30.3 C
Jakarta

Mahasiswa Non Muslim Belajar tentang Islam dalam Masjid

Baca Juga:

Kurang lima belas menit pukul dua belas siang, saya sudah tiba halaman depan Masjid Bilal. Di luar tak tampak tanda-tanda tempat ini sebagai masjid. Bentuknya pun tak mirip masjid seperti di Indonesia. Masjid ini berada di 1-3 Bethlehem St, Cringila, Wollongong, New South Wales, Australia. Ini adalah masjid kedua yang saya datangi untuk shalat Jumat, setelah di Masjid Omar.

Saya sengaja datang ke masjid ini, mencari suasana lain untuk shalat Jumat. Saya ingin merasakan suasana di berbagai masjid yang berbeda. Biasanya di Masjid Omar. Kali ini saya cari masjid lain yang agak jauh.

Untuk ke Masjid Bilal ini, jarak dari rumah sekitar sepuluh km ke arah luar kota. Untuk menuju masjid itu, perlu dua kali naik bus. Bus pertama dari depan kampus UoW sampai ke kota, ini gratis. Lalu dari stasiun dalam ke Cringila naik bus lain dengan membayar sekitar empat puluh ribu Rupiah untuk sekali jalan.

Saya turun di dekat Toko Abdul`Salam Halal, lalu jalan kaki lewat jalan Bethlehem sejauh 200an meter. Masjid ini berada ada di ujung jalan buntu sebelah kiri. Luas dan penuh pohon dan bunga-bunga.

Turki

Masjid ini dibina atau pengurusnya didominasi oleh muslim keturunan Turki. Ini dapat dilihat dari tulisan yang tertempel di papan pengumuman dan bahasa yang digunakan. Dari perawakan wajahnya pun, dapat dilihat bahwa sebagian besar jamaahnya adalah keturunan negaranya Hakan Syukur ini.

Setelah berwudhu, saya langsung masuk ke dalam masjid. Beberapa orang tua masih berada di beranda, mereka ngobrol dalam bahasa Turki. Saya lihat di dalam masjid, ada lima hingga enam jamaah duduk bersandar pada dinding belakang. Seorang ulama atau ustadz sedang ceramah di atas mimbar. Mimbar ini berada di tengah ruangan, dekat mihrab. Saya langsung shalat sunnah tahyatul masjid dua rakaat. Setelah selesai shalat sunnah, saya duduk ikut mendengar ceramah sang ustadz.

Dia tetap ceramah walaupun jamaah masih sedikit. Saya yakin ini belum masuk khutbah Jumat, karena tadi pada seorang jamaah saya bertanya soal ini. Jumatan dimulai pukul 12.15 waktu setempat. Jamaah mulai datang satu per satu. Semakin banyak. Para orang tua yang sudah usia lanjut, duduk di bagian sudut depan samping kiri dua saf memakai kursi. Tak jauh dari saya di shaf ketiga. Di sudut bagian belakang sebelah kanan, ada juga sekelompok orang tua usia lanjut yang duduk di kursi.

Dua orang muslim keturunan Bangladesh datang di belakang saya. Asal mereka diketahui  dari baju yang mereka pakai. Sebagian besar jamaah adalah warga keturunan Turki. Sisanya keturunan Timur Tengah lainnya. Beberapa orang keturunan Afrika. Tak tampak warga Malaysia dan Indonesia selain saya. Mungkin ada, tapi tidak kulihat. Jumlah jamaah saya perkirakan tiga ratus orang lebih.

Lewat sedikit pukul dua belas seperempat, ustadz mengakhiri ceramahnya. Seorang tua langsung azan pertama di sudut bagian belakang. Setelah azan, semua jamaah berdiri. Menunaikan shalat sunnah. Saya ambil dua rakaat, justru hampir seluruh jamaah lainnya sunnah empat rakaat.

Lalu sang ustadz yang tadi secara perlahan berdiri berjalan naik ke mimbar yang satu lagi yang terletak di sudut masjid bagian depan. Diiringi shalawat Nabi oleh muazzin tadi. Setelah tiba di atas mimbar, khatib duduk. Lalu muazzin azan di belakang. Berbeda dengan di Indonesia, azan kedua biasanya didahului dengan salam. Di sini tidak ada salam pembuka, atau mungkin saya tidak dengar.

Selesai azan kedua, khatib membawakan khutbahnya sekitar 10 menit dalam bahasa Turki. Saya perhatikan, dia membaca dari handphone yang dia pegang. Setelah itu, seorang pemuda berdiri di belakang. Dia berbicara menerjemahkan isi ceramah sang khatib tadi ke dalam bahasa Inggris, sekitar tujuh menit. Setelahnya khatib melanjutkan membaca doa mengakhiri khutbah pertama.

Setelah itu, khatib berdiri lagi melanjutkan khutbah kedua. Dalam khutbah kedua ini, khatib berbicara dalam bahasa Arab dan berdoa saja. Lalu mengakhiri khutbahnya. Terus muazzin mengumandangkan iqamah, jamaah berdiri mengatur shaf. Salat Jumat dua rakaat dimulai dipimpin oleh sang khatib. Dia bergeser ke tengah jamaah bagian depan. Tadikan khutbah di mimbar paling sudut kanan depan.

Ada beberapa perbedaan yang mencolok lainnya dengan shalat Jumat di Indonesia. Setelah ta’bir, imam langsung baca surah Al Fatihah, mungkin tanpa doa i’tidal, karena cepat sekali setelah ta’bir. Surah Fatihah yang dibaca tanpa kedengaran bacaan Basmallah, langsung masuk Alhamdulillah dan seterusnya. Demikian juga rakaat bacaan pada rakaat kedua. Duduk tahyat tanpa memasukkan kaki kiri merapat ke ke kaki kanan, atau duduknya sama persis duduk diantara dua sujud.

Selesai imam mengucapkan salam pertama dan salam kedua, hampir separuh jamaah langsung berdiri. Tanpa zikir dan tanpa shalat sunnah. Mereka segera bergegas keluar masjid. Mungkin mau cepat kembali ke tempat kerja. Separuhnya lagi, masih duduk berzikir dan berdoa. Zikir dan doa dilakukan sendiri-sendiri. Lalu melaksanakan shalat sunnah. Saya juga demikian. Beberapa orang tua masih duduk berdoa. Saya sengaja bergeser ke belakang, agar lebih leluasa mengamati.

Setelah masjid hampir kosong, saya masih duduk dalam masjid. Saya sempat menoleh ke ruang bagian belakang samping kiri. Itu memang ruang shalat wanita. Saya terkejut, ternyata ada beberapa perempuan muda tanpa jilbab dalam ruangan tersebut. Lalu saya lihat ada tiga lelaki masuk ke ruangan itu.

Sang imam shalat Jumat tadi masih tampak berdoa. Saya coba ambil gambar sambil was-was. Di sini, kalau ambil gambar harus hati-hati. Bisa saja orang keberatan. Saya foto lebih jelas, ada yang melihat, tapi tak menegur. Artinya boleh foto dalam masjid.

Ketika saya mau keluar, tiba-tiba para perempuan muda keluar dari ruang belakang, masuk berjalan ke dalam masjid di dampingi seorang pengurusnya. Mereka mendekat ke Sang Imam tadi. Beberapa jamaah sigap mengambil kursi menyusunnya melingkar. Sang imam memersilahkan perempuan muda ini duduk di kursi. Saya coba dengar sepintas dan pura-pura selfie dari jarak jauh.

Rupanya perempuan muda yang berjumlah lima orang ini adalah mahasiswa. Satu orang diantaranya rupanya lelaki. Kelima perempuan ini sangaja menutup kepada dengan kain. Tapi bukan pakai jilbab. Jadi kentara bahwa mereka warga lokal, dan bukan Muslim. Berpakaian seragam, rapi, dan tanpa alas kaki.

Mereka menghormati ini adalah rumah suci umat Islam. Para mahasiswa ini didampingi oleh seorang dewasa yang memakai pakaian necis dan pakai dasi. Mungkin adalah dosennya. Dugaan saya, mereka sedang belajar mata kuliah tertentu dengan menjadikan shalat Jumat sebagai obyek pengamatan. Sama halnya dengan saya dulu ketika membawa mahasiswaku kuliah lapangan ke instansi terkait atau kantor redaksi media cetak.

Tadi sepintas saya dengar mereka menanyakan tentang apa yang dilakukan oleh umat Islam di masjid ini, untuk apa itu shalat Jumat dan seterusnya. Dengan kata lain mereka ingin belajar atau mempelajari beberapa hal terkait dengan ibadah umat Islam. Akhirnya saya merasa tak baik jika nguping terus, lalu saya keluar dari masjid.

Di luar masjid masih ada beberapa orang tua yang duduk di beranda. Mereka bicara dengan bahasa Turki. Di meja ada tumpukan koran baru berbahasa Turki dan beberapa brosur masjid. Headlinenya adalah kematian mantan Presiden Mesir. Saya bertanya kepada mereka, apakah boleh saya mengambil koran tersebut? Mereka bilang, silahkan. Tak lupa saya perkenalkan diri dari Indonesia. Mereka senyum dan kelihatan senang.

Saya pun senang bisa shalat Jumat di sini. Bertambah lagi wawasan. Memang lain padang lain belalang. Lain orang lain, juga cara pandang. Lain penulis buku lain pula cara menafsirkannya. Lain guru lain pula pengamalan agamanya. Demikian juga terhadap rukun-rukun shalat. Ada yang sama dengan kita, ada juga yang berbeda. Padahal sumbernya sama. Al Qur’an dan Hadist. Hanya cara menafsirkannya yang tidak sama, karena memang sudut pandang pun berbeda. Walaubagaimanapun saya yakin, semuanya adalah dalam rangka mencapai keridhaan Allah Swt. Insya Allah.

Satu hal yang agak mengganggu pikiran saya adalah, tak ada satupun anak-anak yang ikut shalat Jumat. Kemungkinan besar anak-anak seusia sekolah dasar hingga sekolah menengah masih belajar di sekolah masing-masing. Di sini anak-anak masuk kelas mulai jam 08.30 sampai 15.10 tiap hari. Jadi tak sempat ke masjid untuk shalat Jumat. Apalagi jarak masjid dan sekolah di sini cukup berjauhan. Inilah salah satu kegelisahan saya.

Penulis: Haidir Fitra Siagian, Gwynneville, Sabtu (29/6/2019) jelang Isya

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!