28.8 C
Jakarta

‘Aisyiyah : Disahkannya UU TPKS Payung Hukum bagi Korban Kekerasan Seksual

Baca Juga:

 

YOGYAKARTA, MENARA62.COM – “Disahkannya UU TPKS akan memberikan perlindungan hukum kepada korban-korban kekerasan seksual karena selama ini payung hukum yang memang betul- betul melindungi korban kekerasan seksual secara jelas dan adil itu memang belum tersedia.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah pada Rabu (13/4) terkait telah disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi UU (Undang-Undang) TPKS pada Selasa, 12 April 2022.

Tri melanjutkan bahwa UU TPKS kini telah menjadi payung hukum dan akan lebih mendukung bagi upaya melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. “Perlindungan terhadap hak bagi korban kekerasan seksual dapat lebih terjamin dengan adanya UU ini, baik dari sisi pendampingan, restitusi, rehabilitasi, maupun pemulihan yang semuanya itu ada di UU TPKS ini dan itu secara jelas semakin menguatkan perlindungan kepada korban-koban kekerasan seksual.”

‘Aisyiyah disebut Tri juga turut mengawal dalam proses penyusunan RUU TPKS ini. Tri menerangkan bahwa ‘Aisyiyah secara intens melakukan pembahasan draft RUU TPKS ini. “Sejak awal RUU TPKS muncul, hingga satu tahun terakhir ‘Aisyiyah membahas mulai dari pasal per pasal kemudian landasan sosiologisnya, tinjauan akademisnya, semua sisi kita pelajari kemudian dari situ kita memberikan masukan terhadap pasal-pasal yang ada di draft RUU TPKS,” terangnya.

Tri menyampaikan beberapa masukan yang disusun oleh ‘Aisyiyah. “Masukan tersebut mulai dari isu tentang definisi yang waktu itu kita usulkan tidak perlu didefinisikan tetapi dimasukan dalam unsur-unsur pidananya, kemudian terkait dengan rehabilitasi dan restitusi termasuk bagaimana pelaporan itu tidak dibatasi waktu dan peran aktif Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, itu menjadi beberapa usulan kami beserta banyak catatan lain yang kami berikan dalam rangka menguatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,” papar Tri.

Terkait beberapa masukan dari ‘Aisyiyah tersebut, Tri menyebut bawa usulan telah disampaikan secara tertulis kepada pihak legislatif maupun eksekutif. “Eksekutif melalui Kemenpppa, legislatif melalui ketua panja dan ketua-ketua fraksi yang ada di DPR, serta kepada ketua DPR ibu Puan,” jelas Tri. Kemudian ‘Aisyiyah juga diberikan kesempatan oleh ketua panja untuk menyampaikan masukan secara lisan pada saat pembahasan DIM (Daftar Isian Masalah) yang waktu itu sedang didiskuksikan.

Masukan-masukan tersebut menurut Tri sudah diterima oleh para pihak yang terkait dan mendapatkan respon positif atas dukungan yang luar biasa dari ‘Aisyiyah sebagai organisasi masa yang cukup besar. Masukan ‘Aisyiyah ini disebut sebagai gong atas berbagai masukan bagi RUU TPKS.

Tri berharap dengan disahkannya UU TPKS ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual serta memaksimalkan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Namun demikian, dengan telah disahkannya UU TPKS ini bukan berarti kerja-kerja untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual berakhir.

‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim berkemajuan sejak awal berdirinya telah menunjukkan komitmen terhadap pencegahan kekerasan seksual. “Saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 31 posbakum untuk melakukan pendampingan kepada korban baik secara litigasi maupun non litigasi, selain itu juga peran edukasi, dan peran pencegahan, semua itu akan semakin kuat dengan adanya payung hukum UU TPKS ini.”

Kedepan, ‘Aisyiyah melalui paralegalnya akan turut mensosialisasikan UU TPKS ini. Tri menyebutkan pasca sebuah UU sudah disahkan, maka sosialisasi harus digencarkan agar masyarakat memahaminya. Ia menyebutkan sebuah contoh nyata bahwa UU KDRT yang sudah disahkan di tahun 2014 masih sangat minim diketahui oleh masyarakat. “Sering kali salah satu problem setelah disahkannya UU adalah terkait sosialisasi, UU KDRT sudah sejak 2014 ditetapkan tetapi kalau kita ketemu ibu-ibu di komunitas banyak yang tidak mengetahui perlindungan bagi perempuan yang mengalami KDRT, maka saya yakin hal yang sama juga akan terjadi di UU TPKS ini, oleh karena itu ‘Aisyiyah akan mengambil peran-peran ini untuk melakukan sosisalisasi bahwa untuk pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual itu negara ini sudah memiliki payung hukumnya.”

Siti Kasiyati, Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah juga merespon positif atas telah disahkannya UU TPKS ini. “Alhamdulillah karena sudah UU ini sudah menerima beberapa masukan untuk perbaikan dan semoga kedepan untuk perlindungan perempuan, anak, dan difabel korban kekerasan akan semakin baik dan semakin berkurang jumlahnya karena negara sudah menunjukkan kepedulian dan bertanggung jawab untuk pencegahan, penanganan, sampai pada pemulihan hingga lebih komprehensif,” terang Kasiyati.

UU TPKS ini disebut Kasiyati akan melengkapi instrumen yang ada sebelumnya sehingga pendampingan terhadap korban kekerasan yang dilakukan oleh MHH PWA Jawa Tengah melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) lebih memiliki payung hukum secara khusus. “Misalnya korban kekerasan seksual yang disabilitas sudah menyebutkan perlu adanya assessment personal sehingga dalam implementasinya dalam penyidikan, penuntutan, persidangan akan memperhatikan dasar-dasar hukum yang sudah ada.”

Ia berharap UU TPKS ini akan segera dapat diterapkan terutama saat ini pihaknya tengah menangani dua kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah disabilitas. Melalui UU TPKS ini sudah ada peraturan yang khusus mengatur penanganan korban kekerasan berbasis gender dan anak serta disabilitas. “Untuk penyandang disabilitas korban kekerasan seksual sebelum ini ia menyebut ada di UU Perlindungan Anak, kemudian di UU No.8 tahun 2018 tentang penyandang disabilitas, juga PP No. 39 tentang Akomodasi yang Layak Dalam Proses Peradilan bagi Penyandang Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum, nah sekarang sudah ada UU secara khusus jika kita bicara tentang disabilitas,” terang Kasiyati. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!