Kain merah-putih di atas meja sederhana masih menempel pada mesin jahit yang sudah berkarat. Walaupun sudah lusuh, bendera yang menjadi lambang negara itu menyimpan ceritera heroik perjuangan seorang Ibu Negara yang hebat.
Sedangkan mesin jahit sederhana itu, kini tersimpan utuh sebagai saksi bisu perjuangan Fatmawati memberikan kontribusinya terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini mesin jahit itu dapat dijumpai masyarakat di Rumah Fatmawati yang beralamat di Jl. Fatmawati, Penurunan, Ratu Samban, Kota Bengkulu, Bengkulu.
Rumah ini, kini menjadi museum Fatmawati dan dirawat apik oleh pemerintah. Selain koleksi pakaian Fatmawati, tulisan, foto-foto bersama Soekarno, tempat tidur, dan mesin jahit itu sendiri, museum ini juga menjadi saksi bisu lahir dan tumbuhnya Fatmawati sebelum akhirnya diboyong Soekarno ke Jakarta setelah dinikahinya.
Di rumah yang terbuat dari kayu dan terletak persis di pinggir jalan raya itulah, Fatmawati lahir dan tumbuh dewasa. Sebagai anak tunggal, Fatmawati begitu disayang orang tuanya. Sejak kecil Fatmawati termasuk penurut dan supel dalam bergaul.
Ayah Fatmawati, adalah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu bernama Hasan Din. Selain menjadi Konsul Muhammadiyah, Hasan Din juga memiliki pergaulan luas dengan para tokoh lain termasuk para pengusaha China.
Hasan Din tidak hanya menjalankan fungsi adminiatratur Muhammadiyah, tetapi juga menjadi ulama dan pemikir. Muhammadiyah cukup berkembang di Bengkulu, yang dalam beberapa litelatur dipengaruhi oleh tokohnya dari Padang-Sumbar juga dari Yogyakarta secara langsung.
Sedangkan Fatmawati, merupakan seorang aktivis Nasyiatul Aisyiyah (NA), Organisasi Otonom (Ortom) dari Muhammadiyah di Bengkulu. Fatmawati aktif di NA sejak remaja walaupun tidak menjadi ketua. Namun, NA begitu berpengaruh pada jiwa, sikap dan perilaku Fatmawati.
Dalam situasi seperti itulah, Soekarno diasingkan ke Bengkulu. Faktanya, Bengkulu laksana kawah candradimuka bagi Soekarno. Bukannya tertekan dan terpuruk seperti yang dirasakannya waktu di Ende, tetapi di Bengkulu Soekarno semakin bangkit dan bergelora jiwa revolusionernya.
Pertemuan Soekarno dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah di Bengkulu, membuat Soekarno menemukan jati dirinya. Pergumulan dengan Muhammadiyah mengikhlaskan dirinya untuk menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Muhammadiyah, sekaligus menjadi pengurus Majelis Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Bengkulu.
Di samping membaca dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh tersebut, Soekarno turut mencerdaskan anak-anak yang ada di Bengkulu. Selain mengajar dalam kelas, Soekarno juga seringkali memberikan tambahan pelajaran di luar kelas. Di saat itulah kesempatan para siswa Muhammadiyah seringkali datang ke rumah pengasingan Soekarno untuk menimba ilmu lebih. Dan satu di antara yang tekun belajar adalah Fatmawati.
Pertemuan Soekarno dengan Fatmawati, membuatnya jatuh hati. Perangai Fatmawati yang anggun dan rajin membuat Soekarno berniat memperistrinya.
Setelah menikah, Fatmawati tetap seorang kader NA. Organisasi keputrian Muhammadiyah yang sangat mewarnai jiwanya. Bahkan ketika menjadi Ibu Negara, Fatmawati tidak pernah aktif di organisasi lainnya.
Kecintaannya terhadap NA membuat Fatmawati begitu lekat dengan berbagai ajaran, prinsip dan tradisinya. Keriang-gembiraan dan keikhlasannya dalam beramal membuat Fatmawati menjadi pendamping Soekarno yang mengambil peran penting disaat-saat proklamasi kemerdekaan akan dikumandangkan.
Jauh dari riuh pergulatan politik, Fatmawati diam-diam mengambil posisi strategis dalam percaturan kemerdekaan Indonesia. Dalam hening, kader NA sejati ini merajut dua lembar kain (merah dan putih) yang kelak menjadi bendera pusaka.
Tanpa sorot kamera dan gemuruh tepuk tangan, anak tokoh Muhammadiyah yang jelita ini, menggoyang-goyangkan mesin jahitnya yang sederhana itu. Sedikit demi sedikit, dua lembar kain dirajut. Pelan tapi meyakinkan, jarum dari mesin itu menghantarkan benang untuk mengikat dua kekuatan warna yang sakral bagi bangsa ini.
Di saat itulah, jari jemari Fatmawati memutar pegangan mesin, tangan kirinya memegang kain, memastikan semuanya berjalan baik, memadu harmoni. Keterampilan menjahit yang sudah dilakukannya sejak di Bengkulu, membuatnya semakin mudah mengerjakan aktivitas menjahit bagi Fatmawati.
Tanpa bising suara, keikhlasan Fatmawati menjalani kerja bersejarah itu dengan riang. Ketika anggota tubuhnya bergerak, wajah Fatmawati tetap ceria.
Kegembiraan Fatmawati dalam mengerjakan jahitan merah-putih diiringi lantunan lagu. Sebuah lirik yang tidak asing bagi dirinya. Yaitu lagu NA yang sudah mewarnai jiwa Fatmawati sejak remaja. Lagu yang mencerminkan kegembiraan, keihlasan, kepasrahan dan perjuangan.
(Lirik lagu):
NASYIAHKU SAYANG
Aisyiyah perkumpulanku
Pangkal meningkat tangga bahagia
NA ialah taman didikku
Tempat mencapai pengetahuan raya
Mengajar santun mendidik budi
Berdasar agama Islam suci
Ya Nasyiah Nasyiah Nasyiah yang sangat kucinta
Sedari kecil hingga besarku
Membimbing ke tempat bahagiaku
Kuangkat tangan dengan doaku
Kepada Allah aku meminta
Mohon suburnya lanjut usia
_____
Dalam suasan kebatinan yang begitu lekat dengan tradisi NA dan Muhammadiyah itulah merah-putih dirajut. Dua lembar kain yang tidak ada gunanya itu, menjelma menjadi simbol kemerdekaan, kejayaan, persatuan dan semangat keindonesiaan.
Persis semangat itu, seperti yang senantiasa dilakukan Muhammadiyah selama ini, menjadi perekat bangsa, turut memerdekakan, sekaligus menginspirasi dan memajukan bangsa tanpa henti. Muhammadiyah dalam keriang gembiraannya terus berkarya, walaupun tanpa puja-puji, organisasi ini tetap hadir untuk berkontribusi di segala bidang untuk bangsa tercinta.
Ditulis di Gedung Daerah Gubernuran Bengkulu, saat menunggu dimulainya acara penutupan Tanwir Muhammadiyah 2019 pukul 08.30 WIB.
Penulisan: Roni Tabroni/MPI PP Muhammadiyah (Secara khusus tulisan ini saya persembahkan untuk istri tercinta Dewi Mulyani / Ketua Nasyiatul Aisyiyah Jawa Barat)