JAKARTA, MENARA62.COM – Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, meminta warung tidak lagi memajang produk rokok di etalasenya. Hal tersebut perlu dilakukan guna mengurangi jumlah perokok terutama kalangan anak-anak.
“Kalau mau jual rokok cukup ditulis menjual rokok dengan tulisan kecil. Setidaknya anak-anak kalau tidak lihat rokok tidak muncul keinginan merokok,” kata Anung dikutip dari laman sehatnegeriku, Rabu (3/4/2019).
Anung menjelaskan bahwa rokok yang dibuat dari tembakau mengandung nikotin, TAR dan 4.000 lebih zat berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai penyakit termasuk zat-zat karsinogenik.
Saat seseorang merokok, nikotin akan masuk ke dalam darah dan diteruskan ke otak dalam waktu 4 – 10 detik saja. Nikotin akan berikatan dengan reseptor dan melepaskan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Dalam 2 jam, kadar Nikotin turun sehingga kadar dopamin juga turun dan akan terjadi gejala putus nikotin, sehingga akhirnya perokok ingin mengulang rasa nyaman tersebut dengan merokok lagi.
“Hal ini lah yang menyebabkan kebutuhan akan nikotin prokok akan meningkat,” lanjut Anung.
Pemerintah jelasnya, telah membuat peraturan yang berpihak kepada rakyat, dengan melakukan penelitian, survei dan sensus untuk mendapatkan data dan informasi terkait tembakau termasuk penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok. Namun, Kementerian Kesehatan tidak dapat bekerja sendiri, perlu juga bekerjasama dengan berbagai kementerian dan institusi pemerintah lain, serta pemerintah daerah, dengan menetapkan peraturan kawasan tanpa rokok atau KTR.
Peraturan ini bertujuan untuk melindungi mereka yang tidak merokok, yang jumlah totalnya sekitar 160 juta orang, dan kebanyakan anak-anak dan perempuan.
“Kami berusaha sedapat mungkin agar harga rokok menjadi tidak mampu dibeli oleh kalangan yang berpenghasilan pas-pasan, juga oleh anak-anak yang biasanya memiliki uang saku terbatas,” jelas Anung.
Menurut Anung, kondisi saat ini tidaklah adil bagi mereka yang dengan sadar memilih untuk tidak merokok baik untuk alasan kesehatan, ekonomi, ataupun kepercayaan pribadi.
“Hak asasi masyarakat seperti ini harus dilindungi oleh pemerintah, apalagi kebanyakan yang tidak merokok adalah anak-anak dan perempuan terutama wanita hamil, karena janin yang dikandung oleh wanita hamil juga terdampak dengan asap rokok”, tegas Anung.
Peran tokoh masyarakat termasuk semua pemuka agama harus mendorong masyarakat untuk tidak merokok di tempat-tempat KTR yang telah disepakati dalam Peraturan Desa tentang KTR ini, dan bila harus merokok, harus dilakukan di tempat yang telah disepakati sebagai tempat merokok. Hal ini untuk melindungi anak-anak dari paparan asap rokok orang-orang disekitarnya. Selain itu, sejatinya KTR juga memberikan pelindungan kepada para perokok, karena mereka juga dapat menghirup udara bersih saat mereka berada pada Kawasan Tanpa Rokok yang telah disepakati dan ditetapkan, seperti di Desa Guaeria.
Peraturan tentang KTR yang ada di PP 109/2012, menyebutkan ada 7 kawasan yang harus bebas dari rokok yaitu tempat pendidikan, tempat anak bermain, tempat ibadah, sarana pelayanan kesehatan, angkutan umum, tempat kerja dan tempat-tempat umum lain yang ditetapkan. Untuk mengimplementasikan peraturan ini, pemerintah daerah harus membuat peraturan daerah yang diturunkan di desa dan tentu harus diimplementasikannya.
Badan Litbang Kesehatan dan Universitas Uhamka telah melakukan penelitian tentang paparan iklan terhadap kebiasaan anak mulai merokok. Hasilnya memperlihatkan kondisi yang mengkhawatirkan, bahwa lebih dari 85% anak tahu akan rokok dari iklan rokok melalui billboard, media elektronik dan promosi serta sponsorship event kesenian dan olahraga. Lebih dari 46% mulai merokok karena iklan dan lebih dari 41% kegiatan disponsori industri rokok memiliki pengaruh untuk mulai merokok.
Selain KTR, hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengertian kepada masyarakat yang menjual rokok untuk tidak menjual pada anak-anak dan ibu hamil dengan alasan apa pun.
Anung mengimbau, bahwa toko dan warung diharapkan tidak memajang rokok, cukup membuat tulisan “Menjual Rokok” sehingga anak-anak tidak terpapar iklan dan rokok.
“Hal ini untuk mengurangi anak-anak yang sering terbujuk oleh iklan karena ingin dianggap hebat oleh orang-orang disekitarnya, sehingga anak tersebut akhirnya mulai merokok,” pungkasnya.