Antara G20, Muktamar Muhammadiyah dan Piada Dunia. Ketiganya merupakan momentum penting yang menarik perhatian tidak hanya Indonesia, tetapi juga warga dunia. Pelaksanaanya, bisa dikatakan bersamaan.
Luar biasa, “pertarungan” yang terjadi untuk menguasai wacana publik yang dilakukan oleh tim media ketiga peristiwa ini.
Dengan agak berseloroh, ada salah satu jurnalis muda yang sedang ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW) mengatakan, mungkin dari ketiga peristiwa ini, tim media Muktamar Muhammadiyah lah yang paling ringan tugasnya.
“Lho kok bisa?”
“Bisa dong, wong bekerja nyantai aja sudah banyak publikasinya, dan lebih penting lagi, berbiaya murah atau bahkan nggak perlu mengeluarkan dana?”
“kok bisa?”
Pasalnya, ada banyak media afiliasi Muhammadiyah yang ikut bekerja menggaungkan momentum teramat penting bagi sejarah Persyarikatan Muhammadiyah. Mereka menjadi “pasukan” yang ikut menggaungkan ide keindonesiaan dan keislaman persyarikatan Muhammadiyah, serta moderasi keagamaan.
Mereka bekerja mandiri. Mereka membuat media sendiri, mengelola sendiri, dan lebih luar biasa lagi, membiayai sendiri. Kerja mereka, tergerak dengan dorongan kecintaan pada Persyarikatan Muhammadiyah.
Bayangkan, berapa anggaran yang dihabiskan oleh panitia penyelenggara G20 dan Piala Dunia untuk publikasi. Mereka bergerak dengan dana yang jauh teramat besar ketimbang, “pasukan bonek” media yang ikut menggaungkan Muktamar Muhammadiyah. Mereka jauh lebih profesional, baik dari kemampuan jurnalistik, peralatan, dan fasilitas lainnya. Namun mereka kalah “semangat” dan niat dari “pejuang” media afiliasi Muhammadiyah ini,
“Kami membiayai pendirian radio sendiri, mengelola sendiri, beli pulsa untuk streaming sendiri, membuat studio sendiri, dengan kemampuan uang saku sebagai mahasiswa. Tapi berapa besar itu?” ujar salah satu jurnalis muda radio yang berkhidmat sepenuh hati itu mengungkapkan isi hatinya.
Tentu sudah ada media resmi dan profesional, dengan tim publikasi dan media yang dibentuk secara khusus untuk mendukung syiar Muktamar. Mereka pun berjibaku dengan lebih luar biasa lagi. Mereka kekuatannya sudah menggunakan ilmu yang paling canggih yang bisa dikuasai saat ini. Mereka pun sudah menggeluarkan berbagai jurus, termasuk jurus simpanan yang jarang dikeluarkan.
Namun, seakan ingin berlomba dengan media resmi nan profesional ini, media-media afiliasi dan pasukan tanpa bayarannya ini, ingin ikut menyemarakkan syiar Muktamar.
Kok mau-maunya?
“Kami ingin ide-ide keislaman Muhammadiyah yang moderat dan tidak menakutkan ataupun menakut-nakuti ini, bisa masuk dalam ruang-ruang publik,” ujar seorang jurnalis muda dari media daring dari peserta UKW yang digelar pada tanggal 14-15 November 2022, kemarin. Mereka pun membiayai sendiri biaya operasional, dengan semangat kader yang tak pernah padam.
“Kami sebetulnya sangat ingin lebih profesional, dan mendapat dukungan, namun sudah bersurat, sudah melobi, tapi belum dapat jawaban!” ujarnya lagi, yang mengatakan mereka pekan lalu terpaksa menghentikan siarannya.
“Wah… kok berhenti?”
Antara campur aduk, tahu campur, dan gado-gado, Menara62 pun mencoba menawarkan solusi, untuk menjadi “bapak asuh”. Meskipun, kondisi “bapak asuh” ini pun sama. Media ini juga bisa berkibar dengan “semangat” kemandirian tongwe alias kantonge dewe (uang sendiri).
Inilah kondisi pasukan dan media afiliasimu syiar Muktamar yang ikut berjibaku berhadapan dengan kekuatan media raksasa dan publikasi G20 dan Piala Dunia. Mereka menjalankan strategi bertahan dan membebani diri dengan niat bisa merebut wacana publik. Mereka maju terus layaknya pasukan jihad ketika berhadapan pasukan sekutu pada peristiwa 10 November 1945. Selamat hari pahlawan.
Semoga selalu sehat dan ada yang tergerak untuk ikut berjibaku. Jika ada yang tergerak membantu berupa saran dan kritik, silahkan hubungi redaksi@menara62.com. Jika ingin mendukung dana, tranfer ke rekening pribadi BSI no rek: 7141991568, dengan menambahkan 48 pada akhir dana yang ditransfer.