JAKARTA, MENARA62.COM– Dua organisasi keagamaan yang besar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata berasal dari satu keturunan. Para pndirinya, diketahui berasal dari kakek yang sama, yakni Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishak.
“KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU masih satu keturunan dan satu perguruan,” kata Wakil Rektor lV Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Zamah Sari di sela bedah buku Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan, kemarin.
Keduanya bahkan memiliki guru yang sama yakni Syeikh Ahmad Khathib Al Minankabawi. Sehingga mereka juga memiliki referensi dan acuan Islam yang sama.
Meski pada perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah dan NU memiliki corak berbeda dalam hal berdakwah. Tetapi prinsipnya kedua organisasi Islam tersebut lahir dari rahim yang sama.
Zamah Sari menolak anggapan jika antara Muhammadiyah dan NU terjadi gesekan. Perdebatan dalam hal pendidikan atau lainnya hanya masalah dinamika anak bangsa dari persepsi yang berbeda-beda. Sehingga tidak perlu dipahami sebagai permusuhan.
“Justeru bangsa ini menjadi besar karena masyarakatnya mampu menghargai keanekaragaman,” tukasnya.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Munir Mulkan menjelaskan kebiasaan yang sebenarnya mampu mengikat antara Muhamadiyah dengan NU adalah dalam hal majelis taklim. Tetapi kebiasaan majelis taklim ini dikemudian hari lebih hidup pada NU.
“Sayang, majelis taklim tidak populer di warga Muhammadiyah, populernya di NU,” kata Munir.
Padahal majelis taklim sesungguhnya merupakan hasil tradisi Muhammadiyah. Karena sejak dahulu, sudah ada guru-guru keliling Muhammadiyah yang sempat pula kontroversi sebab dianggap melecehkan kyai-kyai lama.
Selain menghadirkan Munir Mulkan, bedah buku bertajuk “Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU” yang ditulis oleh dosen Uhamka, Maman A Majid ini juga dihadiri oleh Direktur Pascasarjana Uhamka Abdul Rahman A Ghani, serta budayawan, Mohammad Sobari.
Direktur Pascasarjana Uhamka, Abdul Rahman A Ghani mengapresiasi terselenggaranya kegiatan tersebut. Menurutnya, hal ini dapat dijadikan sebagai budaya dosen dalam menulis yang dapat menyokong akreditasi program studi serta institusi sendiri.
“Mudah-mudahan budaya menulis buku bakal ditularkan jadi budaya dosen-dosen di Uhamka,” ungkapnya.
Sementara itu, Penulis Maman A Majid menuturkan bahwa dilihat dari sejarahnya, Muhammadiyah dan NU pada dasarnya satu perguruan. Namun yang menjadi awal perpisahan keduanya yakni perbedaan pendapat antara Wahab Hasbullah dan Mas Mansur.
“Wahab Hasbullah mengajak KH Hasyim Asy’ari, sedangkan Mas Mansur menemui KH Ahmad Dahlan. Ini terjadi sekitar tahun 1929. Sejarah ini diungkap di buku ini,” pungkasnya.