Dalam pergaulan sehari-hari, tentu kita menjumpai banyak model dan ragam wajah seseorang. Ada wajah yang tampak selalu ceria. Ada wajah yang meneduhkan dan menyejukkan jika dipandang. Ada wajah yang penuh kharisma dan kewibawaan. Ada wajah yang tampak kusut seolah tak pernah dihiasi senyuman. Bahkan ada wajah yang jika kita menatapnya akan memunculkan rasa takut.
Mengapa wajah setiap orang berbeda? Apa yang mempengaruhi raut wajah setiap orang itu?
Tentu, ada banyak jawaban bisa dikemukakan atas dua pertanyaan tersebut. Bahkan, setiap orang bisa jadi memiliki beragam jawabannya. Tetapi, dalam tulisan ini saya ingin memberikan sebuah jawaban berdasarkan pengalaman pribadi. Jawaban yang didapat dari perjalanan hidup selama ini, juga dari banyak keterangan yang pernah dibaca dari sejumlah literatur. Jawaban yang dimaksud adalah tampilan raut wajah seseorang. Itu cerminan apa yang ada di dalam hatinya.
Jika seseorang itu hatinya penuh dengan perasaan positif, maka selalu tenang dalam menyikapi setiap persoalan yang datang menghadang. Ia tidak pernah menyimpan rasa iri, dengki, amarah, dendam dan segala penyakit hati lainnya, maka bisa dipastikan raut wajahnya memancarkan cahaya kemuliaan. Wajah itu penuh kharisma, meneduhkan jika dipandang, menyejukkan jika ditatap, membahagiakan jika dilihat. Inilah wajah yang menunjukkan kematangan jiwa. Inilah wajah yang penuh aura positif. Inilah wajah yang mendapat pancaran Ilahi.
Sebaliknya, jika seseorang itu hatinya dipenuhi oleh perasaan negatif, syak wa sangka, menghadapi setiap persoalan yang hadir dalam hidupnya dengan keluh kesah, purba sangka, curiga, serta selalu memendam rasa iri, dengki, amarah, dendam, dan beragam penyakit hati lainnya, maka sudah pasti wajahnya jauh dari pancaran cahaya Tuhan, tak tampak sedikit pun rona kebahagiaan apalagi keteduhan dan kesejukan. Yang tampak hanyalah wajah penuh amarah, kebencian, serta diliputi beragam persoalan hidup.
Ketika kita memandangnya, tak terlihat sedikit pun aura positif dari wajahnya. Ketika kita menatapnya, tak tampak sedikit pun pancaran sinar ilahi. Inilah wajah yang menunjukkan kegamangan, kegalauan serta ketidaknyamanan. Inilah wajah yang menampakkan kekerdilan jiwa. Inilah wajah yang jauh dari cahaya Tuhan.
Sesekali cobalah kita bercermin dan tatap wajah kita dalam-dalam. Termasuk dalam kategori yang manakah wajah kita ini? Apakah wajah yang cerah, penuh aura positif, diliputi rona kebahagiaan, memancarkan cahaya, menunjukkan keteduhan, ketenangan jiwa, ataukah justru wajah yang penuh angkara murka, menyimpan rasa iri, dengki, dendam, serta segala perangai buruk lainnya?
Islam mengajarkan umatnya untuk menyucikan wajah dengan membasuhnya ketika berwudlu. Ini makna suci secara lahiriah. Adapun makna suci secara batiniah, yaitu seperti yang banyak dijelaskan dalam karya ulama-ulama tasawuf (para sufi) melalui sejumlah karyanya, yakni menghindarkan segala pandangan yang diharamkan Allah, menjauhi segala ucapan yang tidak bermanfaat, lebih-lebih jika ucapan itu justru menghadirkan mudharat (bencana), seperti: menggunjing (ghibah), fitnah, adu domba (namimah), serta segala ucapan yang menyakiti perasaan orang lain.
Wajah yang cerah, berseri penuh pancaran sinar ilahi hanya akan bisa didapatkan ketika hati sang pemilik wajah itu bersih dan tenang. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa hati itu ibarat cermin yang akan memancarkan cahaya, jika cermin itu bersih. Semakin bersih sebuah cermin, semakin terang cahaya yang akan dipancarkan. Semakin kotor sebuah cermin, semakin redup cahaya yang akan dipancarkan.
Mengutip pendapat Imam al-Ghazali tersebut, penulis ingin menyatakan bahwa wajah adalah cermin dari isi hati seseorang. Semakin bersih hati seseorang, semakin memancarlah cahaya wajah orang tersebut. Semakin kotor hati seseorang, maka semakin redup pula pancaran cahaya di wajahnya.
Ruang Inspirasi, Selasa (7/7/2020).