33.8 C
Jakarta

91 #Novelet Rembulan diatas ukit Khayangan

Baca Juga:

91.#Allah itu : Maha Baik dan Maha Mampu

Sebutan yang mengarah pada sifat Allah itu, jujur belum lama aku kenal. Namun aku nyaman saja mendengarnya. Pertama aku dengar dari ustadz kondang dari Bandung, HA. Lewat channel youtubenya. Aku bukan ahli bahasa. Namun sekilas penyebutan itu semoga tidak menyalahi tata baku nama dan sifat-sifat Allah. Bukankah kita juga menyadari bahwa Allah itu Maha Baik dan Maha Mampu? Apa bedanya dengan kita manusia? Kalau manusia itu kadang baik, kadang buruk. Begitu juga soal kemampuannya, sangat terbatas. Penjelasannya: meskipun manusia itu baik, namun dalam kenyataannya tidak bisa memuaskan semua orang yang ditemaninya.

Sejak mengenal kata yang melekat kepada sifat Allah itu, membuat aku makin nyaman saja. Termasuk ketika menghadapi dan menjalani roda kehidupan yang tidak sesuai ekspektasi. Harapan. So must go on. Penerapannya bagaimana? Implementasi dalam kehidupan sangat mudah aku temui. Hampir tiap hari. Bahkan mengerucut, hampir tiap jam. Tiap tarikan nafas. Mau contoh? Banyak. Bahkan bisa saja akan membawa nama orang-orang terdekat kita.
Terhadap orang tua. Mana ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Semua orang tua sayang. Kendati caranya berbeda. Tidak sama. Sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

“Buk, aku minta sepeda, kaya yang dimiliki temanku itu,” kataku kepada ibu, waktu aku masih SD kelas-4. Kenangan yang masih tersisa.
“Ibu belum ada uang. Lagi pula kalau untuk sekolah, kamu kan bisa jalan kaki. Banyak temannya kok,” jawab ibu, dengan harapan aku tidak minta lagi.
Dasar anak waktu itu aku sempat ngambek. Tapi tidak lama. Belakangan aku baru tahu hikmahnya. Setelah dewasa, besar dan sudah berumah tangga. Ternyata jadi orang tua itu yang dipikirkan banyak. Tidak cuma kebutuhan anak saja. Orang tua, terutama ibu memikirkan kelangsungan makan sehari-hari dari jatah uang yang diberikan suami. Bahkan jika jatah itu kurang, jarang ibu berkeleuh kesah. Uang belanja dicukup-cukupkan. Belum kebutuhan “praja” dengan tetangga atau saudara yang sedang mempunyai hajat.
Apakah sikap ibu dengan tidak mengabulkan permintaanku membelikan sepeda, meski bekas – itu disebut ibu tidak baik? Tentu tidak. Ibu tetap baik, hanya ibu tidak mampu menyenangkan hati semua anaknya pada saat yang bersamaan dengan kebutuhan yang lainnya.

Allah Maha Baik dan Maha Mampu. Ketika Rohman “gagal” mondok di ponpes yang besar, skala nasional, santrinya ribuan, padahal sudah hampir mendaftar, namun urung. Apakah dengan demikian langsung dicap Rohman anak yang gagal masuk pondok? Sehingga mendapatkan predikat tidak baik? Tentu tidak juga. Rohman, insya Allah baik, hanya orangtuanya yang tidak mampu untuk menembus pondok besar tersebut.

Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan itu. Pernah Rohman minta dibelikan HP. Karena masih kecil, kami sebagai orang tua sepakat untuk tidak membelikannya, selain pertimbangan yang lain. Rohman belum bisa memilahkan mana yang baik dan mana yang buruk, kala itu. Belum bisa memfilter. Sehingga mungkin saja, Rohman menilai, waktu itu orang tuanya pelit, tidak baik. Namun yang tepat adalah orang tua Rohman tidak mampu menyenangkan hatinya. Kesenangan sesaat tentu.

Kecewa, sakit hati dan semacamnnya biasanya berhubungan dengan perasaan kita yang tersisihkan. Merasa teraniaya. Padahal jika ditarik benang merah dan bening hati – rasa itu belum tentu benar. Contoh jika berhubungan dengan harta atau fisik, kita sering tidak perhitungan misal diminta untuk membantu masjid, kurban bahkan haji sekalipun. Ikhlas. Namun hati kita mendadak menjadi nyinyir, tidak nyaman kalau sudah menyangkut perasaan. Nama kita tidak disebut di sebuah panitia tingkat sekolah, pesantren atau kampung. Padahal kita yang sangat berperan dalam kegiatan itu. Tiba-tiba yang muncul di media massa justru orang lain, bukan kita. Kita menjadi blingsatan dan tidak terima.

Semua itu bisa kita minimalisir, jika kita mempunyai prinsip. Orang mungkin baik, namun tidak semua orang mampu memuaskan pada orang lain. Ketika dogma ini sudah mulai menjalar dalam hati kita, maka perasaan tidak nyaman itu perlahan akan pergi dan hilang dengan sendiri-nya. Memang perlu latihan.
“Kamu tidak dapat seragam, pak?” tanya teman.
“Tidak, memang kenapa?” jawabku singkat
“Coba tanya panitia atau ketua, jangan-jangan hanya lupa?”
Memang ketika saya cek dalam tim itu hanya aku yang tidak terdaftar. Ketika tahu nama tidak masuk, sakit hati? Jelas. Tapi hanya sebentar. Kemudian aku koreksi diri, seberapa besar peranku dalam tim tersebut. Misal tim itu tanpa aku, ternyata tetap bisa jalan. Mungkin lebih cepat jalannya.
“Gak usahlah  mas. Ketua pasti punya pertimbangan, mengapa aku tidak terdaftar dalam kostum atau seragam.”
“Biar aku yang tanyakan.”
“Gak usah mas. Biar saja.”
Itu contoh-contoh ringan yang kalau tidak kita sikapi dengan hati jernih, sering menguras energi produktif kita sendiri. Namun dengan berpedoman bahwa Allah saja yang maha baik dan maha mampu, sedangkan manusia tidak. Fluktuasi emosi itu menjadi landai.

(bersambung)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!