28.2 C
Jakarta

Angkatan “Puisi Esai” antara Kontroversi dan Manipulasi

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Sejak awal tahun 2014 lalu, dunia sastra Indonesia dilanda sebuah tragedi baru yang kemudian berlanjut ke berbagai hal dan berbagai elemen. Tragedi tersebut adalah terbitnya buku berjudul “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang kemudian menuai kontroversi dari beragam kalangan, tidak hanya oleh kalangan sastra dan pegiat seni saja.

Pada awal tahun ini, polemik dalam dunia sastra Indonesia kembali ramai dan penuh kontroversi, yaitu munculnya angkatan baru yang disebut “Angkatan Puisi Esai.” Angkatan ini tentu menuai protes dari berbagai kalangan, mulai dari kritikus, sastrawan, aktivis, dan lainya. Dalam hal ini, Yayasan Budaya Guntur mempertemukan pihak yang pro dan kontra terhadap angkatan tersebut dalam sebuah diskusi sore, Jumat (16/2/2018) di Yayasan Budaya Guntur, Jakarta.

Diskusi yang bertema “Angkatan Puisi Esai? Pro dan Kontra” tersebut menghadirkan dua pihak, pihak pro, yaitu Narudin Pituin dan KRT Agus Nagoro, dan pihak kontra, yaitu Saut Situmorang dan Eko Tunas. Dua pihak ini sama-sama menyampaikan pendapatnya terkait angkatan baru tersebut.

Pada awal diskusi, KRT Agus membaca salah satu puisinya yang ia sebut “puisi esai.” Agus tidak berbicara banyak mengenai angkatan atau lahirnya angkatan baru itu. Lalu dilanjutkan oleh Eko Tunas yang langsung membantah bahwa, puisi esai bukanlah temuan baru, alias bukan temuan Denny JA yang baru-baru ini membiayai sejumlah penyair, aktivis, peneliti, jurnalis, dan lainnya untuk menulis puisi esai sepanjang 2000 kata berikut 10 catatan kakinya. “Puisi esai bukanlah temuan baru, pada tahun 1952 penulis dari Boyolali menulis puisi yang dianggap temuan baru itu,” ungkap Eko. Pada tahun 70an, lanjut Eko, Sapardi menulis surat pada HB Jassin tentang puisi esai. “Cuma, kata puisi esai oleh Sapardi diberi tanda petik waktu itu. Jadi, anggapan atau pengakuan tentang puisi esai oleh Denny itu salah,” tegas Eko. Eko juga menambahkan sebelum diskusi dilanjutkan oleh pembicara yang lain, bahwa Simon HT juga menulis puisi esai pada tahun 1983 dan puisi-puisi tersebut ditampilkan di depan publik.

Sementara Narudin, pihak yang selama ini pro dan mendukung penuh lahirnya angkatan baru itu menyampaikan sedikit simpulan makalah yang telah dibagikan pada peserta dan penonton diskusi yang membeludak hingga ke pinggir jalan menyampaikan dan membenarkan bahwa benar puisi esai adalah genre baru dan tak pernah ditulis oleh para penyair Indonesia sebelumnya, bahkan di luar negeri sekalipun. Hal itu dibantah oleh Saut Situmorang dengan sebuah status Facebook Narudin yang dia tulis dan diunggah pada tanggal 10 Agustus 2015 yang menyatakan, puisi esai semacam kebaruan yang mundur, namun hal itu sama sekali tidak ditanggapi oleh Narudin. Saut juga menyinggung perihal sastra prabayar yang kerap dikemukakan di dunia maya beberapa waktu lalu, yaitu penyair, aktivis, jurnalis, dan lainya yang menulis puisi esai dan dibayar 5 juta satu puisi oleh Denny JA. Hal ini juga menjadi bagian penting dalam pembahasan diskusi kemarin yang dipimpin oleh Isti Nugroho.

Sebelum sesi pertama ditutup, Eko Tunas kembali menegaskan tentang puisi yang dianggap baru itu dengan suara yang sangat tegas dan mengajak Narudin Pituin kembali ke jalan yang benar. Sampai azan Magrib berkumandang, diskusi sore itu belum juga tuntas sehingga dilanjutkan setelahnya. Namun, pembahasan mengenai angkatan baru tersebut belum juga tuntas.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!