Oleh Ashari, SIP*
Namanya masalah bisa datang kepada siapa saja. Tidak peduli rakyat atau pejabat. Ustadz atau tukang maksiat. Hanya memang kadarnya berbeda dan cara mencari solusi atau jalan keluar sering tidak sama. Artinya, ada yang diberi ujian masalah atau musibah masuk penjara, namun tidak sedikit yang dengan masalah tersebut mengantarkan masuk ke istana. Masalah bisa sama, namun menyikapinya bisa berbeda. Semua terjadi karena masing-masing orang memandang masalah dengan “angle” atau sudut padang yang tidak sama.
Saya termasuk salah satunya yang hampir masuk jurang penjara. Karena merasa masalah begitu berat menghimpit, seolah tidak ada celah untuk keluar dari lobang persoalan. Gelap. Pekat. Padahal kalau kita sedang sharing dengan teman-teman yang lain, ternyata yang mempunyai masalah dengan kadar lebih parah masih banyak. Artinya bukan kita sendiri yang mempunyai masalah. Banyak temannya. Pikiran ini ternyata penting. Bahwa kita tidak sendiri, membuat hati tidak mengalami distorsi dan destruksi. Bangkit. Recovery.
Entah setan mana yang menyelinap dalam hati ini, sehingga ada keinginan untuk meninggalkan keluarga. Padahal saya sudah dikaruniai dua anak, laki-laki. Perasaan setiap pulang bekerja tidak betah. Rumah terasa panas. Sering cekcok dengan istri untuk hal-hal sepele, yang kalau itu saya ingat sekarang betapa lucunya. Hanya karena pulang tidak ada makanan, saya mudah marah. Padahal saya bisa beli di luar, mengingat istri juga tidak menganggur. Itulah peristiwa 4 tahun lalu, membuat hati ini menjadi super sensi.
Orang-orang di sekitar tempat kerja tidak banyak yang tahu dengan perubahan sikap saya di rumah. Karena di tempat kerja, saya kelihatan manis-manis saja. Tidak banyak mengalami perubahan. Justru saat di rumah, perangai ramah, santun, sayang anak istri digerogoti ego yang membabi buta. Padahal belum lama saya beribadah haji. Sempat terpikir, apa ada yang salah dengan haji saya? Tidak soal beanya yang cukup mahal, tetapi mengapa rukun islam ke-5 ini tidak mampu mengubah perilaku. Justru semacam kontra produktif. Dulu saya dikenal, penyabar, penyayang, namun tidak lama berselang menjadi pribadi yang angkuh dan tidak sayang kepada keluarga.
Keinginan untuk pergi dari tanggungjawab berkeluarga ini berlangsung cukup lama, hampir 4 tahun. Sebenarnya secara sadar ini menyiksa diri, menyiksa hati. Namun setiap akan kembali kepada keluarga, selalu saja dihadapkan dengan persoalan baru dengan istri dan anak. Orang menilai saya tidak bisa bersyukur, hanya karena anak lahir tidak normal, kena Down Syndrom, kemudian saya bersikap ngawur. Sehingga berakibat tidak kerasan di rumah. Di rumah dihabiskan untuk tidur, dengan alasan capek bekerja. Sementara anak istri butuh kebersamaan, saya melalaikannya.
Sebenarnya dalam hati masih tetap sayang kepada anak istri, namun setiap hati ini akan kembali seolah ada tabir yang menghalanginya. Sampai-sampai kami, keluarga bertanya kepada seorang ustadz senior tentang menurunnya kualitas iman ini. Ada apa ini? Ada yang usul, saya dirukyah? Saya siap saja.
Waktu terus berlalu, sehingga orang tua kami masing-masing tahu, kalau kami sering cekcok, dengan alasan yang tidak jelas. Istri mengatakan, saya sudah tidak sayang lagi, pulang kerja sudah larut petang, sampai di rumah seperlunya, habis isya, tidur. Seolah sudah tidak ada gunanya saya ini. Yang kasihan, anak-anak, yang waktu itu mulai berangkat remaja agak terganggu psikologisnya, karena di depan mata kepala sendiri, sering mereka melihat kami sering bertengkar. Bahkan tidak jarang, anak-anak kami yang melerainya dengan bahasa mereka.
Anak sulung, kala itu SMPLB kelas tujuh. Memang tidak begitu bisa memahimi pertengkaran kami, namun dengan bahasa yang tidak jelas, dia ingin agar kami tidak sering bertengkar. “Bapak akali ibuk,” katanya. Yang saya tangkap, bapak nakali ibu. Kalau ingat anak-anak, hati saya menjadi luluh. Lungset.
Namun yang kemudian membuat hati dan jiwa ini bergetar adalah ibu mengetahui perubahan perilaku dari cerita istri. Saya tidak bisa banyak mengelak. Benar saya mengabaikan kewajiban sebagai seorang suami yang baik. Saya menangis. Sesunggukan dalam sholat. Saya minta kepada Allah Swt untuk dikembalikan hati saya kepada keluarga. Kepada anak istri yang sudah beberapa tahun kami tinggalkan, meski tidak sepenuhnya. Mohon ditunjukkan jalan-Mu yang lurus, sebagaimana jalan yang telah engkau berikan kepada orang-orang beriman.
Bahkan dalam hati saya berjanji, akan membayar berapapun uang yang dikeluarkan, asal saya dikeluarkan dari masalah yang menyesakkan ini. Meski harus berhutang sekalipun. Hingga satu saat habis Ashar, saya teringat ceramah Ustadz Yusuf Mansyur, bahwa solusi dari masalah bisa dibeli dengan sedekah. Saya percaya adagium ini. Maka tanpa menunggu waktu lama, saya ambil uang tabungan, yang tentu istri tidak tahu, aku sedekahkan, jumlahnya untuk ukuran pegawai kecil seperti saya cukup besar. Tapi saya tidak perduli, yang saya pikirkan anak istri bisa kembali dalam pelukan kasih sayang.
Dengan terus berdoa siang malam, keajaiban terjadi, tidak menunggu berganti minggu, hanya dalam hitungan hari, perasaan sayang kepada istri mulai tumbuh, godaan untuk suka pergi keluar rumah berkurang banyak. Pekerjaan tidur saja dirumah juga berkurang. Mulai bercanda dengan keluarga. Waktu libur pergi bersama.
Kejadian-kejadian kecil ini menumbuhkan benih-benih sayang di antara kami bersemi kembali. Istri juga sudah tidak mudah lagi tersinggung dan curigaan, meskipun diakui tidak bisa hilang seratus persen. Wajar kalau saya pulang agak malam, istri bertanya, “Tumben pulang larut mas, kemana saja,” saya bilang ada relasi. Istri mulai percaya. Kepercayaan istri ini justru membuat saya tidak akan menyia-nyiakan.
Kondisi awal keluarga kami :
Hampir empat tahun kurang sedikit, seolah rumah tangga kami terombang-ambing, bagai kapal atau perahu tanpa nahkoda yang tangguh. Rumah tangga yang hampa. Tanpa makna. Namun ujian itu berlalu dengan sedekah. Kini istri malah minta nambah anak lagi, namun nampaknya Allah belum mengizinkan.
Dalam hal ini, kami menjadi yakin bahwa, anak dan rejeki benar-benar ada dalam genggaman-Nya. Manusia hanya berusaha, namun Allah yang menentukan. Sebuah dalil yang menancap kuat dalam kalbu. Keinginan menambah anak ini, bukan tanpa alasan, anak kami 2 orang, cowok semua, yang sulung terkena Down Syndrown (DS) – dalam ilmu kedokteran ciri-ciri anak kini, yang bisa terjadi 1 dari 1000 anak, pertumbuhan fisik terlambat ditambah intelegensia yang jauh dibawah rata-rata. Maka anak saya ini masuk di kelas dan sekolah luar biasa yakni SLB. Saya sendiri tidak malu, dengan kondisi ini. Justru istri yang awalnya tidak bisa menerima keadaan invalid ini. Dia seolah menggugat Allah, kenapa kami yang awal pernikahan terkesan lurus-lurus saja, mendapatkan cobaan yang berat. Sementara banyak pasangan yang sudah melakukan perbuatan tidak sepantasnya sebelum menikah, namun nyatanya lancar-lancar saja.
Gugatan istri ini saya yang mencoba menenangkan. Intinya kita harus menerima kenyataan yang sudah terjadi. Sebab, apa yang tidak kita sukai, bisa jadi Allah memberikan rahasia di balik itu yang kita belum tahu sebelumnya.
Kondisi anak pertama ini, yang lahir pada tahun 2000 bulan Juli – juga sangat menginspirasi dan menyadarkan jalan bengkok yang saya tempuh. Bagaimana mungkin saya harus menyakiti hati dan fisik dia. Meski secara intelegensia dia sedikit tertinggal dibanding teman sebaya, namun saya berkeyakinan dia mempunyai ketajaman hati yang lebih dari saya. Saya tidak ingin dia bertambah sedih dengan perilaku buruk bapaknya.
Anak kedua kami lahir tepat 8 bulan berikutnya. Tahun 2008 bulan Juli. Lahir normal dengan kecerdasan yang normal juga. Kini kelas 4 MI (SD). Kelahiran anak ke dua ini sesungguhnya makin memperkokoh hubungan keluarga kami. Karena perilaku aneh saya ini, kalau saya ingat terjadi pada awal tahun 2011. Sebab pastinya tidak tahu. Sekarang setelah sadar, saya mencoba mengurai benang kusut masalah tersebut, akarnya adalah salahnya saya menangkap pesan istri lewat peringatan-peringatan yang disampaikannya. Perasaan saya selalu salah dimatanya. Sehingga sedikit-sedikit ditegur, hingga pada puncaknya menjadi tidak betah di rumah, mencari pelampiasan di luar rumah.
Anak kedua kami, meski belum besar, waktu itu kelas I MI, namun sudah tahu kalau kami waktu itu sering bertengkar dengan alasan yang sepele. Sebenarnya istri punya niat bagus, saya tentu baru sadar itu sekarang. Misal, kebiasaan saya garuk-garuk kepala, atau maaf (pantat) sering keterusan di tempat umum. Istri menegurnya. Istri hanya tidak ingin saya dijauhi oleh teman-teman karena kebiasaan saya ini, namun saya menangkapnya beda. Istri terlalu rigid. Masalah begitu saja diurusin, pikir saya. Belum lagi, kebiasaan menguap (mengantuk) di pertemuan-pertemuan resmi, kata istri juga bisa menurunkan marwah seseorang. Namun saya menangkapnya juga lain. Saya justru sering tersinggung, jika dinasehati. Merasi harga diri sebagai suami diacak-acak-direndahkan. Memang saya tidak marah ditempat umum, namun biasanya kemarahan baru dimuntahkan kalau sudah sampai rumah.
Pertengkaran-pertengkaran yang sejatinya kalau ditarik garis lurus dan benang merah serta hati bening, sumbernya saya, sebagai suami yang tidak bisa, atau tepatnya belum bisa berfungsi dan berperan sebagai suami layaknya orang-orang. Namun karena waktu itu, hati nurani sedang dibungkus angkara dan amarah, maka nasehat istri yang sesungguhnya penuh kasih dan cinta, saya terima sebagai pisau yang merobek wajah sendiri.
Anak-anak sebagai penengah:
Kalau ingat peristiwa-peristiwa yang “rendah” dulu, memang memalukan. Kadang dalam bercermin saya sering bertanya kepada diri sendiri, “Hai, mas, bagaimana mungkin engkau bersikap kasar, culas dengan istrimu sendiri, yang ingin kamu tampil lebih baik, di mata orang lain, tidak ditinggalkan oleh komunitas dengan kebiasaan burukmu itu? Dia sudah banyak berkorban untukmu, mengandung, mengasuh anakmu, terlebih anak pertama dengan berdarah-darah, semua engkau abaikan, demi egomu sendiri.”
Anak kedua, yang relatif pintar jika dibanding kakaknya, sering tampil sebagai penengah saat kami bertengkar. Meski kata-katanya belum jelas dan pendek-pendek, karena usianya yang masih balita. “Sudah pak, buk, jangan bertengkar terus, kasihan Mas, dia ikut nangis,” kata anak saya yang kedua, waktu itu. Waktu hati masih penuh angkara, kata-kata anak yang masih suci dan murni tidak aku gubris. Pikir saya, anak kecil, apa yang kamu tahu. Sekali lagi semua karena ego dan pengaruh buruk dari hati.
Anak pertama kami yang sekarang sudah lulus SMALB, meski kemampuan kognitifnya kurang, juga tidak kalah seringnya bilang kepada saya untuk tidak menyakiti ibu.Tapi lagi-lagi saya tidak perduli. Namun anak-anak seolah tidak putus asa. Mereka terus menasehati kami, dengan bahasa mereka. Dari sorot matanya yang polos dan tajam saya melihat keinginan yang kuat agar kami akur dan tidak suka bertengkar.
Saya harus banyak belajar dari anak-anak, terutama si sulung. Ia bisa menerima takdir yang sudah digariskan Allah padanya. Tak ada tangis, protes atau apalah namanya. Kepolosan dan ketajaman hati yang dimiliki, justeru telah menyadarkan saya, betapa manusia tidak pantas sombong diri di hadapan Allah SWT.
Anak adalah amanah. Cara orang tua mendidik dan memperlakukan anak, kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT saat hari penghisaban tiba.
Untuk bisa keluar dari masalah keluarga tersebut, kuncinya memang pada keterbukaan dan niat baik. Dan satu lagi dekat dengan Allah SWT, tidak jauh-jauh dari kegiatan masjid. Allah akan membantu. Akan memberikan jalan keluar. Di samping itu juga dekat dengan orang tua. Muliakan mereka. Karena doa orang tua sangat mustajab. Diamini oleh malaikat. Saya sangat yakin dan percaya karena doa orang tua, terutama ibu, saya bisa keluar dari masalah yang menurut saya besar ini. Bahkan setelah itu, tidak berselang lama, insya Allah saya dan keluarga bisa berangkatkan istri dan ibu untuk umrah tahun 2017 ini, dengan ibu mertua dan kakak ipar. Padahal kalau hitung-hitungan gaji sering tidak cukup.
Maka, untuk kita semua, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Asal kita sungguh-sungguh kepada Allah.Siapa menolong Agama Allah, pasti kita akan ditolong oleh-Nya. (QS.Muhammad:7). Ini janji Allah, dan kalau Allah sudah berjanji tidak pernah mengingkari. Maka mulai sekarang, selalu berprasangka baik kepada keluarga, terlebih kepada Allah Swt, hidup akan lebih tenang dan insya Allah berkah.Ternyata sedekah bisa membeli solusi. Amin.
Semoga kisah ini dapat menginspirasi siapapun yang memiliki masalah dalam hidup, meski berat sekalipun. Sekian