32.9 C
Jakarta

Pontjo: Desakan Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Makin Menguat

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Amandemen UUD 1945 telah menghilangkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai haluan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan nasional selanjutnya dirancang berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004.

Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD terkait dengan “Restorasi Haluan Negara” yang diselenggarakan bersama oleh MPR, Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, dan Harian Kompas, Senin (10/11/2020).

Tetapi sayangnya dalam kurun waktu lebih dari enam belas tahun pelaksanaan SPPN, sejumlah persoalan mengemuka yang mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan dalam SPPN. Beberapa kelemahan tersebut pertama SPPN yang ada sekarang dinilai tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.

Kedua, SPPN cenderung bias terhadap agenda Eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang kekuasaan lainnya secara menyeluruh, sehingga dinilai tidak mencerminkan wujud kehendak rakyat seperti halnya GBHN.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo

Ketiga,  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 17 tahun 2007 dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah.

Keempat RPJPN secara substantif tidak memberikan arah yang jelas tentang pembangunan yang kita tuju dalam masa dua puluh tahun ke depan.

Dan kelima, karena Presiden ikut menetapkan Undang-Undang, pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional cenderung bias terhadap agenda kampanye Kepresidenan, sehingga banyak hal yang kurang mendapat perhatian.

Dengan berbagai catatan atas kelemahan SPPN tersebut, lanjut Pontjo, pembangunan nasional yang seharusnya merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan justru kerap kali membuat agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal mendesak berjangka pendek yang seringkali bersifat tambal-sulam, dengan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental yang berjangka panjang. Pengabaian hal-hal fundamental itulah sesungguhnya yang menjadi biang kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan kita yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial.

“Barangkali karena sejumlah catatan kelemahan dan kekurangan dari SPPN tersebut, muncullah berbagai pemikiran dan desakan untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional kita,” jelasnya.

Bahkan diakui ada arus sangat kuat yang menghendaki untuk kembali menggunakan “model GBHN” seperti pernah berlaku dalam sistem perencanaan pembangunan kita di masa lalu.

Untuk mengkaji lebih dalam tentang kemungkinan restorasi “Haluan Negara”, Aliansi Kebangsaan diakui Pontjo pernah menyelenggarakan konvensi Nasional Halua Negara pada tahun 2016 yang dihadiri berbagai kalangan dan tokoh bangsa, serta FGD Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2019 yang lalu. Selain itu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak 2013, beberapa kali merekomendasikan revitalisasi GBHN atau model lain haluan negara. Bahkan Forum Rektor Indonesia sudah melangkah jauh dengan menyusun Kajian Akademik GBHN yang sudah diserahkan kepada MPR.

Pontjo mengingatkan bahwa Rencana Pembangunan Nasional adalah instrumen untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yang diperjuangkan dan dirumuskan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 yaitu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu, apapun pilihan model perencanaan pembangunan yang kita anggap paling sesuai bagi Indonesia, maka harus menjamin bahwa pembangunan nasional yang kita laksanakan merupakan gerak berkelanjutan menuju pencapaian cita-cita nasional kita tersebut. Perencanaan Pembangunan Nasional harus mampu merancang pembangunan nasional yang menghadirkan kemerdekaan, ke-bersatu-an, keberdaulat-an, keadilan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia.

“Kalau kita dalami alam pemikiran para pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental, yaitu: Pancasila sebagai falsafah dasar, Konstitusi sebagai hukum/norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar,” tukas Pontjo.

Wujudkan konsepsi negara kekeluargaan

Haluan Negara menurut Pontjo memiliki fungsi penting untuk mewujudkan konsepsi negara kekeluargaan dan kesejahteraan dalam masyarakat kita yang majemuk. Dalam konsep Negara kekeluargaan, tentu pembangunan nasional harus dilaksanakan berdasarkan semangat kekeluargaan yang menampung aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan daerah, serta ikut menentukan arah kebijakan pembangunan nasional.

Oleh karena itu, Haluan Negara berfungsi menjadi saluran aspirasi kelompok minoritas atau kelompok marginal sekalipun. Dengan demikian, Haluan Negara akan menjadi alat komunikasi dalam menghubungkan dan mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah.

Sedangkan dalam konsepsi Negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila, Haluan Negara juga memiliki fungsi alokatif dalam pendistribusian aneka sumberdaya secara berkeadilan. Dalam sistem Pancasila, alokasi sumberdaya tidak diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau kekuasaan negara, melainkan juga melalui mekanisme permusyawaratan rakyat dalam MPR sebagai lembaga yang paling lengkap keterwakilannya.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo

“Dengan prinsip-prinsip seperti itu, Haluan Negara pada akhirnya akan berfungsi memperkuat ikatan ke-Indonesiaan kita dengan tetap menghormati identitas kemajemukan demi tetap terjaganya persatuan bangsa,” tandas Pontjo.

Wakil Ketua FRI Nasrullah Yusuf mengemukakan perencanaan pembangunan nasional era berlakunya GBHN, kita mengenal adanya P4. Model pengenalan rencana pembangunan nasional seperti ini menjadikan semua masyarakat dapat mengetahui dan memahami perencanaan pembangunan nasional, tidak terbatas pada kalangan akademisi atau pemerintah.

Ia sependapat bahwa GBHN perlu dihidupkan kembali apapun namanya. “Intinya penting kita lakukan reformulasi arah pembangunan nasional untuk merespon perkembangan global,” katanya.

Masalahnya, lembaga manakah yang memiliki hak untuk menyusun kembali GBHN mengingat sekarang MPR RI tidak lagi memiliki kewenangan pasca amandemen UUD 1945.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengakui bahwa ada dorongan kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali GBHN atau sejenisnya. Dorongan itu datang antara lain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu.

“Saya sudah berdialog dengan mereka dan intinya memang Indonesia harus memiliki haluan negara,” katanya.

Bamsoet mengatakan MPR RI periode 2014-2019 telah melakukan survey publik terkait reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Hasinya, 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu.

Alasan paling kuat terkait perlunya menghidupkan kembali GBHN, lanjut Bamsoet adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan.

Ia mengingatkan bahwa negara besar seperti China, India, dan Rusia, maupun negara seperti Singapura saja memiliki haluan negara. China, misalnya, dalam salah satu haluan negaranya menyatakan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pertama dunia di tahun 2030.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!