30.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-7 )

Baca Juga:

Tentang Kakaknya Rohman yang  “Luar Biasa”.

Rohman (13)  mempunyai kakak. Fauzan namanya. Kini 21 tahun kurang beberapa bulan. Karena Fauzan lahir 16 Juli 2000. Lahir dalam kondisi relatif normal dengan berat 3 Kg. Tidak cesar. Baru merasakan keanehan pada usia 4 bulan. Karena hasil timbangan di dokter, angkanya stagnan. Tidak naik. Grafiknya datar. Padahal makan dan minum susunya biasa. “Sebaiknya kita periksakan ke dokter, segera,” pintaku
“Iya, aku juga  merasakan keanehan, padahal makan minumnya biasa,” jawab istri

Benar. Jumat pagi, aku masih ingat 21 tahun yang lalu, aku bawa Fauzan ke dokter anak di RSUD yang ada di Sleman. Setelah di-diagnosa, kami kaget, karena ternyata anak kami terkenan Down Syndrom – DS  (kelebihan kromosom). Kata dokter, “Ini bisa terjadi pada satu dari seribu bayi. Artinya dari 1000 bayi yang lahir, terdapat 1 bayi terkena DS ini, “ terang dokter Nur F yang  menerima anak kami.

Dalam waktu yang relatif singkat kami diterangkan apa gejala dan tanda-tanda anak yang terkena DS ini. Diantaranya, tumbuh kembang anak akan mengalami keterlambatan, IQ rendah, kemandirian lemah. Pendeknya anak akan mengalami keterbelakangan.

Sepanjang pulang dari RSUD, istri menangis tiada henti. Mengorek-korek apa dosa dan kesalahan yang telah kami perbuat, sehingga anak lahir dalam keadaan “luar biasa”. Akulah yang coba menenangkannya. Diantaranya, kalau Allah mau menguji hamba-Nya, tidak harus menunggu, dia bersalah dulu. Kalau itu yang menjadi hukumnya, tentu Nabi Muhammad Saw yang agung tidak akan pernah mendapatkan ujian. Padahal  beliau ummi. Tidak pernah berbuat salah. Tetapi mengapa ujian datang seolah tiada henti. Bertubi-tubi. Bahkan tidak sedikit kaum kafir quraisy yang hendak menghabisi jiwa Nabi.

“Tapi kita kan bukan Nabi, mas?” protes istri.
“Iya, tetapi kita bisa sedikitnya kita bisa mencontoh kesabarannya yang luar biasa,” jawabku, menirukan ustadz yang biasa ceramah di Masjid kampung.
“Kamu pernah melakukan dosa apa tho mas,” selidik istri, sambil reflek memukul punggung.
“ Insya Allah nggak dik, sudahlah kita terima anak ini dengan ikhlas. Pasti ada hikmahnya mengapa Fauzan diberi kelebihan beda dengan anak lain,” kataku.

Tangis istri baru berhenti setelah sampai rumah, karena banyak anggota keluarga sudah menunggu untuk tahu hasil periksa dokter.
“Piye, Fauzan, sakit apa?” tanya ibu mertua. Padahal kami belum turun dari sepeda motor.  “Sakit bawaan bu, Insya Allah bisa sembuh,” jawabku untuk menenangkan. Karena kalau aku bilang jawab Down Syndrom, khawatir ibu kurang paham. Sementara istri, masih menggendong Fauzan setelah berlari kemudian masuk kamar. Menumpahkan tangisnya. Aku yang menjelaskan tentang kondisi Fauzan sependek yang aku tahu.
“Tapi bisa diobati tho le,” tanya yang lain.
“Insya Allah, bu de. Namanya penyakit pasti ada obatnya….(bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!