Surat Pendek untuk Anakku
Malam yang dingin. Sedingin hatiku. Hujan diluar tak juga mau berhenti. Sudah sejak sore tadi, air seakan dimuntahkan dari langit. Membuat tumbuhan dan yang ada di sekelilingnya basah kuyup. Pun hatiku malam itu. Aku tengok jam dinding usang diatas teve menunjukkan pukul 02.14. Artinya sudah cukup lama mata ini tidak mau diajak kompromi. Meski sudah aku paksa pejamkan, namun hati ini tetap berlari-lari kesana kemari. Namun ujung-ujung hati ini mengarah kepada Rohman anak kami yang ada di sebrang. Di bukit Pajangan. Mondok. Nyantri. Usia masih tergolong dini, ntuk hidup sendiri, jauh dari kami. 13 tahun jalan usia Rohman. Badannya yg relatif kurus, lebih menandaskan kalau dia masih kecil. Imut.
Aku lihat istriku habis isya tadi sudah tertidur pulas. Melingkar dengan selimut merahnya. Membelakangiku. Mungkin capek merawat ibu kami yang sudah sepuh. Stroke. Perangai dan sikapnya kembali seperti anak-anak. Aku sendiri kadang merasa berdosa, tidak banyak bisa membantunya. Bukan berarti beliau adalah ibu mertuaku, karena sesungguhnya tidak ada kamus ibu ke-dua. Artinya ibu mertuanya, sejatinya adalah ibu kita juga. Namun karena himpitan pekerjaan, aku sering pergi pagi pulang sore. Untunglah istri maklum adanya. Meski kadang ngomel juga, kalau capek. Tapi aku pikir manusiawi.
Tidak lama berselang alarm HP yang jadul berdering. Aku tengok. Masih posisi tidur, namun dengan jelas aku bisa lihat, jam 02.30. Aku biasa bangun. Meski kemudian tidur lagi. Namun malam itu, aku paksa bangun. Perasaan untuk bertemu dengan anak semakin merobek-robek ulu hati. Kangen. Setelah mandi dan sholat beberapa rokaat, aku coba muntahkan semua isi hati dalam sebuah lembaran tulisan, yang rencana akan aku kirim via pos.
Surat pendek untuk anakku:
Sleman, larut malam yang dingin. Jam .02.39
Buat anakku Rohman di sebrang. Sesungguhnya aku tidak tega melepasmu pergi nak. Disaat kau masih usia anak-anak. Usia bermain. Kadang ada perasaan kasihan, ingat bagaimana kamu makan disana, tidur disana apakah bisa nyenyak atau tidak. Dan kekhawatiran yang lainnya. Sering juga terbersit keinginan kuat untuk menengokmu barang sebentar. Minimal bisa melihat batang hidungmu. Aku sudah merasa lega. Tetapi peraturan pondok yang cukup ketat, tidak memperbolehkan orang luar untuk menjenguk atau menengoknya. Maka keinginan itupun harus aku urungkan. Ya pandemi covid-19 memang kemudian mengubah semua perilaku hidup kita. Dari rakyat hingga pejabat.
Ramadhan tiba. Tentu kegiatanmu makin banyak nak. Kemarin saat engkau minta dikirimi cemilan dan sabun cair kesukaanmu, apakah sudah sampai nak? Terpaksa aku kirim lewat jasa gojek. Bukan karena biaya, tetapi karena peraturan yang tidak memperbolehkannya. Karena kami tidak ingin, orang tuamu ini melanggar aturan pondok, hanya karena ego sendiri. Nanti yang terkena hukuman kamu. Tetap semangat ya nak. Bapak dan ibu selalu mendoakan kamu, tidak henti. Setiap hari. Setiap tarikan nafas ini.
Tanpa terasa air mata meleleh di dua pipi. Lama-lama seolah seperti membanjiri. Deras. Namun ada perasaan puas. Bisa menyampaikan isi hati, meski hanya lewat sepotong surat pendek. Tidak menunggu lama, surat dua lembar ukuran kuarto itu aku lipat dan aku masukkan kedalam amplop bergaris. Besok pagi siap kirim.
Istriku terbangun.
“Kok nangis pak,? Ingat Rohman lagi?”
“Iya bu. Sedang apa ya dia sekarang,”
“Sudahlah gak usah terlalu dipikirkan. Sudah serahkan kepada Yang di Atas. Kalau niat kita baik. Insya Allah akan baik-baik saja. Gak usah sedikit-sedikit dipikir. Baper,”
“ Iya, tapi sudah hampir 2 bulan kok bulan boleh pulang. Kita juga gak boleh menjenguk. Phone saja gak bisa lihat gambar anak kita,”
“Kita sudah beruntung lho pak. Boleh telphone seminggu sekali. Meski hanya 10 menit dan tanpa lihat gambarnya. Minimal kita bisa tahu kabarnya. Saya dengar cerita teman yang lain. Malah masa pandemi ini ada pondok yang menutup komunikasi dengan wali,”
“Iya juga ya bu.”
****
Tidak lama berselang kami makan sahur. Sambil mendengarkan radio di frekuensi 107.7 FM. Lagu-lagu campursari di radio tersebut seolah lewat saja.Masuk telingan kiri, keluar telinga kanan. Gak ada yang mampir ke hati. Seperti Tatu, Ambyar, kemudian berganti dengan lagu lama milik Pance yang dipopulerkan oleh Meriem Belina – Tiada Nama Seindah Namamu dan terakhir penyiarnya memutarkan lagu islami punya Mahar Zaen, Thank You Allah, semua lewat. Karena yang ada dalam pikiran hanya Rohman. Meski istri sudah menasehati sedemikian, namun surat pendek yang baru saja aku buat tetap akan aku kirimkan. Dengan bulat.Tekad kuat.
Akupun segera bergegas ke masjid kampung dengan istri. Berbocengan dengan sepeda motor lama kami. Adzan Subuh sebentar lagi berkumandang. Di ujung jalan hampir saja kami bertabrakan, karena aku tidak fokus. (Sekian )