32.7 C
Jakarta

Anies Baswedan Yang Saya Kenal

Baca Juga:

Imam Shamsi Ali*

Sesungguhnya saya mulai mengenal Anies Baswedan sejak lama. Waktu itu saya sebagai mahasiswa di Universitas Islam Internasional di Islamabad, Pakistan kerap kali membaca tulisan-tulisan yang berbobot, bermutu, dalam dan luas dalam analisa. Penulisnya adalah seorang aktifis mahasiswa UGM bernama Anies Baswedan. Sejak itu nama itu melekat di kepala, bahkan lambat lain menjadi idola tersendiri kareba sejak itu pula saya termotivasi belajar menulis.

Lambat tapi pasti pengenalan jarak jauh itu menumbuhkan simpati, bahkan cenderung mengambil beliau sebagai salah seorang panutan dalam banyak hal. Tentu kelihaian dalam menuangkan pikiran lewat tulisan, kepintaran dan keluwesan dalam berpikir serta ketajaman analisa di antaranya. Tapi juga keliahaian dan keahlian beliau dalam kepemimpinan. Sejak mahasiswa beliau dikenal sebagai aktifis dan ketua senat mahasiswa UGM.

Kepemimpinan Anies Baswedan tidak saja ketika menjadi mahasiswa UGM Jogja. Bahkan sejak SMA telah menjadi aktifis dan sempat terpilih menjadi ketua OSIS se Indonesia. Belakangan Anies adalah salah seorang yang kembali menghidupkan senat mahasiswa setelah dihapuskan oleh Kementerian Pendidikan RI saat itu.

Tapi barangkali kedekatan itu baru terjalin di saat beliau menempuh studi di Amerika Serikat. Dalam kapasitas beliau sebagai mahasiswa sekaligus ahli politik menjadikan beliau kerap kali diundang oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Tentu dalan kapasitas saya sebagai imam yang juga sering berkeliling ke berbagai kota di AS menjadikan kami beberapa kali bertemu, khususnya di saat beliau menempuh S2 di Universitas Maryland. Belakangan beliau melanjutnya studi S3 di Northern Illinois University.

Dari beberapa kali pertemuan itu baik di acara formal seminar, dialog, konferensi, atau pengajian-pengajian lokal saya menemukan sosok yang mungkin dalam bahasa orang Amerika “cool, yet down to earth” (sangat menarik, tapi sekaligus sangat rendah hati).

Saya tiba di Amerika di penghujung 1996. Sementara Anies Baswedan tiba di Amerika untuk memulai studi di tahun 1997. Sejak itu hingga tahun 2005 kami beberapa kali berinteraksi. Terus terang samakin dekat hubungan kami juga semakin banyak hal yang membanggakan, sekaligus saya pribadi ambil sebagai bekal dalam melanjutkan langkah-langkah perjuangan untuk perjuangan dalam membangun kebaikan umum di Amerika Serikat.

Setelah menjadi Menteri Pendidikan juga sempat bertemu dengan beliau beberapa kali, baik di Amerika maupun di Indonesia. Beberapa waktu lalu di saat beliau melakukan perjalanan dinas ke kota New York beliau menyempatkan diri bersilaturrahim dengan saya di Upik Jaya, restoran Padang milik warga Indonesia.

Terakhir kali kami ketemu di saat saya memenuhi undangan Walikota Banda Aceh untuk melakukan safari dakwah selama dua hari. Tanpa sengaja beliau juga berada di bandara di saat saya mendarat. Pertemuan itu menjadi biasa-biasa saja sebagai teman. Tidak terasa sebagai pertemuan saya sebagai rakyat biasa dan Anies sebagai menteri.

Kepintaran, kedalaman analisa yang didukung oleh keluawasan wawasan, serta visi yang jelas menjadikan beliau sukses dalam segala tingkatan karirnya. Sekembali dari Amerika beliau terpilih menjadi Rektor Universitas Paramadina di Jakarta.

Pada saat bersamaan beliau mendirikan sebuah pergerakan nasional untuk memajukan pendidikan Indonesia. Beliau mendirikan gerakan Indonesia Mengajar yang menjadi gerakan dahsyat nasional di seluruh Indonesia.

Belakangan beliau yang sesungguhnya terlepas dari intrik-intrik kepentingan, walau tentunya ada orang lain atau pihak lain yang berkepentingan, termasuk partai politik tertentu, pada akhirnya ikut menjadi tim pemenangan Presiden Jokowi saat itu.

Dukungan yang beliau berikan saat itu tentu didasarkan pada ijtihad politik pada masanya. Sebagai seorang idealis, beliau melihat jika Jokowi saat itu adalah simbolisasi perubahan Indonesia. Kesederhanaan, keberpihakan ke rakyat kecil dengan janji-janji pemerataan kemakmuran bagi semua menjadi salah satu dasar pilihan ketika itu. Jokowi pun terpilih dan Anies diangkat menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI.

Kedudukan beliau sebagai menteri berjalan setengah, karena keadaan politik yang berubah pesat. Kekuatan partai-partai politik dan pihak-pihak yang punya kepentingan bergerilya siang malam untuk mendapatkan posisi-posisi strategis di pemerintahan Jokowi. Sementara Anies Baswedan sendiri tidak memiliki “back up” politik yang mendukungnya. Suasana itulah yang menjadikan beliau digantikan di kementerian pendidikan RI.

Setelah diberhentikan dari posisinya sebagai menteri, Anies kembali hidup sebagai rakyat biasa. Kerap kali mengantar anaknya ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Posisi rupanya hanyalah “amanah” yang bertengger sejenak di atas pundak manusia. Sebagaimana hidup secara totalitas, posisi atau atau jabatan adalah “amanah” dan bersifat “sesaat”. Oleh karenanya Anies tidak merasa kehilangan dan harus sedih dengan pemberhentian itu. Dia hanya merasa kehilangan kesempatan beramal di bidang itu.

Calon Gubernur DKI

Tidak lama berselang bebas dari tugas sebagai menteri beliau kembali mendapat tantangan besar untuk diusung menjadi calon Gubernur DKI. Tantangan ini tentunya bukan karena lawan politik atau calon dari parpol lainnya berat dan lebih hebat. Tantangan itu lebih kepada realita bahwa DKI adalah sebuah ibukota negara besar, Indonesia.

Kebesaran DKI tidak saja karena sebuah ibukota yang sangat metropolitan, dengan penduduk yang cuku padat. Tapi DKI adalah salah satu kota besar dunia dengan permasalahan yang cukup kompleks. Dari banjir, kemacetan, kemiskinan, pengangguran, hingga kepada maraknya kejahatan dan tawuran antar pelajar.

Tapi yang terpenting dari semua itu, Jakarta adalah wajah negara Indonesia yang luar biasa. Negara besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Negara yang dikenal sebagai negara demokrasi ketiga dunia. Dan yang khusus adalah Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Dua poin terakhir itulah yang menjadikan Indonesia lebih unik dan khas. Karena pada umumnya semua negara-negara mayoritas Muslim tidak demokratis. Tapi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar mampu mengawinkan keduanya (Islam dan demokrasi).

Kesemua di atas itu menjadikan Anies menjadi sangat relevan pada pemilihan Gubernur DKI kali ini. Pada diri Anies terletak kwalitas-kwalitas pemimpin yang diperlukan oleh Jakarta masa kinindan Indonesia ke depan.

Berikut saya sebutkan beberapa kwakitas yang krusial dan penting bagi pemilih Jakarta untuk dipertimbangkan:

Satu, Anies tidak diragukan lagi kapalitas inteletualitasnya, kedalaman analisa, dan keluwasan wawasan. Dunia kita saat ini memerlukan orang-orang pintar, berwawasan luas serta dalam melihat setiap masalah selalu dengan analisa tajam dan menyeluruh.

Dua, Anies berkarakter “cool” (adem), bijak, dan dewasa. Dengan permasalahan yang kompleks di Jakarta, pressure akan sangat besar. Belum lagi intrik-intrik politik dari banyak kalangan yang meminta perhatian dan bagian (keuntungan). Karena memang Jakarta adalah tempat lompatan kepentingan (interests) yang tercepat. Semua ini memerlukan pemimpin yang di satu sisi punya sikap, namun kedewasaan dan karakter tenang dan bijak diperlukan. Saya melihat Anies memiliki itu.

Tiga, Anies tidak saja memang wawasannya sangat mendunia. Tapi pengalamannya melanglang buana menuntut ilmu di luar negeri, menjadikannya memiliki kemampuan global yang mumpuni. Dunia kita saat ini adalah dunia global. Jakarta sebagai ibukota memerlukan pemimpin yang berwawasan dan memiliki pengalaman global itu. Jika tidak maka Jakarta akan tergilas oleh laju globalisasi yang semakin dahsyat.

Empat, Anies memiliki keseimbangan dalam segala hal. Antara wawasan membangun Jakarta di bidang fisikalnya dan wawasan membangun Jakarta di bidang kemanusiaannya. Sebagai tamatan Amerika pembangunan fisikal perkotaan bukan sesuatu yang asing. Perhatikan kota New York itu. Tapi sebagai pendidik Anies sadar bahwa pembangunan material tanpa pembangunan kemanusiaan, pada akhirnya akan menjerumuskan manusia ke dalam lobang inhumanitas (manusia tanpa kemanusiaan).

Lima, Anies memiliki kepribadian dan karakter yang memihak kepada mereka yang termarjinalkan. Walaupun datang dari kalangan keluarga pejuang, dan beliau sendiri secara pribadi sukses, namun tetap menjalani hidup sederhana. Karakter dan kepribadian ini yang nantinya akan diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan publiknya. Ambisi Jakarta untuk membangun tidak semestinya merendahkan aspek “compassion” atau belas kasih kepada mereka yang lemah. Hukum dan keadilan itu selalu dibarengi oleh karakter “Al-Ihsan” (kebaikan).

Enam, Anies memiliki etika dalam berkata dan bersikap. Jakarta sebagai wajah Republik seharusny dipimpin oleh seseorang yang santun, memiliki etika dalam mengekspresikan diri, terutama kepada rakyatnya. Bangsa Indonesia itu jati diri dan karakternya memang santun, sopan, lembut, dan ramah. Ketika pemimpin ibukota berkarakter sebaliknya maka itu adalah sikap merendahkan karakter keindonesiaan itu sendiri.

Tentu perlu ditegaskan bahwa karakter sopan, santun beretika tidak selamanya difahami sebagai sikap lemah dan tidak tegas terhadap kejahatan, termasuk korupsi. Sebagaimana karakter baik, saleh, dan rendah hati tidak berarti harus lemah kepada syetan. Sebaliknya justeru karakter dan sikap demikian adalah senjata melawan syetan. Karena karakter kasar, angkuh, serta tidak beretika itu sendiri merupakan prilaku syetan.

Tujuh, Anies tidak dibayang-bayangi oleh kekuatan luar, baik secara ekonomi maupun politik. Hal ini sangat penting karena Indonesia sejarahnya banyak dikontrol oleh kekuatan bayang-bayang (invisible power) dari luar. Mungkin tidak perlu disampaikan secara terbuka, tapi diakui atau tidak, disadari atau tidak, Indonesia selama ini selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan luar. Didukung oleh nafsu kekuasaan dalam negeri, seringkali kekuatan luar (foreign power) ini memeras kekayaan negara. Maka masyarakat Indonesia selama negara ini merdeka selalu dijadikan pelayan (servant), bahkan budak (slave) di negara sendiri.

Penutup

Akhir kata, saya tidak punya hak pilih di Jakarta. Tidak juga punya kepentingan langsung dengan pilkada Jakarta. Tapi sebagai anak bangsa yang sudah tinggal di luar negeri sejak tamat pesantren (SMA), saya tetap cinta Indonesia dan ingin melihat Indonesia maju, jaya dan besar bersama negara-negara besar lainnya.

Tulisan saya juga tidak mengandung hal yang mungkin dapat karegorikan atau minimal dicurigai sebagai SARA. Tapi murni sebuah pengamatan yang terlepas dari unsur-unsur tersebut. Juga terlepas dari kepentingan pribadi dan golongan.

Saya berharap sekaligus berdoa semoga pilkada Jakarta dan ratusan pilkada lainnya di berbagai belahan negeri bisa aman, berjalan lancar dan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang kapabel dan berintegritas tinggi. Sehingga pada masanya di Indonesia akan terlahir pemimpin-pemimpin yang memang diimpikan oleh bangsa ini untuk membawa Indonesia ke arah cita-cita “baldatun thoyyibatun wa Rabbin Ghafur”. Negeri indah yang dinaungi ridho Ilahi. Amin!

(New York, 4 April 2017. Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!