Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan, ada lima pondasi Islam berkemajuan yang menjadi karakter Muhammadiyah. Pandangan ini terinspirasi dari tulisan Kyai Syuja’, murid KH Ahmad Dahlan yang menuliskan dalam buku tentang Islam Berkemajuan. Buku yang mengisahkan perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah masa awal. Buku ini diterbitkan oleh al-Wasath. Pandangan Abdul Mu’ti ini, dituangkan pada bagian pengantar buku tersebut.
Kelima pondasi itu adalah, tauhid yang murni; memahami Al-Qur’an dan sunah secara mendalam; melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif; berorientasi kekinian dan masa depan; dan bersikap toleran, moderat dan suka bekerjasama.
Tentang tauhid, sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya. Sementara bagian memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara mendalam juga sudah dibahas. Dibagian ketiga, tentang melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif sudah dituangkan. Pada bagian ini, akan diulas tentang berorientasi kekinian dan masa depan.
Kekinian dan masa depan
Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah romantisme masa lalu yang berlebihan. Tidak ada keraguan bahwa kaum Muslim telah berhasil mencapai kejayaan melalui karya-karya yang mengagumkan. Intelektual Muslim masa Pertengahan, mampu menyusun karya-karya cemerlang yang menyinari dunia dan menuntun masyarakat Barat yang masih hidup dalam gelap gulita. Tetapi, mengagungkan masa lalu yang sudah terkubur oleh waktu bisa menjadi “candu” yang membuat kita mabok dengan impian semu dan nostalgia yang meninabobokkan.
Menurut Syafii Maarif (2009), prestasi gemilang itu milik para intelektual dan tokoh yang menciptakannya, bukan milik kita serakangini. Umat Islam perlu bersikap realistis terhadap keadaannya masa kini.
Para pendiri Muhammadiyah memberikan contoh, bagaimana membangun Islam yang berkemajuan. Pertama, melihat Islam sebagai realitas kekinian dan kedisinian. Kedua, menjadikan realitas, konteks situasi dan kondisi untuk merancang masa depan yang lebih baik. Islam yang demikian, meminjam istilah ilmu Nahwu, disebut “Islam mudhari”: amal yang dikerjakan sekarang dan masa depan.
Peristiwa yang oleh Kyai Syuja’ disebut sebagai: “Hari Malam yang Mengandung Berkat dari pada Allah dan Hari yang bersejarah Bagi Muhammadiyah” menunjukkan secara jelas bagaiaman model Islam yang berkemajuan.
Bidang Hoofdbestuur
Pada tangga l17 Juni 1920, Kyai Dahlan untuk pertamakalinya meresmikan bagian atau bidang-bidang dalam Hoofdbestuur Muhammadiyah. Dalam rapat yang dihadiri sekitar 200 orang anggota dan simpatisan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bertanya tentang program-program yang akan dilaksanakan oleh masing-masing ketua bagian.
Kyai Hisyam, ketua Bagian Sekolahan (ppengajaran). Ia berencana memajukan kegiatan pendidikan dan pengajaran, mendirin universitas Muhammadiyah ebagai sarana mencetak sarjana-sarjana dan mahaguru-mahaguru Muhammadiyah untuk kepentingan umat Islam pada umumnya, dan Muhammadiyah pada khsususnya.
Selanjutnya, Kyai Fakhruddin, ketua Bagian Tabligh. Dihadapan peserta dan pimpinan rapat, Kyai Fakhruddin bertekad untuk mengembangkan dakwah Islam dengan membangun mushollah dan masjid sebagai pusat pendidikan dan ibadah, menyelenggarakan madrasah muballiighin, dan pondok moderen. Tujuannya, untuk mencetak ulama yang ulung, moderen dan terpelajar sebagai pembimbing umat yang mampu memancarkan cahaya Islam sebagai penerang semesta alam.
Senada dengan Kyai Fakhruddin, ketua Bagian Taman Pustaka, Kyai Mukhtar, juga menyampaikan program yang berorientasi jauh ke masa depan. Kyai Mukhtar berusaha menerbitkan selebaran (leaflet, buletin) dan majalah keislaman periodik. Majalah ini, didistribukan secara gratis, berlangganan atau dijual bebas dengan harga murah. Publikasi keislaman tersebut dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami. Bagian Taman Pustaka juga berusaha menerbitkan buku bacaan keagamaan dan umum serta mendirikan Taman Pembacaan (perpustakaan) sebagai pusat kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Rancanagn program yang tidak kalah progresif disampaikan Kyai Syuja’ selaku ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Umum. Kyai Syuja’ bercita-cita mendirikan ziekenhuis (rumah sakit), armenhuis (rumah miskin), dan weeshuis (panti asuhan).
Berbeda dengan ketiga bagian yang program-programnya disambut dengan tepuk tangan riuh, ketika Kyai Syuja’ menyampaikan program Bagian Penolong Kesengsaraan Umum, para peserta rapat ragu-ragu, sebagian bahkan menertawakan. Menyadari respon “dingin” para peserta, Kyai Syuja’ dengan berapi-api menyampaikan argumen dan tekadnya dengan dalil-dalil naqli (Al-Qur’an) dan aqli (logis, rasional). Jika orang bukan Islam bisa membangung rumah sakit, rumah miskin dan panti asuhan, mengapa umat Islam tidak bisa? Hum rijal wa nahnu rijal.
Dari pemaparan program para ketua bagian tersebut, tergambar jelas bagaimana para pendiri Muhammadiyah berfikir jauh ke masa depan. Pada saat masyarakat dan umat Islam masih hidup dalam gelap gulita kebodohan, kejumudan, takhayul dan mistisisme, para pemimpin Muhammadiyah tampil cemerlang dengan ide-ide, cita-cita dan langkah konkrit yangmencerahkan.
Bisa dimaklumi, jika para peserta rapat menertawakan “ide gila” Kyai Syuja’, yang ingin membangun ziekenhuis, armenhuis dan weeshuis. Selain disampaikan dengan bahasa Belanda yang asing, gagasan programmnya juga terkesan ambisius, seolah mustahil diwujudkan. Menawarkan ide mendirikan ziekenhuis pada saat masyarakat masih berobat secara primitif kepada dukun dan menolak dokter karena dianggap kafir, memang tidak mudah. tetapi, dengan tekad yangkuat, para pendiri Muhammadiyah bisa mewujudkan seluruh impian dan cita-cita mereka. Jasad mereka terbaring tak berdaya di makam. Tetapi, jiwa mereka tersenyum bahagia, ruh mereka berdiri tegak karena amal jariyah semasa hayat membuat mereka meraih pahal yang tidak pernah terputus dari sisi Allah SWT.
Pada masanya, para pendiri Muhammadiyah tidak mampu membangun sarana fisik mewah. Semua serba sederhana. Tetapi, dari kesederhanaan fisik itu terpancar semangat yang membara. Kini Muhammadiyah memiliki gedung-gedung amal usahayangmenjulang dan kokoh.
Sayang sekali, spirit sebagian (kecil?) pimpinnan, pengelola dan “pekerja” di amal usaha tidak sekuat dan sekokoh gedung-gedngnya. Bahkan, sebagianmereka telah kehilangan ruh, jiwanya rapuh. Orientasi duniawi dan kekuasaan kadang membuat mereka tega mengais-ngais harta dan hafsu berkuasa, tidak hanya di amal usaha yangkaya raya, bahkan diantara amal usaha yang ringkih, berjalan tertatih-tatih mempertahankan hidup.
Penulis: Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.,/Sekretaris Umum PP Muhammadiyah