Judul : Wawasan Agama Madani: Sebuah Keniscayaan Sosiologis dalam Bangsa Majemuk
Penulis : Dadang Kahmad
Penerbit : MPI Press
Cetakan : I, Januari 2017
Tebal : 170 halaman
Emosi keagamaan membentuk watak dasar yang melahirkan kristalisasi iman (faith) dan kecintaan terhadap agama yang diyakininya. Dalam masyarakat majemuk, watak dasar ini bisa berpeluang menyimpan potensi konflik. Setidaknya, ada tiga penyebab konflik keagamaan. Pertama, masalah paradigma dan interpretasi; kedua, masalah implementasi pemahaman; dan ketiga, masuknya kepentingan politis. Dalam berbagai formatnya, isu keagamaan memiliki variabel pemicu disintegrasi.
Lalu, menjadi pertanyaan: bagaimana merespons ancaman isu keagamaan? Bagaimana dalam konteks kebinekaan masyarakat Indonesia? Dan, bagaimana pula strategi Muhammadiyah dalam menyikapinya?
AGAMA MADANI
Kemajemukan adalah sunatullah, ketentuan Tuhan yang tidak terbantahkan lagi (hal 11). Menjaga keutuhan dalam kebinekaan adalah sebuah keniscayaan. Meski sulit, mengutamakan “kehendak bersama” (common will) menjadi kewajiban yang patut diupayakan untuk mencegah lepasnya ikatan kehidupan kebersamaan dalam berbangsa.
Menanggapi kondisi demikian, Dadang Kahmad -Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah– melontarkan sebuah wawasan baru, yaitu wacana “agama madani”. Yang dimaksud di sini adalah agama atau tepatnya dimensi keagamaan yang tertata dan terlembagakan dengan baik. Sebuah agama yang melampaui agama (beyond belief), yang dipandang dapat mempersatukan seluruh golongan agama secara politis, sekaligus dapat mempertahankan kebinekaannya secara kultural dan keagamaan (hal 24-25).
Bagi masyarakat majemuk Indonesia, wawasan “agama madani” dapat dijadikan sebagai alternatif untuk berbagai persoalan keagamaan, dan juga politik. Ini sejalan dengan gagasan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan masyarakat madani secara komprehensif dan integral.
STRATEGI MUHAMMADIYAH
Untuk menghadapi persoalan kemajemukan diperlukan sikap dan strategi yang tepat. Begitupun dengan Muhammadiyah, gerakan sosial keagamaan yang hidup di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Persyarikatan ini memilih menyiasatinya dengan bersandarkan pada prinsip-prinsip Islam, tentunya.
Islam -yang menempatkan diri pada posisi tengah dalam dikotomi masyarakat atau individu- menganjurkan pembentukan masyarakat dengan berpegangan pada surah Ali-Imron: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung” (QS 3:104) (hal 80).
Bertolak dari ayat tersebut, kemudian terbentuklah konsep “masyarakat utama”. Konsep yang direkomendasi Islam ini mengusung karakteristik konstruksi komunitas yang ditandai dengan nilai-nilai: (1) umat yang menyeru kepada kebajikan, dan (2) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Jalur dakwah ditempuh Muhammadiyah sebagai strategi untuk menwujudkannya.
Sejatinya, tujuan pembentukan karakter “masyarakat madani” selaras dengan apa yang ingin direalisasikan dalam wawasan “agama madani”. Keduanya sama-sama mendukung terbangunnya kehidupan keberagaman yang lebih demokratis dan transformatif hingga tercapai cita-cita sosial masyarakat madani.