Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan, ada lima pondasi Islam berkemajuan yang menjadi karakter Muhammadiyah. Pandangan ini terinspirasi dari tulisan Kyai Syuja’, murid KH Ahmad Dahlan yang menuliskan dalam buku tentang Islam Berkemajuan. Buku yang mengisahkan perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah masa awal. Buku ini diterbitkan oleh al-Wasath. Pandangan Abdul Mu’ti ini, dituangkan pada bagian pengantar buku tersebut.
Kelima pondasi itu adalah, tauhid yang murni; memahami Al-Qur’an dan sunah secara mendalam; melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif; berorientasi kekinian dan masa depan; dan bersikap toleran, moderat dan suka bekerjasama.
Tentang tauhid, sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya. Pada bagian ini, kita akan membahas tentang memahami Al-Qur’an dan sunah secara mendalam.
Bagi Muhammadiyah, beragama harus berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Muhammadiyah melarang sikap taklid beribadah tanpa dasar-dasar dan pemahaman yang mendalam. Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk senantiasa berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur’an dan sunah, serta menjadikannya sebagai dasar didalam beribadah dan bermuamalah. Memperluah pemahaman agama merupakan bagian dari Khittah Perjuangan Muhammadiyah 1938 (Haman Hambali, 2006). Dengan pemahaman yang luas, kehidupan beragama menjadi mudah, lapang dan terbuka (Mas Mansur, 1992).
Muhammadiyah berpendapat bahwa pemahaman terhadap Al-Quran dan sunah masih terbuka. Begitu pula dengan pemahaman terhadap Islam. Muhammadiyah tidak menolak pendapat dan eksistensi mazhab, tetapi tidak mengikuti mazhab tertentu secara taken for granted. Dalam aspek ini, Muhammadiyah berbeda dengan kelompok salafi skriptualis yang memahami Al-Qur’an dan sunah secara literal dan mengikuti tradisi sebagai ajaran yang diwariskan secara turun-menurun (Tariq Ramadhan, 2004). Dengan berlandaskan kepada Al-Qur’an dan sunah setiap amal Muhammadiyah memiliki dimensi transendental dan pondasi yang kokoh. Selain itu, dengan penafsiran dan pengkajian kembali Al-Qur’an dan sunah, diharapkan diperoleh pemahaman yang genuine dan aktual.
Karena itu, meskipun tidak seluruhnya disebutkan secara eksplisit, setiap amal Muhammadiyah –terutama pada masa awal– senantiasa memiliki referensi langsung dari Al-Qur’an dan sunah. Pembentukan Muhammadiyah sebagai organisasi yang modern didasarkan atas tafsir konsep “ummu” didalam Ali Imron 104. Panti asuhan, rumah sakit dan berbagai pelayanan Muhammadiyah merupakan implementasi dari pemahaman surat al-Maun (KRH Hadjid, 2008). Ketika para undangan rapat tahunan Muhammadiyah mencibir upaya Kyai Syuja’ mendirikan rumah sakit, rumah gelandangan (miskin) dengan nada keras dia mengatakan:
“…meskipun kitab suci Al-Qur’an sudah berabad-abad dan surah al-Maun menjadi bacaan sehari-hari dalam sembahyang oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, dan di Yogyakarta pada khususnya, namun sampai kini belum ada seseorang dari umat Islam yang mengambil perhatian akan intisarinya yang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masyarakat.
Banyak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah-rumah panti asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak yatim yang terlantar dengan cara yang sebaik-baiknya hanya karena terdorong dari rasa kemanusiaan saja, tidak karena merasa bertanggungjawab dalam masyarakat dan tanggujawab di sisi Allah kelah dihari kemudian…”
Penegasan Kyai Syuja’ memberikan klarifikasi bahwa amal usaha Muhammadiyah tidak dibangun karena alasan pragmatisme dan profit oriented. Amal usaha Muhammadiyah lahir karena perintah Al-Qur’an, panggilan iman dan tanggungjawab sosial. Kecenderungan menguatnya kelompok konservatif di Muhammadiyah timbul karena spirit untuk memperdalam pemahaman Islam dengan melakukan tafsir atas tafsir Al-Qur’an melemah. Jika ada individu atau kelompok yang berusaha membangkitkan kembali tradisi tajdid atas tajdid Isla, mereka dicap sebagai liberal, sekuler dan stigma lain yang membunuh.
Penulis: Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.,/Sekretaris Umum PP Muhammadiyah