BOGOR, MENARA62.COM – Disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) menjadi UU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menimbulkan penolakan dari berbagai pihak. Salah satunya dari aliansi mahasiswa pencinta alam (Mapala) Bogor dan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) Banten.
Sebanyak 64 mahasiswa pecinta alam yang berasal dari 15 instansi tersebut menggelar aksi penolakan Omnibus law UU Cipta Kerja pada Selasa (7/10/2020). Pada aksi yang digelar di Jembatan Leuwiliang Kabupaten Bogor, puluhan mahasiswa meneriakkan yel-yel menolak UU Cipta Kerja. Mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan “Lawan Perusakan Lingkungan Gagalkan Omnibuslaw.” Spanduk tersebut dibentangkan pada Jembatan Leuwiliang.
Dalam aksi tersebut para mahasiswa tidak berencana menemui Walikota Bogor atau jajarannya termasuk legislatif.
“Tidak ada rencana untuk pertemuan DPRD Bogor, karena ini isu nasional. Ke depannya kita akan turun ikut aksi bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) ke Senayan DPR RI,” ujar Djejen selaku koordinator lapangan.
Dalam aksi tersebut, Mapala Bogor menyampaikan 8 tuntutan. Tuntutan pertama adalah penghapusan pasal 18 UU perhutanan tentang batas minimum 30% luas kawasan hutan.
Kedua, Mapala menilai sikap anti demokratis ditunjukkan oleh UU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat. Sebelum UU kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam pasal UU Kehutanan, oleh UU CILAKA di hapus, memerluas dan memperkuat ancaman perampasan hutan adat.
Ketiga, adanya perubahan total pada pasal 49 UU kehutanan, sehingga tidak mewajibkan adanya tanggung jawab yang di bebankan pada korporasinya khususnya terhadap kebakaran di real konsesi.
Keempat, perubahan kreteria Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang semula di atur dalam pasal 23 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan sembilan (9) kriteria terkait usaha atau kegiatan wajib AMDAL di pangkas dan di gantikan hanya dengan satu kriteria saja dengan indikator abstrak yang tercatat pada pasal 23 ayat 3 UU cilaka, sehingga hal ini merupakan salah satu peluang besar bagi korporasi atau pelaku usaha besar untuk mengabaikan aspek lingkungan alam usaha. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22.
Kelima, pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35). Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis AMDAL, untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha.
Dalam penyusunan AMDAL, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah. Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai AMDAL. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.
“Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH,” tutur Djejen.
Keenam, terkait pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75. Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut. Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.
Ketujuh, perubahan pada pasal 24 ayat 5 UU PPLH mengenai perizinan yang semula di atur sebagai izin lingkungan di gantikan dengan pasal ayat 4 UU CILAKA menjadi izin berusaha, sehingga hal ini semakin mempermudah korporasi atau pelaku usaha besar dalam melakukan eksploitasi, bahkan pada tataran hukum normatif.
Dan kedelapan, Mapala melihat DPR dan Pemerintah terkesan memanfaatkan situasi pandemi yang membatasi ruang pemantau dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Hukum HAM.
“Delapan poin ini berpotensi menimbulkan ketimpangan guna mempermulus dan mengakomodir oligarki di Indonesia,” lanjut Djejen.
Karena itu Aliansi Mapala Bogor Bergerak Indonesia, yang tergabung dalam Pusat Koordinasi Nasional (PKN) dan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) mendesak DPR RI dan Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan lingkungan hidup dengan cara:
- Mencabut OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA dan menarik usulan dari oligarki.
- Presiden segera keluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) UU Cipta Kerja.
- Stop melayani korporasi.
- Stop kerusakan alam untuk keuntungan oligarki.
“Jika Omnibus law UU Cipta Kerja tetap dipaksakan, maka langkah yang akan Mapala tempuh adalah menggelar parlemen jalanan bersama buruh,” tutup Djejen.