Saya tidak punya kepentingan dengan Qatar sebagai negara (state/country) dan karenanya, seperti pada banyak hal, dukungan/pujian atau juga kritikan saya tidak pada siapanya. Tapi lebih kepada apanya. Bagi saya “nilai” (value) itu jauh lebih penting ketimbang oknum (pribadi atau bangsa).
Karenanya pujian saya kepada Qatar lebih karena “nilai terpuji” (praiseworthy value) yang ditunjukkan sebagai tuan rumah bagi perhelatan akbar persepak bolaan dunia (World Cup) yang saat ini memasuki putaran 8 terbesar. Keberhasilan itu sekali lagi bukan sekedar pada profesionalitasnya sebagai “host” (tuan rumah) kejuaraan piala dunia. Tapi juga karena ketegasan Qatar yang terangkai dengan keindahan karakter dalam menampilkan “nilai-nilai” yang diyakininya.
Nilai yang kita maksud di sini tentunya adalah Islam itu sendiri. Sekaligus nilai-nilai kemuliaan bangsa Arab (karomah ‘Arabiayah) yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memuliakan para tamu (ikrom ad-dhuyuuf).
Perhelatan akbar persepak bolaan dunia ini tak dipungkiri juga menjadi pintu eksposur banyak hal, baik hal-hal positif maupun banyak hal yang negatif dalam pandangan kita yang beriman.
Pertama, eksposur keindahan Islam yang diwakili oleh karakter tuan rumah yang dahsyat. Tidak saja berbagai fasilitas yang disiapkan oleh pemerintah Qatar secara profesional dan sangat memuaskan. Dari bandara, akomodasi, lapangan/Stadium, hingga kepada berbagai pelayanan publik baik yang dikoordinir langsung oleh pemerintah maupun secara sukarela oleh warga Qatar. Tapi tatakrama (etika) penerimaan bangsa Qatar yang mencerminkan nilai-nilai Islam (akhlak Islamiyah) yang mulia.
Eksposur lain dari perhelatan ini adalah ketegasan negara Qatar untuk berpegang (committed) kepada nilai-nilai (Islam) yang diyakininya. Nilai-nilai Islam yang tegas dalam penegakan “al-maruf” (kebaikan) dan penolakan “al-munkaraat” (keburukan). Tanpa bermaksud membahas subyek ini secara rinci, di antara isu-isu yang diperbincangkan oleh khalayak luas, ada dua hal yang paling banyak diperbincangkan. Yaitu larangan mengkonsumsi alcohol di ruang publik dan larangan simbol-simbol LGBTQ selama perhelatan berlangsung.
Ketegasan Qatar itu mendapat reaksi ragam dari berbagai belahan dunia. Sebagian masyarakat Muslim dunia menyambut dengan sukacita dan bangga. Tapi tetap ada juga sebagian kecil dari Umat ini yang nyinyir atas nama kebebasan dan HAM.
Sebenarnya yang ingin saya bicarakan kali ini dalam kaitan sikap tegas Qatar ini adalah “hypocritical stand” (posisi kemunafikan) mereka yang mengaku dunia Barat dalam menyikapi posisi Qatar. Mereka atas nama “freedom dan human rights” mengeritik keras Qatar atas larangan alkohol di tempat-tempat umum dan simbol-simbol LGBTQ maupun penampakan immoralitas lainnya.
Sesungguhnya apa yang mereka lakukan tanpa disadari adalah “self exposure” (penampakan diri sendiri) atas berbagai kemunafikan yang selama ini seringkali dipertontonkan tanpa ada rasa malu. Dunia Barat sering merasa paling beradab (civilized). Tapi adakah yang bisa mengingkari kebiadaban dunia Barat dalam sejarah di berbagai belahan dunia lainnya?
Saya jadi teringat pernyataan Presiden FIFA ketika merespon kritikan kepada Qatar ini: “saya kira kita harus melihat ke belakang 300 tahun dan meminta maaf 300 tahun ke depan atas dosa-dosa yang kita (West) pernah lakukan”.
Dunia Barat seringkali merasa paling toleran. Tapi berapa kasus-kasus intoleransi yang terjadi di berbagai negara yang disebut dunia Barat, termasuk Australia? Sejujurnya hanya karena manipulasi media (tanpa tendensi justiifkasi tentunya), seringkali justeru yang tampil ke permukaan adalah kasus-kasus intoleransi yang terjadi di dunia Islam.
Kita bisa saja menuliskan cacatan panjang berbagai pengakuan Barat dan realita yang sesungguhnya di lapangan. Tapi biarlah itu akan terekspos pada waktunya dengan cara yang Allah telah tetapkan. Satu cara yang nampaknya Allah telah tetapkan adalah kejuaraan sepak bola dunia dan posisi Qatar dalam memegangi nilai-nilai yang diyakininya.
Eksposur kemunafikan itu kembali terjadi di depan mata tanpa malu-malu. What a shame!
NYC Subway, 8 Desember 2022
Penulis: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation