Oleh: Elly Hasan Sadeli*
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu bagian prosedural dari praktik demokrasi. Para elit politik sering mengistilahkan pemilu dengan sebutan pesta demokrasi. Setidaknya, begitu label yang sering dinarasikan pada saat kampanye. Momentum pemilu pada tahun ini sangat bersejarah, karena dilaksanakan secara serentak. Hal ini sebagaimana hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Januari 2014 atas permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil tentang pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Eksekutif (Pilpres) digelar secara serentak mulai tahun 2019.
Kontestasi pemilu pada tahun ini melahirkan animo masyrakat yang cukup tinggi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi legal yang menyelenggarakan pemilu melaporkan bahwa partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 81%, hal ini melampaui target awal KPU sebesar 77,5% (Kompas, 2019). Kondisi ini memang sudah dapat diprediksi secara umum, karena sebelum kegiatan pemilu atau pencoblosan dimulai, masyarakat sudah mulai menunjukkan antusiasmenya melalui perdebatan-perdebatan yang sangat sengit mengenai calon yang menjadi pilihannya masing-masing, perbedaan pandangan tentang calon yang diunggulkan sudah menggema di seluruh kalangan lapisan masyarakat, bahkan perdebatan terjadi tidak hanya di darat namun juga dengan kemajuan teknologi dan informasi, perdebatan panas banyak terjadi di udara (media sosial).
Kegiatan pemilihan yang telah diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019, telah diketahui hasil penghitungan suaranya, namun salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden menyatakan keberatannya terkait dengan hasil perolehan suaranya. Tentu keberatan tersebut secara konstitusional dapat diajukan pada institusi yang berwenang yaitu Mahkamah Konstitusi. Akhirnya pada tanggal 27 Juni, MK memberikan putusan terhadap sengketa pemilihan presiden dengan hasil menolak seluruh gugatan kuasa hukum dari pasangan calon nomor dua.
Pascaputusan MK, tentu saja melahirkan ketidakpuasan dari beberapa kelompok masyarakat. Kekhawatiran dinamika politik yang terjadi serta merta melahirkan polusi perpecahan yang parah dalam tubuh masyarakat. Namun, letupan nada perpecahan akhirnya dapat diselesaikan dengan cara yang konstitusional. Meskipun serpihan-serpihan kekecewaan tentu tidak dapat terelakan dari salah satu kelompok pendukung. Oleh karena itu, penting kiranya kita kembali pada semangat ideologi Pancasila sebagaimana yang dicontohkan secara nyata oleh para pendiri bangsa, khususnya bagaimana jalan merawat persatuan dan kesatuan dengan mengesampingkan egoisme golongan atau kelompok.
Merawat Persatuan dalam Keragaman
Semangat persatuan bangsa Indonesia sejatinya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, semangat itu menjelma melalui organisasi-organisasi berbasis nasionalis maupun keagamaan, sejarah mencatat pergerakan organisasi besar dimulai dari Boedi Oetomo 1908, Muhammadiyah 1912, Nahdlatul Ulama 1926 kemudian muncullah momentum Sumpah Pemuda 1928. Meski bentuk perjuangan yang beragam, namun muaranya adalah semangat membangun persatuan.
Hal ini dituliskan pula oleh Yudi Latif dalam karyanya yang monumental berjudul mata air keteladanan, yang menggambarkan bahwa suasanan kebatinan semangat persatuan dalam keragaman juga tercermin pada detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain diwarnai heroisme pergerakan pemuda dari beragam latar etnis dan agama yang mendorong percepatan kemerdekaan Indonesia, detik-detik menjelang proklamasi juga menunjukkan keluhuran budi para pendiri bangsa dalam mengembangkan kepekaan rasa untuk menghormati keragaman Indonesia. Jadi, sejarah persatuan bangsa Indonesia sebenarnya sudah berurat akar, meskipun dalam kehidupan politik kadang dipenuhi perselisihan dalam memperebutkan kursi kekuasaan. Namun, modal kekuatan persatuan di dalam pergaulan hidup masyarakat sehari-hari telah menjadi pilar kekuatan, hidup berdampingan secara damai dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk nusantara.
Namun, di balik bangsa yang besar, Hatta pernah mengingatkan jauh-jauh hari bahwa sejarah Indonesia juga banyak yang memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realita daripada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.
Oleh karena itu, tanggung jawab yang besar dalam menjaga stabilitas persatuan ada di pundak pemimpin yang baru terpilih. Cita-cita negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur harus senantiasa menjadi gaung prioritas utama dari setiap kebijakan pemerintah dengan mengedepankan semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Mungkin banyak yang menyangka bahwa pascapemilu akan sulit menyatukan puing-puing kebencian yang berserakan. Tetapi pendapat itu tidak benar, itu suatu pendapat yang diperoleh dari penglihatan yang sepintas atas kegaduhan politik yang terjadi beberapa akhir ini. Memang kontestasi pemilu tahun ini berdampak cukup pahit terhadap keseimbangan persatuan. Namun, perbedaan pilihan baik yang menang ataupun yang kalah, tidak lantas semakin memperuncing permusuhan. Maka penting kiranya ungkapan pepatah Jawa yang menyatakan semangat menang tanpo ngasorake (menang tanpa mengalahkan) menjelma dalam setiap pribadi masyarakat dan dengan dikuatkan oleh ungkapan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Pemilu telah usai, sebagai masyarakat bangsa mari bersama-sama merajut benang kusut perpecahan dengan merawat persatuan dalam keberagaman, sehingga bangsa Indonesia terhindar dari keadaan yang muram dan suram.
*Dosen PPKn UMP dan mahasiswa S3 UNY