JAKARTA, MENARA62.COM -Kementerian Perindustrian bertekad terus mendorong pengembangan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI), khususnya di luar Pulau Jawa. Langkah strategis ini diyakini dapat mengakselerasi pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat.
“Upaya Kemenperin dalam melakukan percepatan pemerataan dan penyebaran industri di seluruh wilayah Indonesia terus dilakukan melalui perwilayahan industri, dengan pembangunan kawasan industri sebagai sarana untuk menumbuhkan ekonomi di daerah-daerah,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Rabu (2/6).
Menurut Menperin, upaya tersebut akan dipercepat pembangunannya dengan selalu melibatkan para pemangku kepentingan, misalnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuannya untuk saling berkontribusi dalam penyediaan infrastruktur fisik dan non-fisik yang diharapkan dapat menciptakan iklim usaha dan investasi yang baik.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022 yang mengusung tema memantapkan Pemulihan Ekonomi dan Sistem Kesehatan Menuju Transformasi Ekonomi yang Inklusif, terdapat major project kawasan industri yang diprioritaskan. “Terdapat 11 kawasan industri RPJMN dan PSN yang masuk dalam major project RKP 2022 untuk percepatan beroperasinya kawasan industri tersebut,” ujar Menperin.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Eko S.A. Cahyanto menyampaikan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, terdapat 22 WPPI di Indonesia, termasuk WPPI di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Dirjen KPAII mengemukakan, merujuk data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama lima tahun terakhir, kontribusi sektor industri di Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan sebesar 0,93%. Khusus di Kabupaten Konawe terjadi peningkatan hingga 18,25%. Sedangkan di Sulawesi Tengah, peningkatan kontribusi sektor industri mencapai 3,29%, dengan sumbangsih Kabupaten Morowali yang mengalami lonjakan sebesar 31,42%.
“Peningkatan kontribusi sektor industri dalam pertumbuhan ekonomi regional tersebut sangat jelas terlihat sejak beroperasinya kawasan industri,” ungkap Eko. Di Kabupaten Konawe misalnya, sejak dimulainya pembangunan kawasan industri pada tahun 2017, kontribusi sektor industri pengolahan meningkat hingga rata-rata 6% setiap tahunnya.
“Sedangkan di Kabutapen Morowali, sejak dimulainya pembangunan kawasan industri pada tahun 2015 langsung meningkatkan kontribusi sektor industri sebesar 27,65% di tahun 2016 dan meningkat hingga rata-rata 1,25% setiap tahunnya,” papar Eko.
Menurutnya, penggerak utama WPPI di Sulawesi Tenggara adalah Kawasan Industri Morowali dan Kawasan Industri Konawe, serta beberapa kawasan industri yang sedang dalam tahap perencanaan. “Kawasan Industri Konawe dan Kawasan Industri Morowali merupakan Proyek Strategis Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2021,” imbuhnya.
Kawasan Industri Konawe yang dikelola oleh PT. Virtue Dragon Nickle Industrial Park (PT. VDNIP) terletak di Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara dengan luas lahan 2.253 hektare (Ha) dari target pengembangan 4.000 Ha. Fokus pengembangan industri di Kawasan Industri Konawe adalah industri pengolahan nikel.
Saat ini, di Kawasan Industri Konawe terdapat dua tenant yang sudah beroperasi, yaitu PT. Virtue Dragon Nickle Industry (PT. VDNI) dan PT. Pelabuhan Muara Sampara (PT. PMS), serta satu tenant yang sedang dalam tahap konstruksi, PT. Obsidian Stainless Steel (PT. OSS).
“PT. VDNI mempunyai tiga smelter, sedangkan PT OSS sudah memiliki dua smelter yang terdiri dari delapan lini, dan akan dibangun dua smelter lagi,” ujar Eko. Di Kawasan Industri Konawe juga telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan telah dilengkapi dengan infrastruktur dasar seperti jalan, instalasi pengolahan limbah, instalasi pengolahan air bersih, dan pelabuhan.
“Realisasi investasi di Kawasan Industri Konawe sebesar Rp47 triliun dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 16.515 orang,” sebut Eko.
Sementara itu, Kawasan Industri Morowali yang dikelola oleh PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terletak di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan luas lahan 3.000 Ha. Fokus pengembangan di Kawasan Industri Morowali adalah industri smelter dengan target investasi sebesar Rp105 triliun, dan saat ini sudah menyerap tenaga kerja sebanyak 40.000 orang dari target 50.000 orang tenaga kerja.
“Jumlah tenant yang sudah beroperasi di Kawasan Industri Morowali sebanyak tujuh perusahaan dan empat perusahaan sedang melakukan konstruksi,” ungkap Eko. Kawasan Industri Morowali sudah dilengkapi dengan infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan, instalasi pengolahan air bersih, insatalasi pengolahan limbah, asrama karyawan, bandara, pusat inovasi, dan politeknik.
“Pembangunan kawasan industri yang terintegrasi memang harus didukung oleh pemerintah pusat dan daerah, dengan dilengkapi penyediaan infrastruktur industri dan infrastruktur penunjang,” tutur Eko. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Penetapan KPI
Eko menambahkan, berdasarkan UU Perindustrian, kegiatan-kegiatan industri wajib berada di kawasan industri, kecuali industri yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri, serta industri yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang telah memiliki kawasan industri, tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
Selain itu, terkecuali bagi industri kecil dan menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas. “Meskipun demikian, tetap harus dipastikan bahwa ketiga jenis industri tersebut wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri (KPI),” tegas Eko.
Terkait dengan pengembangan KPI di Indonesia, Ditjen KPAII Kemenperin telah merangkum beberapa isu strategis, di antaranya adalah pengalokasian KPI di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan bentuk dari kepastian ruang untuk investasi.
Berikutnya, terdapat KPI yang sudah ditetapkan di dalam RTRW yang belum memenuhi syarat yang mendukung pembangunan industri dalam KPI tersebut. Misalnya terkait akses terhadap infrastruktur jalan, pelabuhan, sarana logistik, energi, air baku, dan sarana pengelolaan limbah.
Selanjutnya, lokasi industri dan rencana pembangunan industri yang tidak berada dalam KPI (ketidaksesuaian tata ruang), pengalokasian dan penetapan KPI yang belum diperbarui berdasarkan dinamika kegiatan industri atau pertumbuhan industri di daerah, serta status kepemilikan lahan di Kawasan Peruntukan Industri yang masih beragam.
“Kemenperin telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2020 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Industri yang diharapkan dapat memberikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam proses perencanaan dan penetapan Kawasan Peruntukan Industri di dalam RTRW-nya,” papar Eko.
Sebagai salah satu instrumen investasi, penetapan KPI perlu dilakukan sesuai dengan kriteria, sehingga diharapkan dapat menarik investasi, mendorong pengembangan wilayah serta memicu pertumbuhan ekonomi di daerah.
“Di samping itu, pembangunan kawasan industri, sentra IKM maupun industri secara individu dalam KPI pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri nasional, serta mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan industri,” tandasnya.
Dalam rangka mengakselerasi pengembangan KPI, diperlukan adanya koordinasi dan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal pembagian peran dan wewenang terkait penetapan dan pengembangan KPI. “Dengan demikian, tujuan pengembangan KPI sebagai rumah bagi kawasan industri dan industri dapat menarik investasi untuk masuk ke daerah,” ujar Eko.
Apalagi, guna memudahkan masuknya investasi, pemerintah telah menginisiasi Undang-Undang Cipta Kerja dengan melakukan sejumlah terobosan, di antaranya adalah terkait sistem perizinan berbasis Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi secara digital.