25.5 C
Jakarta

Ancaman Makin Dinamis, Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Mendesak Dilakukan!

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Dalam menghadapi dinamika ancaman yang bergerak begitu cepat dengan dimensi yang begitu kompleks, setiap negara semakin dituntut untuk mampu melakukan respons yang komprehensif dan terpadu antara respons militer dengan non-militer secara efektif melalui pendekatan multi-agency dengan pengerahan segenap sumberdaya nasional yang ada. Tuntutan akan kebutuhan inilah akhirnya membawa banyak negara di dunia untuk membentuk lembaga/organisasi yang memungkinkan terjadinya kolaborasi dan koordinasi lintas sektoral yang biasanya dinamakan Dewan Keamanan Nasional (DKN).

“Dewan ini difungsikan sebagai wadah perumusan kebijakan strategis keamanan nasional dan assesment akhir terhadap ancaman yang dihadapi sebuah negara,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat memberikan sambutan pada FGD yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dengan tema: “Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional”, Jumat (9/5/2025).

Menurut Pontjo, negara-negara yang memiliki forum koordinasi semacam DKN secara empirik ternyata lebih siap menghadapi berbagai jenis dan bentuk ancaman karena memliki struktur koordinasi yang lebih maju. Banyak negara yang telah memiliki DKN di antaranya Malaysia, Singapura, Australia, dan Amerika Serikat.

Indonesia sendiri diakui Pontjo, sampai saat ini belum memiliki lembaga semacam DKN yang berfungsi sebagai forum koordinasi tingkat tinggi yang dipimpin langsung oleh Presiden dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara untuk merespons isu-isu keamanan nasional. Dengan mencermati tata kelola Keamanan Nasional saat ini dihadapkan dengan kebutuhan akan response terhadap dinamika ancaman, banyak pihak yang mengharapkan Indonesia segera membentuk DKN tersebut.

Pontjo menegaskan DKN menjadi forum koordinasi tertinggi dalam pengambilan keputusan strategis yang berkaitan dengan keamanan nasional dan memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman. “Dalam pemahaman saya, saat ini tata kelola keamanan nasional tersebar di berbagai lembaga negara/pemerintahan dan dikoordinasikan oleh Menko Polhukam atau melalui rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden,” katanya.

Indonesia jelas Pontjo memang memiliki Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 101 Tahun 1999 dan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang baru saja dibentuk oleh Presiden Prabowo sebagai tindak lanjut amanat Pasal 15 Undang Undang Nomor: 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Tugas pokok yang diemban Wantannas dan DPN saat ini tentu sangat berbeda dengan tugas dan fungsi Dewan Keamanan Nasional sebagaimana berlaku di banyak Negara.

Komisi I DPR-RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen Wantannas pada tanggal 14 Nopember 2024 yang lalu mendukung revitalisasi Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) untuk menjadi Dewan Keamanan Nasional Republik Indonesia sebagaimana National Security Council yang berlaku di banyak Negara. Barangkali usulan ini bisa menjadi momentum untuk terus menggulirkan gagasan pembentukan DKN sebagaimana diharapkan oleh berbagai pihak.

“Kita tentu tidak punya cukup kemewahan waktu untuk mewujudkan gagasan ini karena harus berpacu dengan cepatnya perkembangan lingkungan strategis dan dinamika ancaman. Apalagi dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, gagasan pembentukan lembaga DKN ini harus jelas rencana waktunya (time-line) dan tidak dibiarkan berlarut-larut,” jelas Pontjo.

Bentuk Peperangan Baru

Dalam kesempatan tersebut Pontjo juga mengingatkan bahwa dalam era perang Generasi ke-V dewasa ini, sumber ancaman terhadap sebuah bangsa dan negara sudah semakin luas. Bentuk dan jenis ancaman juga semakin beragam. Perang yang pada awalnya hanya melibatkan urusan militer, kini “medan tempur-nya (battle field)” sudah meluas ke berbagai sendi kehidupan secara multidimensi.

Dinamika ancaman juga bergerak begitu cepat sehingga muncul konsep peperangan baru yang disebut dengan “Accelerated Warfare” terutama ancaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, sehingga menuntut response negara yang cepat dan kreatif pula.

Indonesia yang secara geo-politik dan geo-ekonomi berada pada posisi sangat strategis sering disebut sebagai “pusat gravitasi serta kawasan masa depan dunia”. Posisi strategis ini mengandung arti bahwa pertumbuhan dunia, permasalahan dunia, bahkan kejahatan dunia, akan pindah ke kawasan ini. Dengan demikian, bangsa Indonesia punya saham, punya andil, dan ikut menentukan masa depan dunia.

Pontjo sendiri yakin bahwa ada konspirasi besar yang tidak menghendaki Indonesia ikut mengatur dunia. Mereka tidak ingin Indonesia menjadi kuat, maju, jaya, dan kaya raya, makmur sentosa, bahkan kalau mungkin terus menjadikannya negara miskin, ribut-ribut, rusuh, terpecah, dan bergejolak yang berkelanjutan.

Fakta lainnya, bahwa Indonesia berada dalam kawasan yang menjadi ajang kontestasi dominasi (hegemoni) dua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan China. Mereka terus berusaha meningkatkan hegemoninya di kawasan Indo-Pasifik yang dipandang sebagai pusat pertumbuhan dunia. Sebagai “global leaders determination”, mereka akan selalu mencoba mengendalikan rantai pasok dunia (global supply chain) dan lini produksi negara-negara di kawasan.

Mereka juga memanfaatkan teknologi informasi lewat berbagai aplikasi media sosial untuk mengontrol politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan keamanan sebuah negara. Melalui teknologi informasi, jelas Pontjo, spektrum ancaman terhadap keamanan nasional menjadi begitu luas, dapat berbentuk penyusupan berbagai ideologi/paham yang tidak sesuai dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesia-an, penetrasi budaya, penyesatan pikir melalui hoax, cyber terrorism, bahkan cyber-war. “Dalam era ini, sebuah negara bisa kehilangan kedaulatannya melalui serangan informasi atau digital,” terang Pontjo.

Untuk merespons perkembangan lingkungan strategis dan ancaman seperti itu, menurut Pontjo, hal utama dan mendesak untuk kita lakukan adalah mengupdate konsep/paradigma, sistem, doktrin, dan strategi keamanan nasional, menyesuaikan dengan kekinian tanpa meninggalkan ide dan cita keamanan para pendiri bangsa ini. Dan hal paling mendasar yang seharusnya diupdate dan disepakati adalah terkait dengan “konsep/paradigma” bangsa ini dalam memaknai “keamanan nasional.

“Kini, kita tidak mungkin lagi memilah secara diametris konsep pertahanan negara dan konsep keamanan sebagaimana dirangcang melalui reformasi dan amandemen UUD 1945. Menghadapi perkembangan ancaman dewasa ini, sudah seharusnya bangsa ini bergerak menuju konsep keamanan komprehensif yang memaknai keamanan nasional secara holistik (holistic way) sebagaimana yang dicitakan oleh para pendiri bangsa,” tuturnya.

FGD tersebut menghadirkan narasumber Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Prof. Hikmahanto Juwana, Ph.D (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia), Prof. Angel Damayanti, Ph.D (Guru Besar FISIPOL Universitas Kristen Indonesia), Prof. Dr. Imron Cotan (Pengamat Politik Internasional) dan Mayjen TNI (Purn) Sudrajat (Penanggap Utama)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!