25 C
Jakarta

Seminar Pajak Institut STIAMI, Bahas Tantangan Perpajakan Pada Era Digital

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Era digital membawa tantangan tersendiri bagi pembangunan dibidang perpajakan di Indonesia. Tak hanya membawa konsekuensi administratif, era digital juga mengubah dan menambah obyek maupun subyek pajak mulai dari munculnya e-commerce, uang digital, perusahaan start up, perusahaan berbasis IT dan lainnya.

Sayangnya regulasi yang berlaku masih belum mampu mengakomodir kepentingan pajak di era digital. Regulasi yang berlaku masih bersifat tradisional sementara bidang garapan sudah modern.

Persoalan tersebut muncul pada seminar nasional perpajakan yang digelar Program Pascasarjana Institut STIAMI, Sabtu (18/1/2020). Seminar dengan tema Kebijakan & Potensi Tantangan Reformasi Perpajakan 2020-2024 tersebut mengetengahkan 23 paper dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak mewakili Dirjen Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo saat menjadi pembicara kunci memberikan apresiasi kepada Institut STIAMI yang secara aktif berkontribusi besar pada pembangunan bidang pajak di Indonesia, baik melalui edukasi, sosialisasi maupun seminar dan diskusi.

“Masukan terkait kebijakan perpajakan di Indonesia sangat penting, dan kami berharap Institut STIAMI terus melakukannya,” kata Yon.

Sebab bagaimanapun juga pajak sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan di Indonesia, hingga saat ini belum secara optimal digarap potensinya. Berbagai masalah timbul baik itu bersifat administrative maupun aplikasi di lapangan. Baik terkait subyek pajak, obyek pajak, tingkat kepatuhan pajak, maupun persoalan kebijakan dan regulasi penarikan pajak.

Terlebih pada era digital, dimana industry e-commerce tumbuh sangat pesat dan transaksi online makin mendominasi pasar keuangan. Dibutuhkan strategi dan inovasi khusus untuk membuat pajak pada era digital seperti ini bisa lebih dioptimalkan.

“Adaptasi terhadap perkembangan teknologi, perkembangan subyek maupun obyek pajak harus terus menerus dilakukan dan itu membutuhkan peran para akademisi,” tambah Yon.

Diakui dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dalam bidang perpajakan. Dari segi penerimaan, terjadi peningkatan dari Rp570 triliun pada 2009, menjadi Rp1.332 triliun pada akhir 2019. Lalu dari segi jumlah subyek (pembayar) pajak, juga terjadi peningkatan dari 4 juta menjadi 45 juta pembayar pajak.

Meski terjadi peningkatan baik dari segi penerimaan maupun jumlah pembayar pajak, diakui Yon, masih perlu dilakukan inovasi-inovasi untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Banyak kegiatan bisnis yang semestinya sudah dikenakan pajak, nyatanya belum bisa dilakukan akibat terbentur regulasi maupun strategi.

Senada juga dikemukakan Prof. Dr. Haula Rosdiana M.Si, Guru Besar Kebijakan Perpajakan, FIA Universitas Indonesia. Ia menyebutkan bahwa digital ekonomi disatu sisi menciptakan perkembangan bisnis yang luar biasa, karena terjadi efisiensi diberbagai lini, munculnya lapangan kerja baru serta muncul pula peluang baru.

“Potensi ekonomi digital tidak perlu diragukan, sangat besar dan Indonesia menduduki peringkat pertama perkembangan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara,” kata Prof Haula.

Hanya saja, ekonomi digital ini membawa sisi negative seperti menciptakan gab yang cukup lebar, karena hingga sekarang ekonomi digital masih berpusat di sekitaran Jabodetabek. Selain itu dari sisi perpajakan, potensi ekonomi digital belum bisa digarap optimal.

Unsur pimpinan Institut STIAMI dan para pembicara seminar nasional perpajakan berfoto bersama

“Regulasinya masih tradisional sementara bidang garapan pajak sudah berkembang pesat,” tukas Prof Haula.

Sementara itu Direktur Pascasarjana Institut STIAMI Dr Taufan Maulamin menjelaskan seminar nasional kali ini melibatkan 23 paper perpajakan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Yakni dari Universitas Indonesia, STAN, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Surakarta,  Institut STIAMI, STIE Tri Bhakti, Universitas Padjajaran, dan Institut Agama Islam Az-Zaytun Indonesia.

“Mengapa disebut seminar nasional, karena melibatkan paper dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia,” kata Taufan.

Seminar nasional perpajakan tersebut menjadi agenda rutin tahunan Institut STIAMI, sebagai bagian dari upaya memberikan kontribusi kepada pemerintah dibidang perpajakan. Karena itu dari seminar tersebut diharapkan lahir rekomendasi-rekomendasi penting yang akan diserahkan kepada pemerintah.

Selain Prof. Haula, seminar nasional tersebut juga menghadirkan pembicara Dr Machfud Sidik, M.Sc, Dosen Program Pascasarjana Institut STIAMI dan Fahmi Shahab dari KADIN. Seminar dihadiri Rektor Institut STIAMI Dr Ir Panji Hendrarso, pengurus Yayasan Ilomata dan dosen Institut STIAMI.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!