32.9 C
Jakarta

PDIP Mengedepankan Pancasila, Menolak Komunisme

Baca Juga:

PDIP Mengedepankan Pancasila, Menolak Komunisme

Oleh Usman Yatim

Akhirnya muncul juga klarifikasi dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) seputar isu PKI (Partai Komunis Indonesia) atau ajaran komunisme. “PDI Perjuangan tidak memiliki kaitan apa pun dengan PKI ataupun ajaran komunisme karena PDI Perjuangan sebagai partai nasionalis yang menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila,,” begitu bunyi poin ketiga surat penjelasan dan instruksi bernomor 2588/IN/DPP/II/2017 tertanggal 2 Februari 2017, yang ditandatangani oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto.

Menurut Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira, sudah terjadi upaya adu domba di masyarakat melalui penyebaran fitnah dan kebencian. Hal itu mengancam situasi dan kondisi yang kondusif di masyarakat. Andreas menilai, penegasan bahwa PDIP tidak berkaitan dengan PKI dan ajaran komunisme sangat penting untuk disampaikan. “Urgent karena isu itu diembuskan sudah sejak beberapa bulan terakhir ini, dan menjelang Pilkada ini semakin gencar,” kata Pareira (Kompas.com/3/2/2017)

Awal surat PDIP tersebut berbunyi: “Mencermati dinamika sosial politik Tanah Air yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya adanya berbagai isu dan propaganda politik, oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang telah mengait-kaitkan PDI Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ajaran komunisme. Situasi sosial politik tersebut patut diduga dilakukan untuk menimbulkan keresahan dan memicu konflik di tengah-tengah masyarakat yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.”

Selanjutnya ada 5 poin penjelasan dan instruksi yang disampaikan DPP PDIP, yaitu: “(1). PDI Perjuangan adalah partai politik yang berazaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya 1 Juni 1945 (Pasal 5 ayat (1) Anggaran Dasar Partai); (2). Seluruh Anggota, Kader dan pengurus PDI Perjuangan di seluruh tingkatan WAJIB untuk menerima, memahami dan melaksanakan azas partai sebagaimana termaktub dalam poin (1) di atas (Pasal 18 huruf (a) dan (b) Anggaran Dasar Partai dan Pasal 1 ayat 2 huruf (b) Anggaran Rumah Tangga Partai); (3). PDI Perjuangan tidak memiliki kaitan apapun dengan PKI maupun ajaran komunisme karena PDI Perjuangan sebagai partai nasionalis yang menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila.”

Selanjutnya: “(4). Seluruh anggota, kader dan pengurus PDI Perjuangan berkewajiban untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila tersebut dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (5). Menginstruksikan kepada seluruh anggota, kader dan pengurus PDI Perjuangan di seluruh Indonesia untuk dapat mensosialisasikan penjelasan resmi DPP Partai ini kepada semua pihak dengan sebaik-baiknya serta tetap menjaga situasi dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya rasa dan semangat persaudaraan kebangsaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama ini.”

Pernyataan PDIP tersebut patut dijadikan patokan atau dasar bahwa parpol ini memang benar-benar mengedepankan Pancasila dan pemahaman terhadap dasar dan ideologi negara tersebut, sesuai dengan yang dinilai atau dianggap selama ini, yaitu Pancasila adalah ideologi yang dapat melawan atau menolak kehadiran PKI, ideologi atau ajaran komunisme. Berbagai isu yang berkembang selama ini, seolah ada pemahaman lain mengenai Pancasila, yaitu ideologi atau ajaran yang dijiwai dan disemangat dari Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 ini dapat berkompromi atau menerima keberadaan ideologi atau ajaran komunisme.

Isu tersebut dapat dimaklumi menyebar luas, bilamana tidak ada upaya klarifikasi untuk membantahnya. Sejarah perjalanan bangsa, memang mencatat, Indonesia pernah mengedepankan adanya kompromi antara Pancasila, dikaitkan dengan nasionalisme, agama dan komunisme sehingga memunculkan jargon Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Dalam Wikipidia, kita dapat membaca: “Nasakom adalah konsep politik selama Presiden RI Pertama Soekarno di Indonesia.” Dituliskan juga: “Pada 1956 Sukarno secara erbuka mengkritik demokrasi parlementer, yang menyatakan bahwa itu “didasarkan pada konflik inheren” yang berlawanan dengan gagasan Indonesia harmoni sebagai keadaan alami antar hubungan manusia. Sebaliknya, ia mencari sistem yang didasarkan pada sistem tradisional desa dengan menampilkan diskusi dan konsensus, di bawah bimbingan para tetua desa. Ia mengusulkan campuran antara tiga unsur nasionalisme, agama dan komunisme menjadi pemerintah koperasi ‘Nas-A-Kom’. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia – tentara, kelompok-kelompok Islam, dan komunis. Dengan dukungan dari militer, pada Februari ia menyatakan ‘Demokrasi Terpimpin’, dan mengusulkan kabinet yang akan mewakili semua partai politik penting (termasuk PKI).”

Dari paparan itu, kita dapat memahami, penerimaan terhadap Nasakom lebih pada upaya kompromi terhadap kekuatan politik yang ada pada masa Orde Lama. Tercatat pula, tatkala kekuasaan Orde lama berakhir, seiring adanya Gerakan 30 September 1965/PKI, memunculkan Orde Baru, PKI dibubarkan dan menjadi partai terlarang, termasuk ajaran komunisme, sebagaimana ketentuan Ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI yang sampai saat ini masih berlaku. Bahkan soal pelarangan ajaran komunis, diperkuat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yakni pemerintah melarang kegiatan penyebaran atau pengembangan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme dalam berbagai bentuk.
Mencermati bunyi surat DPP PDIP, terlihat jelas bahwa ketidakterkaitan dengan PKI/Komunisme benar-benar dalam konteks tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tanpa mengaitkannya dengan Tap MPRS No.25/1966 dan Ketentuan UU No.27/1966. Artinya, terlepas ada tidaknya Tap MPRS dan UU, PDIP memang menilai PKI dan ajaran komunisme bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Manakala hanya berpatokan ketentuan Tap MPRS dan undang-undang, dapat saja ada pihak atau orang yang menilai penolakan terhadap PKI dan komunisme hanyalah sebatas formalitas hukum/konstitusi. Hal itulah, selain faktor historis dan belum adanya klarifikasi, isu bangkitnya PKI/komunis selalu muncul tanpa henti.
Sebagaimana isi surat dan instruksi DPP PDIP yang baru tersebut, segenap kader dan pengurus PDIP dalam segala tingkatan perlu terus menerus menyuarakan sikap tentang ketidakterkaitan dengan PKI/komunisme. Sangat penting dan wajar pula, upaya klarifikasi tersebut dengan menunjukkan sikap anti dan menolak total PKI/komunisme, seraya mengedepankan Pancasila. Adapun nilai-nilai Pancasila yang dikedepankan, sesuai yang dinyatakan, adalah sebagaimana nilai-nilainya tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini penting karena dikesankan Pancasila bisa dalam bentuk banyak versi, seperti isi Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta, Pembukaan UUD 1945, bahkan versi Nasakom. Kita harus sepakat bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa, Pancasila yang kita hayati, amalkan atau implementasikan saat ini adalah yang sesuai konstitusi (UUD 1945) yang dijiwai dan disemangati hari lahir 1 Juni 1945 dan diperkaya dengan Piagam Jakarta, serta menolak kehadiran PKI/Komunisme. Keberadaan PKI/Komunisme bukan saja ditolak karena ajaran/ideologi ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, melainkan juga dalam sejarah tercatat secara berulang telah melakukan penghianatan/pemberontakan.

Manakala PDIP bersama gerakan nasionalisme lainnya menyuarakan secara gencar Pancasila dan penolakan terhadap PKI/Komunisme, seyogyanya dapat bergandengan tangan bersama gerakan yang mengedepankan agama (Islam). Maksudnya, hubungan kelompok nasionalis dan Islam dapat terjalin harmonis, jauh dari konflik dan ketegangan yang sering mencuat, termasuk akhir-akhir ini dengan ramainya kasus penistaan agama yang menjadikan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sebagai tersangka dalam suasana Pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak 2017. Tatkala ada suara gencar bersama mensosialisasikan Pancasila dan penolakan terhadap PKI/Komunisme, seyogyanya kelompok nasionalis dan agama tidak lagi meramaikan dan menampilkan sikap saling serang, seperti tudingan anti-Pancasila, antikebhinekaan, anti-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), intoleransi, radikalisme dan teror. Semuanya bersuara seiring, berkomitmen dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Hal itulah kini yang dinanti-nanti publik, yaitu meredanya isu PKI/Komunisme, pekerja ilegal/dominasi Tiongkok, SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan), disintegrasi nasional, radikalisme dan terorisme. Isu tersebut memang tidak mungkin hilang namun terpenting tidak membuat suasana maraknya saling curiga, saling tuding, adu domba, fitnah dan ujaran kebencian. Suasana merebaknya isu ini tidaklah mudah diredam, bahkan setiap saat dapat saja mencuat kembali. Namun, ketika segenap komponen bangsa ada kesamaan pandang dan sikap, kerukunan dan keutuhan bangsa masih dapat terpelihara.

Harus diakui suasana tidak nyaman dengan berbagai isu sedang mencuat saat ini. Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin sempat menyampaikan kerisauannya terhadap fenomena saat ini yang membenturkan aqidah (Islam) dengan wawasan kebangsaan. Seolah kalau ulama, ustadz, dai banyak berbicara agama, maka itu dipandang, dicurigai sebagai anti-kebhinekaan, tidak pluralis, bahkan menolak Pancasila. Sebaliknya, jika bicara kebhinekaan, kemajemukan bangsa, Pancasila, maka yang terkait aqidah, harus dipinggirkan. “Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan aqidah, namun jangan pula atas nama aqidah kita mengorbankan kebangsaan kita. Aqidah, agama dan kebangsaan harus kita kelola bersama secara baik,” kata Dr KH Ma`ruf Amin, saat menerima sejumlah komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang bersilaturahmi ke MUI di Jakarta, Selasa (17/01/2017/ Menara62.com).

Gara-gara maraknya isu meresahkan, kita memang banyak menyalahkan kehadiran media sosial, kemudahan setiap orang menggunakan perangkat telekomunikasi. Boleh jadi hal itu memang benar, namun tatkala kita mengedepankan kebebasan dan demokrasi dalam era IT, upaya mengendalikan dengan mengerem, memberi sanksi terhadap pelanggar medsos, bukanlah solosi yang pas untuk jangka panjang. Malahan yang terjadi adalah suasana kian menegangkan, mencuatkan ketakutan dan kecemasan, bahkan kekuasaan dituding bertindak represif, seolah kita kembali ke dalam suasana pemerintahan yang represif, isu pembungkaman lawan-lawan politik, bahkan mencuatkan isu makar yang tidak jauh beda dengan tudingan subversi pada masa lalu.

Padahal upaya yang perlu dikedepankan adalah memperbanyak klarifikasi, menjernihkan isu-isu yang mencuat, sebagaimana yang baru dilakukan DPP PDIP. Media pers yang kini menyongsong peringatan HPN (Hari Pers Nasional) di Ambon, 9 Februari 2017, patut kian mengedepankan upaya konfirmasi dan verifikasi terhadap liputannya agar mendorong banyak pihak, terutama pemerintah, melakukan upaya klarifikasi terhadap isu negatif yang berkembang.

Menurut KH Ma`ruf Amin, upaya membenturkan, opini yang berkembang tentang Islam versus Pancasila marak muncul di media massa, terutama media sosial, lewat postingan yang bernuansa fitnah, adu domba, dengan berbagai informasi yang menyesatkan. Dia berharap media jangan ikut terjebak. Harusnya justru mengklarifikasi, meluruskan informasi hoax. Menurut dia, media patut cerdas menampilkan narasumber, pembicara yang layak untuk publik. Dicermatinya, ada kelompok ekstrim, baik yang semata mengedepankan aqidah maupun kebangsaan. “Kita setuju, menolak yang ekstrim-ekstrim itu, yang memperkeruh suasana,” ucap Ma`ruf Amin. Nah, semoga saja dengan adanya klarifikasi PDIP terhadap isu PKI/Komunisme dapat meredakan berbagai upaya yang membenturkan antara kelompok nasionalisme/kebangsaan dan agama/Islam.***

Penulis adalah dosen Fikom Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) Jakarta

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!