BAGHDAD, MENARA62.COM – Gerakan people power di Irak menolak reformasi palsu yang ditawarkan rezim Perdana Menteri (PM) Adil Abdul Mahdi. Dalam unjuk rasa yang terus membesar sejak 1 Oktober 2019 dan diwarnai bentrokan maut dengan pasukan keamanan, tuntutan mereka mengerucut pada pembubaran pemerintahan PM Mahdi.
“Kami tidak boleh menerima ‘reformasi palsu’. Orang-orang sangat sadar akan apa yang terjadi: kami telah sampai pada fase penting dan tidak bisa kehilangan semuanya sekarang,” kata Mohammad (22 tahun), aktivis yang ikut bertahan bersama puluhan ribu demonstran di Alun-alun Tahrir (Tahrir Square), Baghdad, ibukota Irak, Sabtu (2/11/2019).
Para pengunjuk rasa telah menduduki Alun-alun Tahrir selama lebih sepekan. Sebelumnya, mereka maju-mundur dari kawasan jantung kota ini karena berhadapan dengan tindakan represif aparat dan serangan milisi Syiah yang didukung Iran.
Mereka tidak terkesan oleh proposal pemerintah, termasuk tawaran pemilu yang dipercepat. “Kami telah melakukan pemilu selama 16 tahun, dan kami tidak mendapatkan apa-apa,” kata Haydar (30), pengunjuk rasa yang juga berada di Tahrir Square.
Protes rakyat Iran telah berkembang sejak 1 Oktober 2019. Aksi mereka dipicu oleh kemarahan atas maraknya korupsi, tingginya angka pengangguran, perilaku buruk elite politik dan pemerintahan yang didominasi Syiah, dan akhirnya menuntut “kejatuhan rezim” yang didukung Iran.
Arab News melaporkan, lebih dari 250 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam gelombang aksi selama lebih sebulan itu. Terakhir, pasukan keamanan Irak bentrok dengan demonstran anti-pemerintah pada Sabtu (2/11/2019) di dekat Alun-alun Tahrir, menyebabkan satu demonstran tewas dan puluhan lainnya cedera.
Kekerasan tersebut berpusat pada dua jembatan yang menghubungkan Tahrir Square ke tepi barat Tigris – tempat sebagian besar gedung pemerintah dan kedutaan besar asing termasuk misi Amerika Serikat (AS) dan Iran berada.
Polisi anti huru hara dikerahkan di sepanjang jembatan, menembakkan gas air mata untuk menahan pengunjuk rasa.
Kelompok hak asasi Amnesty International mengecam pasukan Irak yang menggunakan dua jenis gas air berbahaya. Dampak gas air mata tersebut telah menusuk ke dalam jaringan otak dan paru-paru pengunjuk rasa.