28.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-69)

Baca Juga:

# Sehari Bersama Rohman, Bagai Pelangi (2).

Aku semakin yakin saja kalau kita boleh berencana matang, namun Gusti Allah yang kuasa untuk menentukan. Sebenarnya sudah banyak kejadian yang mencerminkan kuasa itu. Bahkan tidak terhitung. Yang sifatnya empiris atau sekedar teori di atas kertas saja. Semuanya membuktikan betapa lemahnya manusia itu tanpa pertolongan-Nya. Kesenangan di dunia hanya sementara dan nisbi, benar adanya. Tidak ada senang yang tandas sampai 100%. Full. Penuh. Begitu juga ketika duka mendera hati, tidak sampai pada batas minus 100 persen. Dan satu lagi, ada batas akhirnya. Ketika anak pulang, sudah lama dinanti. Namun ketika di rumah  kelamaan, tidak jarang membuat “sakit perut”.  Itulah tabiat manusia. Masih saja kurang. Diberi seberapapun karunia, jika tidak disyukuri akan ada yang belum kita dapatkan.

Begitu juga soal frekuensi ketemu dengan anak. Terutama Rohman. Kalau lama di pondok, sebulan dua bulan, pingin ketemu. Namun kalau diberi waktu, ketemu di rumah seminggu, terasa kelamaan. “Terus maumu apa?” mungkin begitu kata Allah. Itulah tabiat manusia. Maka tidak berlebihan kalau Gusti Allah, sampai menyidir dibeberapa ayat dalam Al-quran, kalau sedikit sekali orang-orang yang bersyukur. Dari narasi teks ini, bisa kita ambil hikmah sekilas kalau prosentase manusia yang bersyukur itu hanya sedikit. Nah, kita masuk yang mana? Hidup adalah memilih. Orang barat mengatakan: life is choice.

Maka kepulangan Rohman pagi itu, sudah aku siapkan 2 hati yang berbeda. Senang dan susah. Sebab kalau tidak, pengalaman yang sudah berlalu, kepulangan Rohman tidak selalu berbau manis. Tidak jarang justru membuat “sakit perut”.
“Pak, besok aku dijemput. Ini kaki sakit, minta di obati dirumah,” suara Rohman diujung HP pondok. Nomornya aku simpan. Kebetulan memang Rohman dapat reward untuk ditengok, karena memenuhi target hafalan.
“Nanti kalau sembuh, segera kembali pondok ya mas?” kataku, ragu
“Seminggu ya pak?”
“Kelamaan ya mas,”
“Gak-papa pak..yang penting sembuh dulu,”
“Nanti lihat perkembangan saja mas,”
Suara diujung terputus. Mungkin sinyal, atau sengaja diputus Rohman, karena marah. Kecewa. Aku tidak tahu. Aku tidak berusaha untuk menelphone-nya, karena aku pikir, sambungan sudah dipakai santri lain. Karena jatah phone terbatas. Pikirku hanya satu, bagaimana nanti kalau Rohman pulang seminggu di rumah. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!