27.8 C
Jakarta

Aliansi Kebangsaan Kembangkan Pancasila sebagai Ideologi Kerja melalui Serangkaian Diskusi Serial

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, HIPMI, dan Media Kompas berusaha mengembangkan Pancasila sebagai “Ideologi kerja (Working ideology)” melalui serangkaian diskusi serial yang digelar dalam kurun tiga tahun terakhir ini. Hal tersebut didasari oleh fakta bahwa terdapat jurang yang lebar antara idealitas Pancasila dengan realitas aktualisasinya.

“Pancasila belum sungguh-sungguh didalami dan dikembangkan menjadi “kerangka paradigmatik” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam FGD Penguatan Sistem Inovasi Nasional dalam Upaya Pengembangan Ekonomi Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Economy) dan Peningkatan Daya Saing Global yang digelar secara daring, Jumat (8/9/2023).

Melalui pertukaran pikiran selama pelaksanaan diskusi serial tersebut, jelas Pontjo, telah dikembangkan suatu paradigma atau kerangka operasional Pancasila dalam tiga ranah pembangunan nasional, yaitu: Ranah Mental Kultural (Tata Nilai), Ranah Institusional Politikal (Tata Kelola), dan Ranah Material Teknologikal (Tata Sejahtera). Pemikiran tentang “Paradigma Tiga Ranah Pembangunan Berdasarkan Pancasila” yang telah dibukukan dan diterbitkan Oleh PB Kompas, saat ini sedang dilakukan pendalaman dan disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama mitra lembaga lainnya melalui berbagai cara dan saluran komunikasi.

Pontjo menekankan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) telah menyebabkan terjadinya transisi paradigma perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya alam (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing dan kesejahteraan umum.

Model ekonomi berbasis pengetahuan, menurutnya dapat menstimulasi kreativitas dalam penerapan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan dan lingkungan alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup suatu bangsa.

“Oleh karena itulah, World Bank menaruh perhatian untuk mengukur dan memonitor perkembangan model ekonomi ini dengan menggunakan The Knowledge Economy Index (KEI) melalui empat pilar yang menjadi dasar penilaiannya,” jelasnya.

Negara-negara yang telah menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan, seperti Negara-negara Eropa pada umumnya dan beberapa Negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ternyata lebih mampu mensejahterakan rakyatnya daripada negara-negara yang hanya bersandar pada kekayaan sumberdaya alam. “Belajar dari pengalaman sukses Negara-negara tersebut, sudah seharusnyalah Indonesia mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy),” tegas Pontjo.

Sebagaimana diungkapkan banyak pemikir dunia termasuk oleh Sener dan Saridogan dalam bukunya “The Effects of Science-Technology-Innovation on Competitiveness and Economic Growth (2011), negara-negara dengan kebijakan dan strategi ekonomi berbasis sains-teknologi-inovasi memiliki keunggulan dan keuntungan kompetitif berkelanjutan. Keunggulannya tidak hanya pada tingkat daya saing global, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi penciptaan kesejahteraan.

Dalam pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan dan penguatan daya saing global, kata Pontjo, keandalan sumber daya manusia (human capital) memiliki peran sentral atau menjadi faktor determinan bagi keberhasilannya, selain adanya modal fisik yang memberikan efek terhadap pembangunan ekonomi.

Banyak ilmuwan dan berbagai penelitian telah menguatkan tesis ini. Dalam pengamatan Sampurno (2007) misalnya, ternyata kemajuan ekonomi suatu negara berkaitan erat dengan kapabilitas kolektif knowledge dan teknologi yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Kapabilitas kolektif inilah yang akan membentuk apa yang disebut dengan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yaitu masyarakat yang berpengetahuan dan berpendidikan. Dan untuk membangun knowledge-based society, banyak Negara bertumpu pada “Sistem Pendidikan Nasional” dan “Sistem Inovasi Nasional”-nya.

Menurut Pontjo, Sistem Inovasi Nasional sebagaimana yang berlaku di banyak negara, dapat diintegrasikan dan disinergikan berbagai potensi dan sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas pengetahuan dan teknologi negara yang bersangkutan. Penguatan Sistem Inovasi Nasional sangat diperlukan demi menguatnya kelembagaan iptek, sumberdaya iptek, dan jaringan iptek.

“Mudah-mudahan dengan keluarnya Undang Undang No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kebutuhan akan penguatan Sistem Inovasi Nasional ini dapat terpenuhi,” karap Pontjo.

Penguatan Sistem Inovasi Nasional

Dalam rangka menguatkan system inovasi nasional, Bappenas telah menyusun “Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi” dengan memberikan arah serta koridor untuk memastikan bahwa setiap elemen pendukung sistem dapat berkolaborasi dan saling mendukung untuk dapat berkontribusi secara optimal. Merujuk cetak biru ini, ada beberapa elemen penting yang membentuk Sistem Inovasi Nasional yaitu: Elemen Regulasi, Kelembagaan, Mekanisme Akuntabilitas, Sumber Daya, Insentif & Pendanaan.

“Saat ini, pemerintah Indonesia sudah memiliki setidaknya tiga dokumen yang digunakan sebagai landasan kebijakan iptek nasional, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020–2024, Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) Tahun 2017–2045, dan Agenda Riset Nasional (ARN) yang disusun Dewan Riset Nasional,” jelas Pontjo.

Namun demikian, banyak pihak menengarai bahwa Sistem Inovasi Nasional belum bekerja secara optimal. Pelaksanaan Sistem Inovasi Nasional di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan masalah.

Dalam aspek kelembagaan, sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha yang sering disebut dengan “Triple Helix” belum berjalan dengan baik. Akibatnya, proses hilirisasi hasil riset dan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga riset/perguruan tinggi masih menghadapi berbagai masalah, terutama adanya jurang yang sangat lebar antara lembaga riset/perguruan tinggi di satu sisi, dan dunia usaha/industri di sisi lain.

“Lebarnya jurang ini menyebabkan proses hilirisasi menjadi fase yang sangat kritis sehingga sering disebut sebagai “Lembah Kematian (Valley of Death)” dari inovasi,” sambungnya

Selain problem ekosistem inovasi nasional, isu strategis yang juga harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari kita adalah isu “daya beli nasional (domestic purchasing power)” baik itu daya beli masyarakat maupun daya beli pemerintah (government expenditure)” yang merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya “daya beli nasional” dikelola secara bijak untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional termasuk kepentingan penguatan inovasi dan iptek.

FGD yang dimoderatori Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai tersebut menghadirkan narasumber antara lain Prof. Dr. Ir. Muljo Widodo Kartidjo, Ketua Komisi Ilmu Rekayasa AIPI; Prof. Dr. Antun Mardiyanta, Universitas Airlangga; Amalia Adininggar Widyasanti, Ph.D, Deputi Bidang Ekonomi, Bappenas dan Yudho Baskoro S.Sos., M.Si., M.P.P, Sekretaris Deputi Bidang Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!