28.2 C
Jakarta

Menjaga Marwah dan Khittah Organisasi (3)

Baca Juga:

Prinsip-prinsip dasar dalam musyawarah seperti al-Musawah (keseteraan), al-‘Adalah (keadilan), al-Ukhuwah (persaudaraan), al-Ta’addudiyah (pluralitas), as-Silm (perdamaian), al-Masuliyah (pertanggungjawaban), dan Muhasabah (Otokritik). Prinsip-prinsip dasar ini haruslah ada dalam seluruh mekanisme Permusyawaratan dalam organisasi Islam.

Jika dalam konteks melahirkan pemimpin baru, maka sosoknya adalah sosok yang lahir bukan karena kebetulan. Sosok tersebut haruslah lahir dari melalui seluruh mekanisme perkaderan yang ada dan disepakati. Hal tersebut sebagai antisipasi sosok pemimpin yang lahir prematur berakibat pada tidak memahami dengan utuh nilai dasar, etika, dan identitas organisasi. Selain itu, teknis memilih pemimpin juga harus mengedepankan kejujuran sebagai akhlak yang lahir atas norma keadilan. Jauh dari praktik atau siyasah penuh dengan kecurangan, siyasah dagang sapi, apalagi sampai jatuh kepada risywah (politik uang). Karena kepemimpinan adalah ditawarkan, bukan diperebutkan.

Jika dalam konteks evaluasi/muhasabah maka seluruhnya dipersiapkan dan disampaikan dengan baik agar pertanggungjawaban menjadi jelas. Hal tersebut dilakukan karena sangat erat kaitannya dengan orang banyak. Transparansi adalah mutlak dalam sebuah gerakan organisasi. Karena hal tersebut terkait dengan tingkat kepercayaan orang banyak. Hal ini berkaitan dengan norma pertanggungjawaban. Tentu, jangan sampai akhirnya, semakin berat tanggung jawab di akhirat.

Ukhuwah dikedepankan sebagai pondasi silaturahim. Berfastabiqul khairats mengadu gagasan dan ide terbaik. Bukan dengan saling menafikan dan menjatuhkan baik di hadapan atau dibelakang. Keberanian dalam dialog untuk mengasah argumentasi sebagai pemicu dan pemacu untuk mengisi kepala dan keimanan yang lebih intens. praktik-praktik tuna moral akan mengakibatkan pembelahan dan rusaknya keguyuban atau ikatan berjama’ah dalam ukhuwah.

Egaliter dalam musyawarah menjadi bagian dari norma kesetaraan. Semua memiliki hak yang sama dalam musyawarah. Namun tidak kalah pentingnya adalah semua memiliki kewajiban yang sama sebagai musyawirun. Memiliki hak dalam berpendapat, bersuara, dan memilih adalah mutlak. Tapi perlu dipahami bahwa segala pilihan harusnya mempertimbangkan kemaslahatan (utility). Bagi manusia beriman, kemaslahatan (utility) haruslah menghadirkan kemuliaan dunia dan akhirat. Maka bertanggung jawab atas pilihan dan memilih yang mau bertanggung jawab adalah mutlak.

Merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah bagi manusia beriman adalah keniscayaan. Beberapa hal di atas yang telah dijabarkan merupakan ijtihad sebagai etika dalam menggerakkan organisasi. Upaya sungguh-sungguh telah dilakukan oleh para pendahulu. Pikiran mereka melampaui zamannya agar organisasi terjaga sebagai alat dakwah dalam rangka memuliakan Islam, kaum muslimin, dan kemanusiaan. Maka menyelisihi norma dasar dan berbagai hal yang telah dilahirkan dari proses dialog dalam ijtihad adalah pengkhianatan terhadap keluhuran akal, budi, dan ijtihad para pendahulu.

Jangan sampai organisasi Islam sebagai alat dakwah hanya dijadikan alat kekuasaan dunia, kepentingan dunia, kepentingan kelompok, kepentingan pribadi, atau batu loncatan karir yang bersifat temporer bahkan penuh dengan fitnah dan tipuan. Apalagi hal tersebut dilakukan dengan sampai menjual integritas, marwah dan khittah organisasi. Seolah prilaku tersebut layaknya para penjaja cinta yang tuna adab dan moral. Bagaimana mungkin akan berperan dalam memecahkan persoalan negara dan bangsa, sementara di rumah sendiri berantakan dan penuh kotoran yang sulit dibersihkan karena memang sengaja dihadirkan. Semoga Allah melindungi dan melimpahkan Rahmat kepada gerakan Islam. Wallahu a’lam

Penulis: Dani Putra/Ketua PDPM Kota Depok

Sebelumnya: 1 2 <

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!