Oleh Imam B. Prasodjo
Sosiolog
Minggu lalu, secara kebetulan saya menghubungi seorang montir panggilan yang nomor HP-nya saya peroleh di internet: 081296057734. Ini saya lakukan karena di rumah ada rombongan tamu dari Jawa Tengah yang mobilnya mengalami gangguan radiator. Masalahnya, saat itu sudah menunjukkan pukul 19.00. Saya tak tahu apakah ada bengkel buka di sekitar rumah. Padahal, para tamu harus pulang, kembali ke Jawa Tengah malam itu juga.
Saya mencoba menghubungi nomor itu. Tak menyangka, dalam waktu 30 menit, montir yang saya tilpon datang berdua berboncengan sepeda motor. Tanpa banyak cakap, dua orang montir itu langsung bekerja. Alhamdulillah dalam waktu kurang dari dua jam, kerusakan mobil dapat teratasi. Rombongan tamu terlihat senang dan langsung meneruskan perjalanan pulang ke Jawa Tengah.
Saat itu, saya jadi ingin tahu latar belakang mereka hingga mereka bekerja sebagai montir panggilan 24 jam. Dari mana gagasan itu datang? Siapa saja yang bergabung dalam tim mereka?
Menarik juga mendengar apa yang mereka ceriterakan. Rupanya, mereka bekerja dalam tim berjumlah enam orang. Dengan sepeda motor, mereka mendatangi siapa saja yang memerlukan bantuan, baik siang maupun malam. Operasi mereka saat ini berada di sekitar Bekasi, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Namun mereka dapat mendatangi pelanggan ke mana saja atas kesepakatan.
Nama montir yang malam itu datang ke rumah adalah Amrul dan Arif. Amrul asal Cirebon dan Arif asal Tasik. Amrul terlihat yang menjadi otak kelompok ini. Karena itu, ia tampak menjadi pimpinan informal mereka. Arif sendiri awalnya hanya seorang penjahit baju. Amrullah yang mengajarinya tentang seluk beluk mesin mobil. Teman-temannya yang lain juga mengalami proses pembelajaran sama. Mereka belajar melalui praktek langsung, sambil cari uang.
Saya sangat terkesan dengan ceritera Amrul yang mengatakan bahwa apa yang ia lakukan bersama teman-temannya adalah sebuah perjalanan panjang. Mereka menimba ilmu dari pengalaman praktek. Bukan teori sebagaimana layaknya terjadi di sekolah. Namun justru pengalaman kerja seperti itulah yang menjadikan Amrul dan teman-temannya siap pakai, dan berani membuka usaha ini. Amrul sendiri sebenarnya berlatar belakang SMK Elektro, bukan mesin. Namun ia bertahun-tahun bekerja di bengkel, pindah dari bengkel satu ke bengkel lain. Terakhir, bengkel mereka berada di pinggir jalan daerah Kalimalang, daerah perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi.
Tahun lalu, rupanya rintisan mereka membuka bengkel kandas akibat penggusuran. Bengkel mereka terpaksa harus tutup karena lokasinya digusur untuk jalan toll. Menurut Amrul, mereka mencoba usaha montir panggilan karena langkah darurat. Pembangunan jalan toll yang megah melindas mata pencaharian mereka.
“Habis mau apa lagi? Kami harus makan.” Amrul menjelaskan dengan suara lirih, hampir tak terdengar. Arif, teman Amrul yang menjadi montir pendamping saat itu, tampak tersenyum pahit. Arif seperti menyerahkan nasibnya ke Amrul.
“Ya, kami mencoba cara ini (menjadi montir panggilan) baru satu tahun, sejak bengkel tempat kami tergusur. Kalau tidak, dengan cara apa lagi?”
Saya terkesan dengan kegigihan mereka. Entah mengapa saya jadi tergerak membantu mereka. Saat itu juga saya mengajukan gagasan agar mereka mengenakan seragam dengan identitas jelas dan memiliki kartu bisnis (kartu nama) yang bisa diberikan pelanggannya siapa saja. Saya jelaskan pentingnya membangun kepercayaan dengan pelanggan yang meminta bantuan mereka. Apalagi bila bantuan itu diminta di malam hari. Jangan sampai pelanggan merasa was-was. Saya bilang ke Amrul setengah bercanda: “Untuk yang satu ini, kamu harus lebih banyak belajar dari Arif. Kamu harus lebih sering menampakkan wajah tersenyum saat berbicara dengan pelanggan.” Amrul pun tersenyum menanggapi ucapan saya. Memang bagi Amrul tak mudah melakukan hal itu di saat ia setiap hari harus menghadapi dunia yang keras. Ada lima orang yang berada di dalam tanggung-jawabnya.
Akhirnya, kami bertiga berembuk dan mencoba membuat identitas diri mereka sebagai montir. Mereka sepakat mengenakan seragam montir agar bisa lebih dikenal dan memberi rasa aman.
Melalui belanja online, saya pun segera memesan pakaian kerja. Amrul memilih sendiri warna seragam yang ia inginkan. Saya pun menyumbang tulisan untuk dilekatkan pada baju dan topi mereka: AMRUL, TRUSTED 24 HOUR CAR SERVICE
081296057734.
Hari ini seragam itu jadi. Saya menilpon mereka untuk mengambil seragam itu. Mereka datang ke rumah dan mencoba memakainya. Amrul dan Arif tampak bahagia. Amrul hanya berkata: “Terimakasih Pak. Saya jadi tambah PD (Percaya Diri).” Arif yang duduk di sampingya tersenyum kecil.
Sungguh ceritera sederhana ini adalah percikan wajah rakyat negeri ini yang di atas sana dibicarakan sebagai “bonus demografi.” Usia mereka memang muda muda. Namun pendidikan mereka terbatas. Mereka mendapat ketrampilan sebagai montir karena bergulat mencari sendiri. Awalnya mereka peroleh dari sekedar tukang cuci mobil, tukang mengganti oli, hingga akhirnya menjadi montir sungguhan. Orang-orang semacam inilah yang menjadikan Indonesia ada dan terus bertahan. Walaupun mereka terseok, namun mereka tetap gigih mencari peluang yang ada.
“Habis mau apa lagi? Kami harus makan.” Kata-kata Amrul sungguh sederhana, tetapi itulah yang menjadi dasar ia melanjutkan kehidupan. Itu pulalah yang hingga kini masih mengiang di telinga saya.