Polisi Sabun
Bertanya kepada masyarakat untuk memilih antara privasi atau kesehatan, nyatanya, merupakan akar masalah. Karena hanya memilih salah satu bisa menjadi pilihan yang salah. Kita bisa dan seharusnya menikmati keduanya, antara privasi dan kesehatan. Kita bisa memilih melindungi kesehatan kita dan menghentikan epidemik virus corona dengan tidak mendukung upaya pengawasan rezim totaliter, tetapi mendukung pemberdayaan warga sipil. Minggu-minggu ini, upaya yang dianggap sukses melawan epidemik virus corona dilakukan Korea Selatan, Vietnam dan Singapura. Tidak hanya menerapkan aplikasi yang bisa melacak, negara-negara tersebut juga menerapkan pengujian ekstensif, laporan kredibel, dan keinginan kooperatif dalam memberikan informasi publik.
Pengawasan yang terpusat dan hukuman keras bukan satu-satunya cara agar masyarakat mematuhi peraturan. Ketika masyarakat mendapatkan informasi berbasis data sains, atau pada saat masyarakat mendapatkan informasi dari otoritas publik terpercaya, masyarakat bisa bereaksi dengan melakukan hal yang benar tanpa harus tergantung pada pengawasan “Big Brother”. Motivasi diri dan informasi yang sahih biasanya jauh lebih powerfull dan efektif daripada populasi awam yang diawasi.
Sebagai contoh, bayangkan Anda mencuci tangan dengan sabun. Mencuci sabun menjadi pengalaman luar biasa bagi sejarah kesehatan manusia. Kegiatan simpel ini menyelamatkan jutaan manusia setiap tahun. Sementara kita menerima begitu saja, padahal ilmuwan pada abad 19 telah menemukan pentingnya mencuci tangan dengan sabun. Sebelumnya, dokter dan perawat meneruskan kegiatan satu operasi ke operasi lainnya tanpa cuci tangan. Hari ini, miliaran orang mencuci tangan setiap hari, bukan karena takut dengan polisi sabun, tapi lebih karena mereka paham dengan kenyataan manfaatnya. Saya mencuci tangan dengan sabun karena saya telah mendengar tentang virus dan bakteri. Saya paham mikroorganisme ini menyebabkan penyakit, dan saya paham sabun bisa menyingkirkan mereka.
Namun, untuk mencapai tingkat kepatuhan dan kerja sama seperti itu, Anda membutuhkan kepercayaan. Masyarakat harus mempercayai pengetahuan, otoritas publik dan media. Selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan terhadap sains, otoritas publik, dan media. Sekarang, para politisi yang hampir mirip mungkin tergoda untuk mengambil jalan besar menuju otoritarianisme, dengan alasan bahwa Anda tidak dapat mempercayai publik untuk melakukan hal yang benar.
Normalnya, kepercayaan yang telah terkikis selama bertahun-tahun tidak dapat dibangun kembali dalam semalam. Tapi, sekarang-sekarang ini bukan lah masa-masa normal. Pada saat krisis, pikiran mudah berubah dengan cepat. Anda dapat bertengkar sengit dengan saudara kandung Anda selama bertahun-tahun, tetapi ketika terjadi keadaan darurat, Anda tiba-tiba menemukan tempat tersembunyi yang di dalamnya ada kepercayaan dan persahabatan, dan Anda bergegas untuk saling membantu.
Daripada membangun pengawasan rezim, belum terlambat untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sains, otoritas publik dan media. Kita harus menggunakan teknologi juga, tapi teknologi yang memberdayakan warga. Sepenuhnya, saya memonitor suhu badan dan tekanan darah, tapi data yang dihasilkan tidak diserahkan sepenuhnya untuk melahirkan Pemerintah yang berkuasa absolut. Tetapi lebih pada memberikan pilihan informasi alternatif, dan juga mendesak pertanggungjawaban keputusan-keputusan Pemerintah.
Jika saya mampu memantau kondisi kesehatan selama 24 jam, saya tidak hanya memberi kontribusi akan bahaya kesehatan bagi orang lain, namun juga kebiasaan-kebiasan apa saja yang berpengaruh pada kesehatan saya. Ketika saya mampu mengakses dan menganalisa data statistik sebaran virus corona, saya bisa menilai apakah Pemerintah memberi informasi yang benar dan apakah sudah sesuai kebijakan yang diambil untuk memerangi epidemik ini. Manakala masyarakat membicarakan tentang pengawasan, pastikan teknologi yang digunakan tidak hanya membuat Pemerintah memantau individu warga, tapi sebaliknya warga pun bisa memantau kinerja Pemerintah.
Epidemik virus corona ini telah menjadi ujian besar bagi kewarganegaraan. Hari-hari ke depan, setiap kita harus memilih data sains dan pakar kesehatan ketimbang teori konspirasi ataupun politisi yang memiliki kepentingan pribadi. Jika gagal memilih, bisa saja kita mendapatkan diri kita terlepas dari kebebasan yang berharga, sembari berpikir apa yang disodorkan Pemerintah menjadi satu-satunya cara terbaik menjaga kesehatan.
Kita membutuhkan Rencana Global
Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasional dan solidaritas global. Persoalan global saat ini adalah epidemik virus corona dan krisis ekonomi. Keduanya bisa diatasi secara efektif dengan kerja sama global.
Paling utama, kita membutuhkan informasi global yang tentunya untuk mengalahkan virus. Ini tantangan besar manusia atas virus. Corona di Cina tidak bisa bertukar kiat dengan virus corona di Amerika tentang bagaimana cara menginfeksi manusia. Tapi yang bisa dilakukan Cina adalah mengajarkan Amerika beberapa hal berharga tentang corona virus dan bagaimana mengatasinya. Apa yang ditemukan seorang dokter Italia di Milan di pagi hari mungkin bisa menyelamatkan nyawa di Teheran pada malam hari. Ketika pemerintah Inggris ragu-ragu antara beberapa kebijakan, itu bisa mendapatkan saran dari Korea yang telah menghadapi dilema yang sama sebulan lalu. Tetapi agar ini terjadi, kita membutuhkan semangat kerja sama dan kepercayaan global.
Secara terbuka dan penuh kerendahan hati, negara-negara harus mau berbagi informasi dan mencari saran, sekaligus mempercayai data dan wawasan yang mereka terima. Kita juga butuh upaya global dalam memproduksi dan mendistribusikan peralatan medis. Yang paling utama adalah alat uji dan mesin respirator. Meski setiap negara melakukannya dalam skala lokal dan menimbun peralatan kesehatan apapun yang didapat, upaya global terkoordinasi akan mampu mempercepat produksi dan memastikan distribusi peralatan keselamatan berjalan secara merata. Sama seperti negara-negara menasionalisasi industri-industri utama selama perang, perang manusia melawan virus corona mungkin mengharuskan kita untuk “memanusiakan” jalur produksi yang penting. Negara kaya dengan sedikit kasus virus korona harus bersedia mengirim peralatan berharga ke negara yang lebih miskin dengan banyak kasus, percaya bahwa jika dan ketika kemudian membutuhkan bantuan, negara-negara lain akan datang membantu.
Kita bisa mempertimbangkan upaya global untuk mengumpulkan tenaga medis. Negara-negara yang saat ini kurang terkena dampak dapat mengirim staf medis ke daerah yang paling parah, baik untuk membantu mereka pada saat dibutuhkan, dan untuk mendapatkan pengalaman berharga. Jika nanti fokus epidemi berubah, bantuan bisa mulai mengalir ke arah yang berlawanan.
Kerjasama global juga sangat dibutuhkan di bidang ekonomi. Mengingat sifat global ekonomi dan rantai pasokan, jika masing-masing pemerintah melakukan hal sendiri dengan mengabaikan yang lain, hasilnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin dalam. Kita membutuhkan rencana aksi global, dan kita membutuhkannya dengan cepat.
Persyaratan lain adalah mencapai kesepakatan global tentang perjalanan. Menangguhkan semua perjalanan internasional selama berbulan-bulan akan menyebabkan kesulitan yang luar biasa, dan menghambat perang melawan coronavirus. Negara-negara perlu bekerja sama untuk mengecualikan pengunjung untuk melintasi perbatasan, seperti ilmuwan, dokter, jurnalis, politisi, pengusaha. Ini dapat dilakukan dengan mencapai kesepakatan global tentang pembatasan kunjungan oleh negara asal mereka. Jika Anda tahu bahwa hanya pelancong selektif yang diizinkan di pesawat, Anda akan lebih bersedia menerimanya ke negara Anda.
Sayangnya, negara-negara tidak menerapkan kebijakan tersebut saat ini. Kelumpuhan kolektif telah mencengkeram komunitas internasional. Tampaknya tidak ada orang yang secara matang dan bertanggung jawab mengatasi masalah ini. Tadinya kita berharap mendapatkan kebijakan aksi bersama dari pertemuan darurat para pemimpin global minggu-minggu lalu. Pemimpin G7 melakuka video konferensi jarak jauh hanya minggu ini, dan masih tidak menghasilkan rencana apa-apa.
Pada krisis global sebelumnya, seperti krisis keuangan 2008 dan epidemi Ebola 2014, Amerika mengambil peran sebagai pemimpin global. Tetapi, saat ini pemerintahan AS telah menurunkan posisi pemimpin. Sangat jelas, Pemerintah AS peduli tentang kebesaran Amerika semata, jauh lebih daripada memikirkan masa depan manusia.
Pejabat-pejabat Pemerintah AS telah ditinggalkan, bahkan oleh sekutu terdekatnya. Saat mereka melarang seluruh kedatangan dari UE, mereka merasa tidak perlu repot untuk memberikan keterangan lebih lanjut kepada UE — terlebih berkonsultasi dengan UE terkait tindakan itu. Mereka telah berskandal dengan Jerman dengan dugaan penawaran sebesar $1bn kepada perusahaan farmasi Jerman untuk membeli hak monopoli vaksin Covid-19 . Bahkan apabila jajaran hari ini mengubah taktik dan menghadirkan rencana aksi, hanya sedikit yang akan mengikuti pemimpin yang tidak bertanggungjawab, yang tidak pernah mengakui kesalahan, dan yang selalu berusaha meraup reputasi sambil mempersalahkan pihak lainnya.
Apabila lubang yang ditinggal AS tidak diisi oleh negara lain, bukan hanya akan jauh lebih sulit menghadapi epidemi, tetapi juga warisan itu akan terus meracuni hubungan internasional tahun-tahun berikutnya . Akan tetapi setiap krisis juga adalah peluang. Kita harus berharap bahwa epidemi ini akan membuat umat manusia sadar bahaya akut dari perpecahan.
Umat manusia harus membuat pilihan. Apakah kita akan berjalan menurun menuju perpecahan, atau apakah kita akan memilih jalur solidaritas global? Apabila kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tapi juga mungkin akan melahirkan bencana yang lebih buruk di masa mendatang. Apabila kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tak hanya terhadap virus korona, tapi juga terhadap seluruh epidemi dan krisis yang mungkin menimpa umat manusia di abad 21. (*)
Prof. Yuval Noah Harari adalah penulis sejumlah buku best seller A Brief History of Humankind, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, and 21 Lessons for the 21st Century.
Diterjemahkan oleh Mohamad Fadhilah Zein