PENGARUH kelompok Syiah yang didukung Iran telah menjelma menjadi kekuatan politik yang dominan di Irak dan Lebanon. Mereka, bagai monster, mampu menguasi roda pemerintahan dan kendali atas angkatan bersenjata.
Namun, sikap mementingkan kelompok sendiri dan keserakahan, telah membuat hegemoni mereka rapuh: korupsi merajalela, yang berdampak pada tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan buruknya pelayanan publik.
Aksi people power pun pecah di Irak dan Lebanon secara hampir bersamaan dalam sekitar sebulan terakhir. Kendati beda negara, namun isu yang mereka isung kurang lebih setali tiga uang: bermuara pada penilaian bobroknya pemerintahan dukungan Iran dan harus ditumbangkan!
Di Lebanon, aksi massa anti-pemerintah telah memaksa Perdana Menteri (PM) Saad Hariri mengirim surat pengunduran diri kepada Presiden Michel Auon. Sementara di Irak, PM Adel Abdul Mahdi sudah berada di ujung tanduk: terpojok dan goyah, tapi masih mencoba bertahan.
Iran berusaha meredam aksi unjk rasa anti-pemerintah dengan mengerahkan milisi dan penembak jitu. Namun, kendati jatuh ratusan korban tewas dan ribuan terluka, malah membuat aksi kian mengeras dan membesar.
Menjadi tidak Populer
Abdulrahman Al-Rashed, kolumnis veteran, mantan wartawan senior Al Arabiya News Chanel dan pemred Ashrarq Al-Awsat, menuliskan ulasannya di Arab News tentang aksi massa dan faktor Syiah-Iran di Irak dan Lebanon. Di matanya, tidak sulit untuk memahami sejauh mana rezim Iran menjadi tidak populer di kedua negara itu.
“Ini tidak ada hubungannya dengan TV Al Arabiya (yang sempat diserang milisi pro Iran karena dianggap mengompori demonstrasi anti-pemerintah Irak) atau hashtag tentara elektronik (cyber army), seperti yang ditudingkan oleh pejabat rezim Iran,” tulis Al-Rashed.
Di Irak, menurut dia, tidak ada internet atau media sosial. “Pemerintah Irak telah mematikan internet untuk menyenangkan orang-orang Iran, yang berpikir bahwa gelombang penghasutan datang dari dunia maya. Namun, pemberontakan masih hidup dan berlanjut,” katanya.
Teheran juga menuding bahwa jutaan pengunjuk rasa yang membanjiri jalan-jalan di kota-kota Irak dan Lebanon, digerakkan oleh Arab Saudi dan Israel. Dlam hal ini, Iran ingin menutup telinga terhadap kecaman pengunjuk rasa terhadap pemerintahan Syiah yang telah menyebabkan kemiskinan dan dimoninasi milisi untuk menghadapi protes rakyat.
Semua milisi bersenjata di Irak berafiliasi dengan Iran atau sekutunya. Hizbullah di Libanon juga lebih kuat dari tentara nasional dan berafiliasi dengan Iran. Sebagian besar pemerintah dunia telah dipaksa untuk menahan diri dari berurusan dengan Irak dan Lebanon karena pengaruh Iran di sana.
Arab Saudi mendukung mata uang Libanon dengan menyetorkan dana ke bank sentralnya, sementara Iran menyebabkan depresiasi karena dominasi Hezbollah atas lembaga-lembaga negara. “Ini adalah fakta yang terkenal, dan orang-orang tidak membutuhkan saluran TV atau tagar untuk mengarahkan mereka ke sumber kesengsaraan mereka,” tulis Al-Rashed pula.
Di Irak, proyek Iran mengandalkan penguasaan institusi negara: parlemen, partai-partai politik, dan angkatan bersenjata dipaksa untuk menggabungkan milisi Iran. Jadi, situasinya memburuk dan orang-orang akkhirnya berinisiatif bangkit di Irak, bukan sebagai Sunni melawan Syiah, atau sebagai satu pihak melawan yang lain.
Pemberontakan itu tidak dipimpin oleh sisa-sisa Partai Baath yang berjaya di masa rezim Saddam Husein, tidak mengangkat bendera hitam ISIS, dan Amerika tidak berminat mendukungnya. Pemberontakan Irak adalah murni damai dan patriotik, meskipun media Iran berusaha menggambarkannya sebagai orang asing. Spektrumnya luas dan tuntutannya membantah tuduhan mereka.
Protes damai telah terjadi di Baghdad, Basra, Karbala, Najaf, dan bagian lain Irak. Sebagian besar daerah itu dipimpin gubernur dan memiliki penduduk mayoritas Syiah. Mereka menuntut diakhirinya korupsi, peningkatan kinerja pemerintah, serta penghapusan milisi bersenjata dan pengaruh Iran.
Mereka menyerukan kemerdekaan Irak dan identitasnya. Tapi, Iran masih bersikeras mengancam akan menghancurkan segala sesuatu di atas kepala 30 juta warga Irak jika mereka menghalangi proyeknya untuk memerintah dan mengendalikan negara itu.
Di Lebanon, gerakan ini memiliki fitur serupa. Protes menentang korupsi, mafia politik, dan sektarianisme pemerintah. Protes besar-besaran tidak hanya terjadi di Beirut, tetapi juga Sunni Tripoli dan Syiah Nabatieh dan Baalbek.
Para pemrotes Kristen menuntut pemecatan para menteri Kristen yang korup. Sementara Sunni adalah yang pertama menuntut pengunduran diri PM Saad Hariri, dan banyak ulama Syiah menyatakan penolakan mereka terhadap Hizbullah.
Situasi ekonomi yang buruk telah membebani kesabaran orang dan membuat mereka memecah keheningan. “Kita tahu bahwa, dalam hal senjata, keseimbangan kekutan tidak berada di pihak para pemerotes. Tetapi tekad, tekad, dan dukungan publik bagi mereka yang besar akan membawa perubahan – atau setidaknya pesan mereka telah diterima,” tandas Al-Rashed.
Dari bencana politik di Irak dan Lebanon, penting bagi negara mayoritas Muslim lain khususnya, untuk senantiasa membunyikan alarm: tanda bahaya bagi geliat hegemoni kaum Syiah!