31 C
Jakarta

Baca Juga:

MERDEKA…!!! BELUM….

“Sebentar lagi masuk bulan Agustus, Pak Bei,” kata Kang Narjo setelah melemparkan koran ke lantai.

“Iya, Kang. Seminggu lagi bulan Agustus,” jawab Pak Bei sambil melepas kacarmata bacanya.

Melihat respon Pak Bei, Kang Narjo segera matikan motornya, lalu naik ke teras dan ikut duduk di kursi depanĀ  Pak Bei. Pak Bei punĀ  hafal, itu tandanya Kang Narjo butuh istirahat, pengin ngopi dan ngobrol. Maka segera diorderkannya ke Cahya segelas kopi nDoro Bei, kopi robusta asli dari Semendo yang bikin banyak teman Pak Bei ketagihan.

“Kulihat sudah banyak panitia 17-an heboh, kerja bakti ramai-ramai, bikinĀ  publikasi, dan nyiapkan perlombaan. Tampaknya peringatan 17-an tahun ini akan lebih meriah, Pak Bei.”

“Ya wajarlah, Kang. Kebetulan pas tahun politik, banyak orang berusaha mencari simpati rakyat, ringan tangan ikut nyumbang dana panitia 17-an. Bagus itu.”

“Kok bagus, Pak Bei? Bukannya malah akan bikin masyarakat terpecah-belah?”

Cahya keluar menyuguhkan segelas kopi untuk sahabat ayahnya. “Silakan diminum, Pakdhe Narjo,” katanya.

“Iya, Mas. Pakdhe ini memang sudah kangen kopi buatanmu. Matur nuwun ya, Le.”

“Kang, tentu rakyat sudah semakin dewasa dan tidak gampang diadu-domba lagi. Rakyat tentu sudah capek diadu-domba terus setiap pemilu, pilpres, pilgub, pilkada, dan pilkades.”

“Iya, Pak Bei. Semoga begitu.”

“Kemerdekaan perlu dirayakan dan disyukuri, perlu terus diperingati guna memupuk nasionalisme generasi muda, anak-anak kita.”

“Iya bener.”

“Dan itu perlu biaya yang tidak sedikit, Kang. Maka biarlah para politisi dan caleg berlomba jadi sponsor.”

“Tapi sudah terlanjur salah kaprah kok, Pak Bei.”

“Maksudnya?”

“Tradisi peringatan kemerdekaan kita di mana-mana cuma ajang bersenang-senang. Guyonan. Tidak ada yang sungguh-sungguh. Aneka pertandingan olar raga dan permainan digelar hanya sekedar guyonan, bukan benar-benar olah raga untuk prestasi, misalnya. Juga tidak ada agenda memupuk nasionalisme agar generasi muda siap menjadi bangsa yang bermartabat. Ada juga sih malam tirakatan digelar, tapi ya cuma untuk pembagian hadiah lomba dolanan anak-anak, lalu orang-orang dewasa lanjut ngobrol atau main gaple sampai pagi.”

“Mestinya bagaimana, Kang?”

“Mbokya masyarakat diajak mikir, merenungi keadaannya, nasibnya, apa benar kita ini sudah merdeka? Lha yang di atas saja malah memberi contoh tidak baik, kok.”

“Yang mana, Kang?”

“Pak Bei pasti masih ingat peringatan 17 Agustus di Istana Negera tahun lalu.”

“Yang mana?”

“Itu lho, upacara bendera yang diakhiri dengan penampilan penyanyi anak-anak menyanyikan lagu dangdut koplo, jenis musik dan lagu yang tidak pas untuk anak seusianya. Tapi semua pejabat tinggi negara malah ikut jogetan. Sungguh memalukan, Pak Bei.”

“Bukannya malah bagus, Kang? Istana Negara jadi terkesan merakyat. Tidak sangar gitu loh.”

“Saya malah kasihan perkembangan anak itu.”

“Kenapa kasihan? Kan mendadak jadi artis terkenal, lalu dapat undangan pentas di mana-mana, dapat banyak duit.”

“Mungkin secara materi keluarganya jadi mentereng, jadi kaya-raya. Tapi siapa yang tahu pertumbuhan kejiwaan anak itu sekarang? Inilah yang kumaksud kita ini salah kaprah memperingati kemerdekaan.”

“Biasa sajah, Kang.”

“Rakyat dininabobokkan dengan Bansos, PKH, BLT, dan amplop sogokan politik yang bertebaran setiap menjelang pemilu. Rakyat pun bangga mengaku miskin demi mendapatkan Bansos dan sebagainya itu. Padahal itu semua duit utangan, Pak Bai, Hutang Luar Negeri.”

“Begitu ya, Kang?”

“Sebagian kecil dibagikan ke rakyat miskin agar tenang dan tidak protes. Padahal, sebagian besar untuk membiayai proyek-proyek raksasa milik mereka sendiri. Sebagiannya lagi dibagi-bagi untuk memuluskan dan mengamankan proyek. Rakyat dan anak turun kita yang harus di menanggung hutang itu, Pak Bei. Kayak gitu kok bisa-bisanya teriak Merdeka. Memangnya kita sudah merdeka?”

“Kemerdekaan kan perlu proses, Kang. Tidak datang tiba-tiba dari langit. Kemerdekaan bukan hadiah, tapi harus direbut dan diperjuangkan.”

“Lah itu, Pak Bei. Ittuuh….”

“Ittuuh apanya?”

“Kemerdekaan harus direbut dan diperjuangkan. Saya setuju itu.”

“Ya terus….”

“Rakyat harus disadarkan, Pak Bei. Rakyat ini masih terjajah, bahkan dijajah oleh bangsanya sendiri. Kita ini belum merdeka. Di sektor pangan saja belum berdaulat kok teriak merdeka.”

“Belum berdaulat bagaimana to, Kang? Pangan kita kan hasil jerih payah petani kita sendiri?”

“Woalah Pak Bei, Pak Bei. Mbok nyebut. Eling. Kalau perlu kapan-kapan saya jelaskan agar lebih gamblang.”

“Jigur tenan Kang Narjo,” kata Pak Bei dalam hati. “Sudah dilayani ngobrol baik-baik kok malah ngece. Seolah aku ini goblok pol. Kesambet apa orang ini tadi?”

“Ya sudahlah, Pak Bei. Silakan merenung. Saya mau melanjutkan tugas negara dulu, mengantar berita baik, bukan kabar Hoax. Wassalam….,” kata Kang Narjo sambil meninggalkan Pak Bei yang masih dheleg-dheleg kena teror omongannya.

#serialpakbei

#wahyudinasution

#merdeka…!belum….

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!