JAKARTA, MENARA62.COM — Penulisan nama ibu tunggal di ijazah anak-anaknya bukan hanya tentang pemenuhan ego, melainkan dianggap sebagai bukti pengakuan keberadaan para perempuan kepala keluarga dari negara.
Pernyataan ini disimpulkan dari acara diskusi publik yang dilaksanakan oleh Yayasan Pekka, Komunitas PenTaS (Perempuan Tanpa Stigma) dan Change.org Indonesia mengadakan sebuah diskusi publik bertajuk ‘Diskriminasi terhadap Ibu Tunggal, Janda & Perempuan Kepala Keluarga dalam Sistem Pendidikan di Indonesia‘ untuk memperingati Hari Pergerakan Perempuan (Hari Ibu) 2021.
Diskusi publik ini mengundang beberapa ibu tunggal / perempuan kepala keluarga dari seluruh Indonesia, Rika Irdayanti, S.H. M.H., Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Muda.
Biro Hukum Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi; Dr. Imam Nahe’i, M.H.I., Komisioner Komnas Perempuan; Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan dan Nani Zulminarni dari Yayasan Pekka.
Sebelumnya, Poppy R. Dihardjo, seorang ibu tunggal, membuat sebuah petisi di platform Change.org, meminta agar nama para ibu tunggal bisa dituliskan di ijazah anak-anak. Setelah didukung oleh 16 ribu warganet, petisinya meraih kemenangan dengan dikeluarkannya Surat Edaran (“SE”) Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengisian Blangko Ijazah Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Melalui surat edaran ini, Kemendikbud memperjelas bahwa nama ibu tunggal bisa ditulis di ijazah anak-anak.
Namun nyatanya, Poppy mengatakan diskriminasi para ibu tunggal masih mengalami diskriminasi di dunia pendidikan, bahkan ketika surat edaran ini sudah diunggah di situs JDIH Kementerian Pendidikan. “Kita tahu edaran ini tak akan menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap ibu tunggal. Itulah kenapa kita ada di sini, apa saja sih tantangan setelah edaran ini keluar, bagaimana Kemendikbud akan merespons jika masih ada yang menolak,” kata Poppy dalam diskusi publik tersebut (22/12/2021).
Salah seorang ibu tunggal yang ikut hadir, Nanda Ismael, menceritakan bahwa walaupun sudah mencantumkan surat edaran dari Kemdikbud tersebut, ia masih belum mendapatkan jawaban dari sekolah anaknya. “Ini adalah pengalaman kedua saya. Putri pertama saya akhirnya di ijazahnya ditulis nama ayah, walaupun selama 10 tahun menjanda segala kebutuhan putri saya full tanggung jawab ibu, tidak ada campur tangan dari ayahnya.”
Dr. Imam Nahe’i, sebagai salah seorang penanggap, menganggap bahwa advokasi yang dilakukan oleh para perempuan ini merupakan sebuah hal yang penting, karena walaupun ada kebijakan, tidak menjamin adanya kesadaran dari masyarakat.
“Saya menduga lahirnya keengganan administrasi kependudukan untuk mencatat itu, karena tidak ada kebijakan yang tegas. Advokasi ini penting, karena lahirnya kebijakan tidak otomatis membangun kesadaran masyarakat atau penegak hukum untuk memenuhi hak-hak warga negara. Selain itu penting untuk menyosialisasikan wacana-wacana hak asasi manusia dan norma agama yang perspektif pengalaman perempuan dan non-diskriminasi,” kata Imam.
Rika Irdayanti dari Kemendikbud berharap surat edaran ini bisa menjadi secercah cahaya terhadap orang, terutama ibu-ibu yang mencari keadilan terkait permasalahan pengisian blanko ijazah. Menurutnya, Kemendikbud menganggap bahwa isu ini sangatlah krusial, sehingga surat edaran ini pun dia sebut menjadi salah satu yang cepat dikeluarkan oleh Kemendikbud.
“Dalam SE ini, dimungkinkan jika nama orang tua / wali berbeda dengan ijazah yang sebelumnya. Penulisan nama ini juga tidak akan menjadikan sebuah masalah untuk pekerjaan. Namun, memang sosialisasi dibutuhkan untuk dilakukan bukan hanya oleh Kemendikbudristek, tapi juga semua orang. Jika masih ada masalah, ada kanal pelaporan di kemendikbud.go.id dan kami pun siap melakukan pendampingan terkait tindak lanjut pengaduan yang masuk ke kanal kami,” tuturnya.
Rohika KurniadI Sari menyarankan beberapa cara untuk menyosialisasikan surat edaran dari Kemendikbudristek tersebut. “Forum anak supaya anak-anak juga terinformasi, (lewat) satuan pendidikan, (menciptakan) lingkungan yang kondusif untuk mendukung hal ini, dengan adanya peran tokoh agama dan masyarakat perlu untuk paham perubahan cara pandang ibu tunggal, serta pendekatan wilayah, mulai tingkat desa, desa ramah perempuan dan peduli anak.” (*)