29.6 C
Jakarta

Grab, Gojek, dan Negara yang Terlalu Nyaman dengan Jalan Pintas

Baca Juga:

Oleh: Budiawan

JAKARTA, MENARA62.COM – Indonesia hari ini tampak sibuk, bergerak, dan seolah bekerja tanpa henti. Sepeda motor berlogo aplikasi memenuhi jalanan, paket datang silih berganti, makanan tiba dalam hitungan menit. Di permukaan, semua ini menghadirkan ilusi ketahanan: rakyat tetap bekerja, konsumsi tidak mati, dan negara tampak selamat dari gejolak. Namun justru di situlah persoalannya. Kita terlalu cepat menyamakan ketahanan dengan kemajuan, dan terlalu mudah puas pada ekonomi yang sekadar tidak runtuh.

Grab dan Gojek sering dipuji sebagai simbol keberhasilan ekonomi digital Indonesia. Jutaan orang terserap sebagai pengemudi, kurir, dan mitra UMKM. Bagi negara, ini terlihat seperti solusi elegan: tanpa reformasi pendidikan yang berat, tanpa industrialisasi yang kompleks, lapangan kerja tercipta dengan sendirinya. Tetapi ekonomi yang bertahan hidup tidak otomatis menjadi ekonomi yang naik kelas.

Ekonomi gig bekerja sebagai shock absorber. Ketika industri formal gagal menyerap tenaga kerja, ketika pabrik tidak tumbuh, dan ketika pendidikan tidak menjamin pekerjaan, platform digital menjadi bantalan sosial. Ia mencegah ledakan pengangguran dan menjaga dapur tetap mengepul. Dalam jangka pendek, ini adalah fungsi yang nyata dan penting. Namun bantalan sosial tidak pernah dirancang untuk menjadi fondasi pembangunan.

Persoalan muncul ketika ekonomi gig mulai diperlakukan bukan sebagai mekanisme transisi, melainkan sebagai tujuan akhir. Produktivitas sektor ini rendah, mobilitas karier terbatas, dan nilai tambah nasional tipis. Tidak ada penguasaan teknologi strategis. Tidak ada lonjakan kompetensi. Yang ada hanyalah sirkulasi konsumsi dengan margin kecil. Negara tampak sibuk mengelola arus, tetapi absen dalam membangun arah.

Dalam situasi seperti ini, ketahanan ekonomi berubah menjadi paradoks: aktivitas ramai, tetapi kedalaman struktural kosong. Statistik ketenagakerjaan terlihat aman, sementara daya saing nasional stagnan. Kita seperti sepakat secara diam-diam bahwa yang penting rakyat bekerja hari ini, urusan masa depan bisa ditunda.

Dampak paling sunyi dari pilihan ini justru terasa di dunia pendidikan.

Bagi banyak keluarga, pendidikan tinggi tidak lagi dipahami sebagai investasi masa depan, melainkan sebagai risiko sosial. Biaya mahal, waktu panjang, dan hasil yang tidak pasti. Sementara itu, ekonomi gig menawarkan kepastian instan: uang harian, jam fleksibel, dan identitas sosial sebagai pekerja. Dalam kondisi seperti ini, keputusan anak muda untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi sering disalahpahami sebagai kemalasan. Padahal itu adalah respon rasional terhadap sistem yang gagal memberi imbal balik pada pendidikan.

Masalahnya bukan karena menjadi pengemudi ojek daring terlalu menarik, melainkan karena menjadi lulusan sarjana terlalu tidak menjanjikan. Ketika lulusan teknik tidak masuk industri, lulusan sains tidak masuk riset, dan lulusan sosial tidak masuk perumusan kebijakan, gelar kehilangan makna sosialnya. Pendidikan berubah menjadi simbol, bukan kompetensi. Ekonomi gig pun bergeser dari jembatan sementara menjadi tujuan hidup yang masuk akal.

Di titik inilah ekonomi yang tampak tahan banting mulai menjadi rapuh. Ia menjaga stabilitas hari ini, tetapi menggerus kapasitas masa depan. Negara bertahan, tetapi tidak melaju.

Dalam konteks inilah langkah Muhammadiyah masuk ke bisnis ojek daring patut dikritisi secara jujur dan terbuka. Bukan dari sudut moral, melainkan dari sudut strategi kebangsaan. Muhammadiyah adalah organisasi sosial-keagamaan besar dengan jejaring pendidikan dan kesehatan yang luas. Ia memiliki sekolah, universitas, rumah sakit, dan modal sosial yang tidak dimiliki banyak institusi lain. Namun alih-alih memusatkan energi pada peningkatan mutu dan standardisasi aset-aset strategis tersebut, Muhammadiyah justru memilih masuk ke sektor yang sudah padat pemain, rendah nilai tambah, dan tidak menentukan arah masa depan bangsa.

Masuknya organisasi besar ke ekonomi gig seolah menegaskan satu pesan yang berbahaya: bahwa jalan pintas memang layak dirayakan. Padahal Indonesia justru membutuhkan sebaliknya. Yang dibutuhkan adalah rumah sakit yang menjadi pusat keunggulan layanan dan pendidikan medis, bukan sekadar memenuhi standar minimum. Yang dibutuhkan adalah sekolah dan universitas yang relevan dengan industri strategis, bukan sekadar mencetak ijazah. Di sektor-sektor inilah Muhammadiyah seharusnya melakukan lompatan, bukan sekadar ikut arus.

Ketika organisasi sosial-keagamaan besar ikut berlomba di sektor rendah nilai tambah, negara kehilangan mitra strategis untuk membangun jalan panjang. Energi kolektif yang seharusnya digunakan untuk memperkuat fondasi pendidikan dan kesehatan justru habis untuk mengelola rutinitas ekonomi harian. Ini bukan kesalahan niat, tetapi kekeliruan arah.

Sejarah pembangunan menunjukkan satu pelajaran yang konsisten: tidak ada negara yang naik kelas hanya dengan ekonomi jasa berproduktivitas rendah. Jepang, Korea Selatan, dan Jerman membangun daya saing melalui pendidikan yang keras dan industri yang menyerap kompetensi. Ekonomi digital di negara-negara itu mempercepat produktivitas. Di Indonesia, ia justru sering menutupi kelemahan struktural.

Jika kondisi ini dibiarkan, kita akan memproduksi generasi yang bekerja keras tetapi tidak pernah benar-benar naik kelas. Partisipasi kerja tinggi, tetapi kualitasnya dangkal. Aktivitas ekonomi ramai, tetapi mimpi tentang pendidikan dan keahlian perlahan kehilangan daya tariknya.

Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan orang yang mau bekerja. Yang kita kekurangan adalah keberanian institusi-institusi besar—termasuk negara dan organisasi terhormat di dalamnya—untuk menolak kenyamanan jalan pintas dan memilih jalan panjang pembangunan. Jalan panjang itu bernama pendidikan bermutu, industri bernilai tambah, dan kerja yang memberi martabat.

Jika negara dan organisasi besar terus memilih bertahan ketimbang melompat, maka generasi muda akan belajar satu hal yang paling berbahaya: bahwa bertahan hidup lebih rasional daripada bermimpi.

**Masalahnya bukan karena terlalu banyak anak Indonesia memilih menjadi driver,
melainkan karena negara dan institusi terhormat di dalamnya gagal membuktikan bahwa menjadi manusia terdidik memang layak diperjuangkan.**


Catatan Referensi:

1. Badan Pusat Statistik (BPS), Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia (berbagai edisi), khususnya data sektor informal dan pekerja berbasis platform.
2. World Bank, The Future of Work in Indonesia dan Indonesia Economic Prospects, terkait produktivitas tenaga kerja dan ekonomi gig.
3. McKinsey Global Institute, The Rise of the Gig Economy dan laporan tentang produktivitas sektor jasa berupah rendah.
4. OECD, Education at a Glance, mengenai hubungan pendidikan, produktivitas, dan mobilitas sosial.
5. Tempo.co dan Tempo Minggu, liputan berulang tentang ojek online, upah layak, serta problem struktural ketenagakerjaan dan pendidikan tinggi di Indonesia.
6. Pernyataan dan publikasi resmi Muhammadiyah terkait pengelolaan amal usaha pendidikan dan kesehatan, serta peluncuran layanan ojek daring internal organisasi.
7. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; serta Kementerian Kesehatan, terkait standar mutu pendidikan dan layanan rumah sakit. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!