Sengaja saya memakai bahasa Inggris pada judul tulisan ini. Hal itu karena tulisan ini sangat dekat dengan generasi Muslim Amerika yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Tentu harapannya juga kiranya judul ini “eye catchy” atau menarik perhatian pembacanya.
Amerika sesungguhnya adalah sebuah negara yang menjanjikan. Dan karenanya Amerika tetap dianggap sebagai negara yang penuh dengan peluang atau kesempatan. Bahkan sebagian menjulukinya sebagai “a land of dreams” (negara impian).
Sesungguhnya tidak salah jika Amerika dijuluki demikian. Karena memang Amerika dengan segala kekurangannya masih menjadi impian banyak orang. Kata Amerika memiliki daya tarik tersendiri yang menjadikan banjak yang ingin berimigrasi ke negara ini. Wajar saja kalau Amerika kemudian memang dikenal sebagai bangsa atau negara imigran.
Kenyataan ini menjadikan isu imigrasi menjadi isu politik yang sering memanas. Pelarangan Muslim masuk Amerika dari negara mayoritas Muslim di zaman Trump (Muslim Ban) adalah satu di antara banyak isu imigrasi yang menjadi perdebatan politik di Amerika.
Keinginan untuk berimigrasi ke Amerika ini juga termasuk di dalamnya adalah warga Muslim. Tentu karena ragam alasan dan latar belakang. Ada yang karena mencari suaka politik akibat refresi kekuasaan di negara masing-masing. Apa pula karena alasan pendidikan, ekonomi, dan berbagai alasan lainnya.
Dan semua itu tentu sah-sah saja. Mencari kebebasan dari tirani kekuasaan untuk ketenangan hidup boleh. Mencari kesempatan pendidikan yang lebih baik juga diperbolehkan. Demikian pula mencari kesempatan hidup yang lebih layak (ekonomi) juga sangat dibolehkan.
Amerika dan Dakwah opportunity
Akan tetapi bagi mereka yang sadar Islam, dari semua “opportunities” (ragam kesempatan) itu, kesempatan untuk mendakwahkan agama ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam berimigrasi ke Amerika. Bahwa Amerika adalah “Daar ad-da’wah” atau negeri yang subur untuk mengembangkan dakwah Islam.
Tentu dakwah dalam arti yang luas. Termasuk di dalamnya menjadi bagian dari masyarakat Amerika untuk membawa perubahan sosial kepada negara ini. Bahwa dengan keberadaan Umat Islam di Amerika berbagai “krisis moral” yang mengancam negara ini dapat diminimalkan.
Amerika adalah negara dengan masyarakat yang sangat terbuka. Artinya di Amerika itu segala sesuatu dapat tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya kesuksesan atau keberhasilan setiap orang atau kelompok orang ditentukan oleh semangat “kompetisi” yang dimilikinya.
Kita lihat misalnya bagaimana masyarakat Yahudi, dengan kuantitas yang kecil (minoritas) mampu membangun kekuatan atau pengaruh dalam kehidupan publik Amerika. Termasuk dalam mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintahan Amerika.
Di sinilah sesungguhnya Islam dapat tampil sebagai kekuatan alternatif. Secara konseptual (ajaran) Islam memang dahsyat. Tidak perlu dan memang tidak ada keraguan padanya (laa raeba fiih). Islam mampu menandingi ajaran mana saja (liyudzhirahu alad diini kullih).
Pertanyaannya kemudian, mampukah Islam itu ditampilkan sebagai kekuatan alternatif di tengah-tengah bangsa Amerika? Penampilan Islam ini tentunya banyak ditentukan oleh pemeluknya yang datang ke negara ini. Dan ini pulalah yang saya maksudkan dengan Amerika sebagai peluang dakwah yang sangat luas.
America and the lost generation
Namun demikian, dengan segala hal yang indah dan manis tentang Amerika itu, di sisi lain Amerika juga penuh dengan wajah yang buruk dan menyeramkan. Tidak selalu seindah yang seperti yang dibayangkan sebagian orang.
Selain masih tingginya diskriminasi dan rasisme putih akibat mentalitas Amerika yang merasa “exceptional” (Istimewa). Juga hidup di Amerika itu penuh dengan goncangan yang dahsyat. Termasuk di dalamnya goncangan materialisme, individualisme, kapitalisme dan juga hedonisme.
Kesemua “isme” (paham atau ideologi) itu jika tidak dibarengi oleh mentalitas yang solid (firm mentality) maka akan menimbulkan kegoncangan yang dahsyat dalam hidup manusia. Mental yang solid itulah iman manusia.
Kerapuhan mental (iman) sebagian warga Muslim, khususnya kaum pendatang (imigran) di Amerika melahirkan banyak masalah yang serius. Termasuk di dalamnya kerapuhan generasi Islam itu sendiri. Bahkan tidak berlebihan jika kerapuhan tersebut pada tingkatan tertentu telah menimbulkan “lost generation” (generasi hilang).
Terjadinya lost generation ini disebabkan oleh banyak faktor. Tapi beberapa faktor dominan dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut:
Satu, visi hidup yang salah. Dalam bahasa sederhana, visi hidup itu artinya niat kita dalam menjalani kehidupan ini. Ini berarti bagi masyarakat Muslim yang bermigrasi ke Amerika, niat imigrasi akan banyak menentukan gaya hidupnya di negara ini.
Jika niatnya memang untuk dunia, maka dunia itu akan didapat (walau tidak pasti). Tapi pada akhirnya orang dengan visi keduniaan semata akan mengalami kerugian yang besar (khasarah). Dan kerugian terbesar itu ketika Iman dan Islam menjadi tidak lagi sesuatu yang mendasar dalam hidup.
Dua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai.
Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Dan salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup akan lambat laun tapi pasti semakin tidak peduli dengan agamanya.
Tiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal.
Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras, membanting tulang siang dan malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tapi anak (generasi) tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jatidiri (identity) generasi itu.
Empat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan sesaat. Jika sedang sakit kepala minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan.
Di sinilah para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru ngaji yang bisa mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tapi juga ada “cultural gap” (wawasan budaya yang berbeda) dengan generais muda.
Dengan situasi seperti itu, generasi pertama imigran Muslim harusnya berimajinasi 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Kira-kira siapa lagi yang akan meramaikan majelis-majelis dzikir dan kajian-kajian agama itu?
Lima, kegagalan melakukan perubahan (adjustment) dengan keadaan yang berbeda. Amerika adalah Amerika dan bukan lagi negara asal. Barangkali kelompok pengajian atau masjid dikelolah secara kelompok nasinalitas (asal negara). Tapi satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup di sebuah negara dan bangsa yang punya karakter dan kecenderungan tersendiri.
Mengelolah pengajian dan/atau masjid dengan “tribal mindset” (pemahaman Kesukuan atau Kebangsaan) akan menjadikan generasi kita merasa tersudutkan. Pergaulan dan dunia mereka jauh lebih luas dari dinding-dinding kabilah dan kebangsaan.
Akibatnya generasi muda akan melihat bahwa kegiatan pengajian atau masjid bukan rumah mereka (they don’t belong to). Ada gap kejiwaan antara mereka dan pengajian (masjid) yang dikelolah secara tribal itu. Apalagi dengan wawasan dan kultur yang tidak lagi menjadi bagian diri mereka secara dominan.
Itulah beberapa faktor kenapa Komunitas Muslim di Amerika terancam. Bukan oleh ancaman Islamophobia atau rasisme White Supremacy. Tapi ancaman terbesar itu adalah kenyataan bahwa Komunitas Muslim Amerika menghadapi ancaman hilangnya generasi atau “lost generation”.
Ingatkah kita kalau Borris Johson, Perdana Menteri Inggris, adalah keturunan Muslim? Bagaimana nasib anak cucu kita ke depan? Semoga Allah jaga!
Penulis: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. New York, 27 Januari 2021