernapasan yang membuatnya tak berkutik. Atas fenomena ini Edy bicara tentang hakikat: “Mereka terjebak oleh keinginan nafsu atau jiwa, tapi tidak disertai ruh mereka.”
Wabah vaping, lanjut Edy, juga bisa timbul karena lintas pergaulan yang begitu marak di kalangan milenial dan orang dewasanya. “Lantas, mereka terperangkap pada budaya instan,” ujarnya.
Fenomena itu bukan cuma domain Indonesia, tetapi mengglobal. “Realitas seperti ini menjamur di berbagai negara. Bahwa budaya pop itu sering kali menyerang, menjadi virus, bagi kelompok milenial,” katanya.
Persoalannya, menurut Edy, mereka jauh dari buku, tidak memiliki tradisi tulisan, dan membaca, sehingga seringkali melihat dunia realitas di luar dirinya secara spontan tanpa ada filterisasi.
“Yang ada pada mereka adalah tradisi omong-omong, gosip, yang kemudian terjadi gerakan masif serba instan di kalangan anak muda sebagai sebuah tren yang digemari dan menjadi kiblat. Misalnya, tren rambut punk, bertato, atau menonton orkestra termasuk paving, yang tidak memiliki ruh,” kata Edy, yang juga dikenal sebagai penyair dan sastrawan.
Edy melanjutkan, kerangkeng budaya instan itu mengingkari proses sehingga lebih mudah dimasuki. “Tidak perlu proses rumit dan lama serta tanpa pembelajaran dan estafeta,”katanya.
Ia menganalogikannya dengan produk mi instan. “Tidak perlu proses memasak air dan menyiapkan bumbu yang begitu lama, tapi bisa cukup dengan air di termos, diseduhkan, maka dengan cepat jadilah mi siap santap. Nah, anak-anak muda yang terjangkit e-rokok itu kareba mereka ingin sesuatu dicapai dengan cara mudah,” tandas Edy.