Bersama Menepis Isu SARA di Pilkada 2018
Oleh Putri Sisilia
Banyak yang mengatakan tahun ini merupakan tahun politik yang ditandai dengan digelarnya Pilkada serentak di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Partai politik atau para kadidat calon kepala daerah berlaga dengan cara masing masing mereka sebagai ajang untuk membuktikan diri mereka layak untuk menjadi kepala daerah.
Pada satu sisi, gelaran pilkada serentak membuktikan bahwa iklim demokrasi Indonesia terus membaik dari waktu ke waktu. Namun di sisi lain, ajang Pilkada juga sering diwarnai konflik yang sering kali memicu gesekan di masyarakat. Perbedaan dalam memilih calon kepala daerah ini yang menjadi penyebab gesekan tersebut  hanya karena berbeda pilihan masyarakat lantas membenci satu sama lain , pantaskah? bahkan sekat bernuansa sara telah digunakan oleh oknum politikus yang tidak bertanggung jawab untuk menarik simpati masyarakat jelang pilkada ini. Isu sara ini bisa berdampak signifikan terhadap Indonesia hal ini dikarenakan Indonesia banyak memiliki suku, agama dan budaya.
Konflik SARA Yang Pernah Terjadi Di Indonesia
Indonesia pernah mengalami kejadian memilukan terkait konflik SARA. Salah satu contohnya adalah kerusuhan etnis yang terjadi saat persitiwa reformasi. Sentimen etnis tersebut berawal dari peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Peristiwa tersebut ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan.
Setahun kemudian pada tahun 1999 juga terjadi konflik di Ambon. Konflik ini bermula dari pertikaian antara kubu yang berbeda agama yang menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Pemulihan dari konflik di Ambon memerlukan waktu sangat lama walaupun pada dasarnya masyarakat berbeda kubu pada konflik diambon tidak sedikit mempunyai hubungan keluarga.
Di Sulawesi juga pernah terjadi konflik akibat isu SARA, yakni konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik ini melibatkan umat muslim dan kristiani ini terjadi karena beberapa faktor yaitu persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen dengan para pendatang seperti pedagang Bugis Muslim dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antar pejabat pemerintah mengenai posisi birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen dan Islam.
Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum yang lemah, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan. Pada tahun 2001 juga terjadi konflik di Sampit-Kalimantan Tengah yang mengakibatkan korban jiwa yang cukup besar antara suku Madura dan Dayak.
Isu SARA dalam pemilihan umum
Ekspolitasi isu terkait agama,ras,suku dan antar golongan (SARA) masih menjadi momok yang sangat menakutkan di tahun politik 2018 ini. Sangat dikhawatirkan pihak-pihak yang berkompetisi dalam pilkada 2018 dan pilpres 2019 akan kembali menggunakan isu ini seperti yang sudah terjadi pilkada DKI Jakarta Tahun 2017. Melihat fakta yang telah terjadi sangat disayangkan faktor sara menjadi salah satu faktor penentu kemenangan ini sangat dikhawatirkan ini menjadi salah satu cara bagi calon calon menggunakan hal yang sama di tahun ini.
KPU menegaskan pengunaan isu SARA dalam kampanye politik sudah ada dalam Undang Undang Pemilu yang menyebutkan bahwa  pelaku politik SARA dapat dipidana paling lama 18 bulan. Menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI ( KPU RI) Hasyim Asy’ari, sebetulnya ada sanksi administrasi yang bisa menimbulkan efek jera bagi pengguna isu-isu SARA dalam kampanye. Sanksi administratif tersebut yakni diskualifikasi atau pembatalan calon peserta pemilu atau pilkada.
Sanksi tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek ‘jera’ terhadap oknum politikus SARA. KPU juga merancang sejumlah upaya untuk mencegah terjadinya politik sara dalam pilkada tahun ini yakni salah satunya adalah melakukan kegiatan semacam jambore Lintas Iman yang diikuti kalangan muda di daerah yang melaksanakan pemilu 2018. Dalam kegiatan ini bawaslu akan memberikan Pendidikan terkait isu sara serta bahaya yang akan timbul. Dengan seiring kegiatan ini dilakukan diharapkan muncul deterrent effect atau efek gentar masyarakat  khususnya anak muda agar politikus tak lagi menggunakan isu sara dalam kontestasi politik.
Isu SARA digunakan dalam berpolitik karena isu ini sangat mudah digunakan untuk menggalang dan mengumpulkan massa. Identitas SARA yang melekat pada masing-masing individu membuat orang mudah terpanggil untuk melakukan aksi untuk kepentingan identitasnya. Panggilan atas dasar identitas SARA ini cukup berbahaya karena menjadi pemicu konflik yang sangat efektif. Yang paling patut kita waspadai adalah jika isu SARA ini menjadi semacam pengalihan isu guna mengelabuhi publik dengan isu-isu yang tidak terlihat.
Faktor-faktor maraknya politisi menggunakan isu SARA yang pertama paling dasar dari sektor publik yang masih belum bisa menilai sebuah informasi, mencermati pemberitaan dan pesan pesan berantai yang berisi politisasi terhadap SARA serta banyaknya sikap sterotip masyarakat terhadap suatu kelompok mengakibatkan ujaran kebencian semakin mudah masuk dalan kehipudan masyarakat. Kedua adalah faktor si pelaku politisasi SARA, yaitu politisi banyak menganggap ada faktor kontribusi SARA yang cukup besar untuk memenangkan pemilihan umum. Yang ketiga adalah faktor medium perantara politik SARA adalah media sosial yang membuat penyebarannya semakin cepat meluas dikalangan masyarakat
Penggunaan isu SARA di media sosial harus dihentikan, apalagi jika untuk kepentingan politik. Dinamika politik sebagai proses untuk menghasilkan pemerintahan seharusnya mengutamakan konten-konten profesionalisme dan tujuan eksistensi negara. Jika isu SARA yang digunakan untuk mementingkan kontestasi politik maka pihak lain yang berbeda identitas SARA akan cenderung resisten, karena pemenang yang terjadi bukan bagian dari identitasnya. Berbeda jika isu yang digunakan adalah kinerja atau eksistensi negera, siapapun pemenangnya akan tetap diterima karena satu kesatuan tujuan. Menggunakan isu SARA pada sektor politik adalah hal yang tidak terpuji dan harus dicegah. Perlu perhatian dari semua pihak terutama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk bersepakat mencegah dan menangani jika hal ini terjadi. Pemerintah selaku penyelenggara negara harus tegas.
Jika terjadi kegiatan politik yang menggunakan isu SARA harus dilakukan tindakan yang cepat dan tepat untuk mencegah dampak negatif terjadi. Untuk calon kepala daerah hindarkan politik SARA di pemilu 2018 dan sebaiknya menggunakan program-program kerja yang baik dalam rangka mensejahterakan masyarakat Indonesia , gunakan cara yang jujur untuk memenangkan pemlilu 2018. Masyarakat Indonesia sekarang sudah mulai cerdas dalam menilai kampanye yang diselenggarakan. Sikap pro aktif masyarakat sangat efektif dalam mencegah penyebaran isu SARA dalam rangka pilkada tahun ini. *** (Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI).