JAKARTA, MENARA62.COM – Tim Hukum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) lakukan pendampingan/mengadvokasi pemilik tanah ulayat dari 4 kaum Datuk Ninik Mamak di Muara Kiawai, Kecamatan Gunung Tuleh, Pasaman Barat. Selain membela hak-hak perdatanya, Tim Hukum juga melakukan pendampingan atas 4 penduduk dari kaum mereka yang dijadikan tersangka oleh Polres Pasaman Barat, atas Laporan Polisi dari PT Agrowiratama (Musim Gas Group) dengan dalil melanggar Pasal 55 dan Pasal 107 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Mereka ditangkap pada suatu aksi berdemo di tanah ulayatnya sendiri yaitu perkebunan kelapa sawit seluas 320 hektar, dan berkas pemeriksaan yang katanya sudah P21, akan di serahkan ke Kejaksaan Negeri Pasaman Barat, sesegera mungkin.
Padahal, demonstrasi tutup jalan tersebut dilakukan salah satunya untuk menghentikan kegiatan perkebunan panen di Hutan Lindung. Polda Sumatera Barat sudah melakukan penyelidikan dan membenarkan lokasi kebun PT Agrowiratama (AWT) lebih kurang 75 hektar ada di Hutan Lindung, dan telah di panen berpuluh tahun oleh Perusahaan.
Untuk menjadi catatan, bahwa pada saat berdemo, pemilik tanah ulayat tidak membawa atau mengambil kelapa sawit satu kilo pun. Kegiatan tersebut murni demonstrasi agar tanah ulayat mereka tidak dijadikan jalan untuk praktek-praktek pelangaran di hutan lindung. Dan, itu jalan merupakan milik tanah ulayat, bukan PT AWT.
Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama, SH mengatakan keherannnya karena, perusahaan yang hanya punya Izin Usaha Perkebunan tapi tanpa Hak Guna Usaha, bisa tetap beroperasi bertahun-tahun lamanya. Bahkan mempunyai legal standing untuk melaporkan pemilik tanah ulayat yang berdemo menutup jalan yang memang secara fakta dokumen pengembalian jalan dari perusahaan kayu yang dulu membuat jalan perkebunan, adalah milik masyarakat adat dari 4 kaum Datuk.
Haris menambahkan, bahwa sebelum laporan polisi yang dibuat oleh PT AWT di September 2020, masyarakat adat sebenarnya pada tanggal 28 Agustus 2020 sudah mendatangi Polres Pasaman Barat untuk melaporkan tindak pidana dari PT AWT terkait Penjarahan Hutan Lindung dan Penipuan Hak Atas Adat.
Namun laporan tersebut diterima hanya dengan bentuk Laporan Pengaduan bukan Laporan Polisi. “Ada 4 butir pengaduan yang sangat penting. Namun saat ini Laporan Pengaduan tersebut mandeg, tapi dilain sisi Laporan Polisi Perusahaan… cepat sekali. Bahkan masyarakat harus buat Laporan Polisi di POLDA pada tanggal 8 September 2020 tentang hutan lindung, baru kemudian turun tim penyidik POLDA ke lokasi, dan terbukti area kebun PT AWT ada di hutan lindung sekitar 75 hektar,” jelas Haris.
Lebih aneh lagi, lanjut Haris, saat ini PT AWT sedang mengajukan HGU ke Kanwil BPN Sumatera Barat sesuai dengan surat KaKanwil BPN Sumatera Barat tanggal 17 Februari 2021 yang mengatakan bahwa PT AWT belum diberikan HGU di Muara Kiawai. Perusahaan baru mengajukan dan masih di tahapan pengukuran. PT AWT untuk proses permohonan HGU tersebut, meminta surat dukungan dari ke empat Datuk yang empat warganya di lapor polisi oleh mereka, untuk proses hak atas tanah yang berbentuk HGU tersebut.
“Ini kan lucu, berarti benar dong kalau masyarakat itu berdemo di tanahnya sendiri yang saat ini sudah menjadi perkebunan kelapa sawit dan sedang dimintakan oleh Pelapor untuk hak atas tanah. Ini ada apa?” jelasnya.
Tim Advokasi DPP KNPI berharap para aparat penegak hukum di Pasaman Barat berlaku adil dan kembali memeriksa landasan hukum PT AWT yang tidak punya hak atas tanah perkebunannya di Muara Kiawai, dan Izin Usaha Perkebunannya cacat hukum dengan alasan dua hal yang kuat.
“Bila mengacu pada Permen Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN No 7 tahun 2017, hak atas tanah untuk usaha perkebunan adalah Hak Guna Usaha. Jadi clear, Kementerian Pertanian juga sudah bilang IUP yang tanpa HGU, seperti punya PT AWT itu cacat hukum dan oleh sebab itu batal demi hukum. Nah, legal standing nya untuk melaporkan 4 penduduk itu apa?” tanya Haris.
Ia berharap Kapolri turun tangan untuk berantas mafia tanah perkebunan, salah satunya di kasus Pasaman Barat ini.