27.3 C
Jakarta

Word of The Year 2024, Dosen UMS Kaji Fenomena Brain Rot dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Oxford University Press mengumumkan ‘Brain Rot’ sebagai Word Of The Year 2024Brain rot secara etimologi berasal dari kata brain yang berarti otak, dan rot yang berarti busuk. Namun, brain rot secara mentah bukan berarti pembusukan otak, akan tetapi adalah menurunnya atau ketidakmampuan otak untuk menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Brain rot bisa terjadi karena adanya kecenderungan atau perilaku seseorang ketika berselancar menggunakan media sosial. Brain rot bisa dikaji melalui berbagai perspektif di antaranya kesehatan, psikologi dan ilmu komunikasi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Arif Surya Kusuma, S.I.Kom., MA., mengajak untuk memahami fenomena ini melalui perspektif ilmu komunikasi dengan melihat perilaku dan pengalaman ketika menggunakan media sosial. Dia mengatakan dari perspektif ilmu komunikasi, brain rot bisa dibedah melalui beberapa teori dari kajian media dan budaya.
Untuk mengkajinya dapat dipetakan dari beberapa locus dengan mengacu pada definisi komunikasi dari Harold Laswell “Who says what in which channel to whom with what effect”. Sedangkan dalam konteks media, terdapat teori Uses and Gratification (Kegunaan dan Kepuasan) yang dirumuskan dan dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay. G Blumler, dan Michael Gurevitch.
“Seseorang menggunakan media itu berdasarkan motif-motif tertentu misalnya nih saya pakai Instagram tuh untuk apa sih misalnya ada orang bilang itu untuk mencari informasi untuk hiburan, ada orang yang bilang itu sebagai bentuk pelarian diri,” tutur Arif paparkan dari sisi media, Selasa (31/12/2024).
Selain itu terdapat aspek navigability di mana susunan ataupun user interface (tampilan tatap muka) dari media sosial itu memantik seseorang untuk terus mengakses
konten-konten yang ada di dalamnya. Misalnya seperti struktur user interface dari Instagram atau TikTok untuk melihat konten selanjutnya hanya perlu scroll secara terus-menerus.
Aktivitas ini tidak akan menghabiskan konten tetapi akan menghasilkan bentuk-bentuk algoritma baru dan konten baru. Secara tidak sadar pengguna akan terus mengkonsumsi konten dan akan selalu tertarik untuk scroll.
“Alhasil konten-konten yang kita konsumsi pada akhirnya akan menghabiskan waktu kita. Awalnya yang kita hanya ingin sejenak itu menonton satu konten dari teman kita eh ternyata kita sampai ke konten orang-orang lain tanpa sadar sehingga menghabiskan waktu berjam-jam aktivitas kita yang seharusnya bisa interaksi untuk orang lain tapi malah dihabiskan dengan interaksi di media sosial itu,” terang Dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Komunikasi.
Dari perspektif konten, menurutnya terdapat pengaruh dari gaya hidup pengguna yang pada akhirnya memengaruhi pola pikir seseorang. Selain itu, media juga membangun pola pikir seseorang karena media memiliki sifat yang tidak netral sesuai dengan kepentingan dari pemilik media. Dampak dari media dikaji oleh Marshall McLuhan khususnya dalam ekologi media yang disebut dengan konsep Determinisme Media. Asumsinya, media yang tidak netral itu juga akan menghasilkan bentuk bentuk fenomena determinisme dengan sifat determinatif.
“Determinatif artinya dia dapat mempengaruhi khalayak berapapun jumlahnya, jadi secara masif dapat mempengaruhi khalayak secara masif determinisme. Jadi apa-apa atau konten-konten apa saja yang disiarkan melalui media itu itu dapat mempengaruhi pola pikir kalian perilaku kalian,” terang Arif.
Di sisi lain media memiliki kekuatan untuk memengaruhi audiens, demikian audiens memiliki kontrol atas dirinya sendiri untuk menggunakan media tertentu dan konten yang ingin dikonsumsinya sebagaimana pada asumsi teori Uses and Gratification.
“Jadi kalau misal budaya dia scrolling itu bisa dikurangi itu mungkin bisa meminimalisir lah dampak dari brain rot itu sendiri. Jadi konsumsi dari konten itu bisa dikurangi, hanya mengkonsumsi konten-konten yang dibutuhkan saja, kemudian bisa juga dengan alternatif
sering melakukan diskusi ataupun interaksi dengan orang lain bukan dengan media saja,” ungkapnya.
Menurutnya, yang menjadi perhatian adalah apakah bentuk-bentuk interaksinya menghasilkan feedback yang positif bukan feedback negatif. Konten remeh temeh juga tidak serta merta menjadi konten yang menghasilkan brain rot apabila dilihat dari bentuk feedback nya.
“Jadi kita tidak bisa menggeneralisir bahwa seseorang yang berinteraksi dengan media sosial secara banyak gitu atau secara lama itu akan menghasilkan brain rot ataupun menimbulkan brain rot tergantung dengan feedback yang dia dapatkan apakah kontennya positif atau negatif,” tuturnya.
Meskipun brain rot merupakan efek budaya individu dalam mengonsumsi media, genz cenderung memiliki banyak resiko untuk terkena brain rot dibandingkan dengan generasi sebelumnya karena genz lahir ketika teknologi sudah ada karena genz lebih sering berinteraksi dengan teknologi.
“Tapi kalau orang-orang genz saat ini, mereka lahir pada media yang sudah ada gitu pada kondisi di mana media itu sudah ada, di mana itu cenderung mungkin memberikan faktor yang sangat signifikan dalam mempengaruhi seberapa lama genz itu mengkonsumsi ataupun terdampak dengan brain rot itu karena mereka digital native,” ujarnya. (*)
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!