Malam ini, akan ada launching logo Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo. Insya Allah Muktamar ke 48 Muhammadiyah akan dilaksanakan pada 1 – 5 Juli 2020 di Kompleks Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Sebelumnya, pada tahun 1985 Muhammadiyah juga bermuktamar di tempat yang sama, yaitu Muktamar ke-41 Muhammadiyah. Saat itu saya masih duduk di kelas 2 SMP Muhammadiyah Jepara. Bapak saya mengajak ke Solo sebagai penggembira Muktamar, sekaligus menengok kakak saya yang kuliah di UMS dan nyantri di Pondok Shobron.
Itulah pengalaman pertama saya menyaksikan perhelatan Muhammadiyah tingkat nasional. Saat itu saya sangat kagum dan bangga dengan Muhammadiyah. Terbersit dalam hati kecil saya untuk bisa menjadi aktivis Muhammadiyah. Dan Alhamdulillah ternyata saya diberi kesempatan untuk bisa beraktivitas di Muhammadiyah hingga tingkat masional.
Belakangan saya baru tahu, bahwa Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Solo saat itu ternyata menjadi salah satu Muktamar yang sangat krusial dan genting. Muktamar ke-41 terpaksa harus diundur setahun lebih, dari 1983 menjadi 1985. Diundur bukan karena soal teknis atau soal biaya, tetapi karena soal prinsip.
Azas Tunggal
Saat itu Pemerintah Orde Baru meminta agar semua Ormas dan Orpol hanya menggunakan asas tunggal, yaitu Pancasila. Jika ada Ormas atau Orpol yang tidak memakai asas Pancasila maka akan dibubarkan dan dianggap illegal.
Sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan asas Islam dalam anggaran dasarnya. Oleh karena itu Muhammadiyah harus mengubah asasnya menjadi Pancasila. Ternyata ini tidak mudah dan terjadi perdebatan yang keras dan sengit. Mencantumkan asas Islam bagi Muhammadiyah adalah soal keyakinan dan niat.
Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan Islam dan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangannya. Muhammadiyah bukan organisasi yang anti Pncasila dan tidak menganggap Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun dengan mengubah asas Islam menjadi Pancasila, ada kekhawatiran jika hal tersebut akan mengurangi bahkan menghilangkan niat ke-Islaman Muhammadiyah. Tentu ini bukan masalah mudah dan sepele. Sebagian tokoh Muhammadiyah bahkan mengancam akan keluar dari Muhammadiyah jika akhirnya mengubah asasnya.
Sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak AR Fachruddin harus berpikir keras agar tetap bisa menjaga persatuan Muhammadiyah, tetapi juga tetap bisa menyelesaikan persoalan asas tunggal tersebut. Akhirnya ditemukanlah jalan keluarnya. Muhammadiyah mencantumkan asas Pancasila. Namun dalam salah satu pasal di anggaran dasarnya (tentang identitas) disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam dan beraqidah Islam.
Kemudian dalam maksud dan tujuannya Muhammadiyah menyatakan: Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Dalam sambutannya, Pak AR mengibaratkan bahwa berasas Pancasila ibarat seperti peraturan lalu lintas yang mewajibkan penggunaan helm dalam bersepeda motor. Menurut Pak AR, menggunakan helm adalah bagian dari ketaatan terhadap peraturan tanpa harus kehilangan identitas dan kepribadiannya.
Kekenyalan dan kemampuan Muhammadiyah dalam beradaptasi terhadap perubahan sosial dan politik menjadi salah satu hal yang menyebabkan Muhammadiyah tetap bisa eksis dan berkembang. Namun kemampuan Muhammadiyah untuk tetap menjaga spirit perjuangan dan mempertahankan jati diri juga menjadi sebab Muhammadiyah masih tetap bisa bertahan dan bertumbuh. Kedua hal inilah yang tampaknya harus selalu dijaga oleh para penggerak Muhammadiyah di masa kini.
Kebersamaan
Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang akan datang memang tidak berada dalam situasi sesulit Muktamar ke 41. Namun kita semua menyadari bahwa Muktamar kali ini berangkat dari bayang-bayang keterbelahan pasca Pilpres 2019. Bila ada yang mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak terpengaruh akibat Pilpres 2019 itu adalah pandangan yang naif dan tidak memahami persoalan. Namun kita juga harus menyadari bahwa larut dalam keterbelahan apalagi membiarkan Muhammadiyah dalam keterbelahan adalah sebuah sikap yang jauh dari kedewasaan dan bijaksana.
Salah satu upaya agar tidak kembali kepada sikap keterbelahan adalah menjadikan momentum Muktamar sebagai forum kebersamaan warga Muhammadiyah. Muktamar hendaknya bisa menjadi ajang titik temu dari semua pihak. Jangan lagi ada kesan Muktamar hanya menjadi ‘milik’ pihak tertentu dan bukan menjadi ‘milik’ pihak yang lain. Oleh karena itu ada baiknya jika semangat Muktamar ke-48 sebagai Muktamar yang mandiri dan Muktamar kebersamaan selalu digaungkan.
Sebagai sebuah organisasi yang besar dan berpengaruh tentu Muhammadiyah akan dilirik oleh pihak luar baik dari dalam maupun luar negeri. Tentu Muhammadiyah harus luwes dan selalu membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan pihak manapun selama untuk upaya kebajikan dan kemajuan. Namun harus disadari pula bahwa tidak menutup kemungkinan ada yang berharap bisa mempengaruhi dan mengendalikan Muhammadiyah agar sejalan dan sesuai dengan tujuan mereka. Terhadap yang demikian Muhammadiyah hendaknya tetap harus menjaga kewaspadaan dan kemandirian. Tidak menutup kemungkinan Muktamar Muhammadiyah akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk bisa mempengaruhi dan mengendalikan Muhammadiyah sesuai dengan kepentingannya. Semoga para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah tetap bisa menjaga integritas dan identitas ke-Muhammadiyahannya.
Akhirnya, selamat menyambut dan mempersiapkan Muktamar ke 48 Muhammadiyah, semoga Allah berkenan menjaga dan meridhai Muhammadiyah. Aamiin.