Oleh: Roni Tabroni
Tanggal ini (24 Juli), 31 tahun lalu (1981) Indonesia berduka. Ulama besar kebanggaan bangsa dan ummat telah tiada. Hamka wafat dengan tenang, meninggalkan sejuta kenangan dan jasanya yang tiada tara.
Lahir dan besar di Ranah Minang, Hamka tumbuh dalam keluarga religius. Di sana Hamka kecil begitu berminat dengan sastra. Karenanya Buya Syafi’i Maarif, menujuluki Ranah Minang dengan “pabrik kearifan kata yang kaya.”
Sejak remaja, Hamka melahap segudang ilmu yang jarang dibaca manusia seusianya. Hamka akrab dengan filsafat dan sejarah. Hamka juga selalu membaca sastra dan informasi tentang narasi besar dunia. Hamka juga tidak ketinggalan dengan bacaan tentang politik. Namun disamping semua itu, Hamka memiliki pondasi yang sangat kokoh yaitu pelajaran dan pemahaman agama yang kuat.
Sebagai putra ulama kesohor yaitu Dr Abdul Karim Amrullah atau yang sering disebut Haji Rasul, Hamka memiliki pemahaman keislaman yang dalam dan maju. Haji Rasul yang dikenal sebagai ulama pembaharu, memberikan warna tersendiri bagi Hamka yang kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah sejak di Sumatera Barat hingga Pimpinan Pusat.
Selain belajar ilmu agama secara langsung di Arab Saudi, pemahaman keagamaan Hamka juga banyak terinspirasi oleh gerakan pembaharuan Islam di belahan dunia lain, yang dilakukan oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini dikenal dengan perjuangan keislamannya yang lebih maju dan modern.
Tokoh pembaharuan itu, tidak hanya menyebarkan pemahaman agamanya lewat mimbar dan forum terbatas, tetapi juga menerbitkan majalah yang terkenal yaitu al-Urwatul Wutsqo dan al-Manar. Majalah ini menyebar ke berbagai belahan negara lain dan mewarnai pemikiran keislaman hingga ke Indonesia (dulu Nusantara). Maka di Singapura terbitlah majalah al-Munir dan di Sumatera Barat terbit al-Imam.
Hamka sendiri, dalam perjalanan dakwahnya selain menerbitkan puluhan buku dan ratusan tulisan yang tercecer di berbagai media massa lain di Indonesia, beliau pernah menerbitkan beberapa majalah yang langsung ditanganinya.
Tercatat di antara beberapa karya itu adalah majalah al-Mahdi. Majalah ini terbit hanya sembilan edisi. Tidak berhenti sampai disitu, Hamka kemudian kembali berdakwah lewat media dengan pergi ke Medan dan menjadi Pimred untuk majalah Pedoman Masyarakat. Sebagai sarana dakwah, bagi Hamka majalah ini tidak hanya beredar di Medan tetapi juga beberapa daerah di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
Setelah berada di Jawa, Hamka tidak berhenti berkarya. Di Jakarta Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Majalah ini cukup menggemparkan dunia persuratkabaran pada zamannya. Isi majalah ini sangat mendalam dan berbobot, di dalamnya terdapat kajian-kajian tentang sejarah Islam, filsafat, peristiwa terkini dunia Islam di berbagai belahan dunia, sastra, budaya, politik dan forum konsultasi.
Bagi pembaca yang sezaman dengannya, akan merasakan lautan ilmu yang sangat berkualitas. Bagi kita yang hidup zaman ini, jika membuka lembar demi lembar majalah ini, akan larut pada arus keislaman dan ilmu yang sangat menyegarkan. Hampir tidak ada kata basi dalam majalah yang sudah tua ini.
Karena terbukanya majalah ini, Hamka tidak tabu dengan isu politik selama itu diyakini benar dan memberikan edukasi yang baik. Hingga akhirnya Hamka menurunkan tulisan M. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita,” sepanjang enam halaman. Tulisan Hatta ini mengkritisi model Demokrasi Terpimpin ala Soekarno saat itu. Soekarno, menurut Hatta telah jatuh pada titik nadir, menjadi pemimpin otoriter dan Indonesia tidak layak lagi disebut negara demokrasi.
Tulisan itu membuat Panji Masyarakat semakin populer dan oplahnya meningkat drastis. Begitu tingginya minat masyarakat terhadap tulisan Hatta, kemudian diterbitkan edisi khusus berupa brosur yang memuat tulisan Hatta itu.
Rupanya, Soekarno tidak berkenan dengan tulisan Hatta. Selain membubarkan Masyumi, Soekarno pun akhirnya “membungkam” gagasan besar Hamka dengan cara menutup Panji Masyarakat, sebagai ladang dakwah dan pencerahan Hamka kepada ummatnya.
Kehilangan sarana penyambung pesannya kepada ummat, orang-orang di sekitar Hamka kemudian selain mendirikan Perpustakaan di Masjid al-Azhar, juga membuat Yayasan Islam. Nasution, Sudirman dan Rowi kemudian menyampaikan gagasannya untuk kembali menerbitkan majalah Islam untuk menyambung pesan dakwah. Di Majalah itu, Hamka akan diposisikan hanya sebagai “pembantu” saja. Tetapi nanti majalah yang kemudian diberi nama “Sinar Islam” ini tiada lain adalah wahana baru bagi Hamka untuk berdakwah, seperti halnya Hamka di Panji Masyarakat. Strategi itu dilakukan untuk menghindari sulitnya perizinan (jika Hamka diposisikan sebagai Pemred).
Terbit tahun 1961, majalah “Sinar Islam” memiliki semboyan “pengetahuan dan kebudayaan Islam.” Maka secara umum isi majalah Islam ini banyak kemiripan dengan Panji Masyarakat. Bahkan saking inklusifnya, dalam majalah ini juga ada rubrik “Kristologi” dengan menyediakan enam halaman. Majalah ini memang menjadi “mimbar” bagi Hamka untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang rahmatan lil alamin dengan corak inklusif.
Namun, terbukanya Hamka, berbanding terbalik dengan urusan aqidah. Bagi Hamka, tidak ada kompromi dengan aqidah. Maka, mudah kita menilai mengapa Hamka begitu keras menentang komunisme. Hamka juga tidak mau berdamai dengan nasakom ciptaan Soekarno. Bahkan sikap kritis Hamka terhadap komunisme, membuatnya sering dihujat, dikritik, bahkan difitnah.
Akibat dari keyakinannya itu, membuat kaum komunis, para budayawan dan sastrawan yang bergabung di Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer seringkali menghasut tanpa dasar. Tidak tanggung-tanggung, lama kelamaan orang sekaliber Soekarno pun terkena pengaruh hasutan dan memenjarakan Hamka tanpa pengadilan.
Dua tahun lebih Hamka mendekam di balik jeruji besi. Tubuhnya terkrangkeng sel tahanan setelah diintrogasi secara kejam dan kasar oleh petugas. Namun tidak dengan keyakinan dan pemikirannya. Hamka selalu menemukan hikmah dibalik setiap peristiwa. Di dalam tahanan, Hamka justru menciptakan buah karyanya yang paling monumental yaitu tafsir al-Azhar. Sebuah pencapaian yang dalam renungan Hamka, belum tentu ada waktu untuk membuatnya jika berada di alam bebas. Kedua, Allah menakdirkan Hamka masuk tahanan dengan maksud untuk menghindarkan Hamka dari polemik (fitnah) politik, sebab saat itu terjadi peristiwa G30/S-PKI. Hamka begitu yakin dengan hal ini.
Mungkin ini juga yang membuat Hamka begitu tulus memaafkan Soekarno, tanpa menyimpan dendam sedikitpun. Sehingga ketika Soekarno wafat, Hamka lah yang menjadi imam ummat Islam yang akan menshalatkan jenazahnya — konon itu pun amanat Soekarno sebelum meninggal.
Pemberian maaf yang tidak kalah mengagumkannya ketika dilakukan Hamka kepada Pram yang bertahun-tahun menghujat dan memfitnahnya. Hamka memaafkan Pram dengan tulus, ketika Hamka menerima dengan terbuka untuk mengajarkan anak Pram dan calon menantunya belajar agama Islam. Ketika anak Pram datang menemuinya dan menyampaikan amanat ayahnya (Pram) untuk menimba ilmu agama, bagi Hamka, itulah bentuk permohonan maaf Pram yang tidak terucap secara langsung. Hamka pun memaafkannya dengan tulus, disimbolkan dengan memberikan pengajaran agama secara sungguh-sungguh.
Tidak sampai disitu, ketika orang-orang menyampaikan ide untuk membakar karya-karya Pram (karena telah membuat Hamka menderita bertahun-tahun) Hamka melarangnya. Menurut Hamka, jika kita tidak setuju dengan pemikiran orang lain termasuk pemikiran Pram, maka kita jawab dengan karya hasil pemikiran kita, bukan malah membakarnya.
Hamka akhirnya menjadi simbol. Simbol keteladanan, simbol tradisi literasi, simbol keterbukaan, simbol kukuhnya aqidah, sekaligus simbol bagaimana membangun pertemanan abadi yang didasarkan atas nama cinta dan agama.
Roni Tabroni, MPI PP Muhammadiyah, Antapani, Selasa (24/72018)